Jakarta (ANTARA) - Kanker sebagai salah satu penyakit tidak menular yang tercatat dialami 1,79 per 1.000 penduduk pada tahun 2018 menurut data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS), dalam penangannya membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak.

Hal ini diakui Presiden Direktur Rumah Sakit Kanker Dharmais, dr. R. Soeko Werdi Nindito D., MARS. Dia mengatakan, semua pihak perlu terlibat untuk menyelesaikan penyakit kanker yang menurut dia sangat rumit, tidak saja dari keilmuannya tetapi juga secara program.

Pemerintah dalam hal ini bisa melakukan kegiatan promotif dan preventif, deteksi dini atau skrining. Dalam kasus payudara misalnya, masyarakat diingatkan pentingnya melakukan periksa payudara sendiri (SADARI), SADANIS atau periksa payudara oleh tenaga medis). Sementara pihak rumah sakit menyediakan pemeriksaan lanjutan seperti USG dan mamografi.

Upaya ini dilakukan demi sebisa mungkin menemukan kasus kanker dalam stadium dini ketimbang lanjut. Soeko mengatakan, semakin dini kanker ditemukan maka usia harapan hidup pasien bisa lebih panjang.

Hal senada diungkapkan Ketua Tim Penanganan Kanker Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, dr. R. Maman Abdurahman, Sp.B(K) Onk. Penanganan kanker yang termasuk di dalamnya terapi juga perlu dilakukan secara komprehensif.

Menurut Maman, pemberian terapi awal kanker harus tepat karena terapi berikutnya tidak bisa memperbaiki kesalahan yang sudah dibuat pada terapi pertama.

"Untuk itu pemerataan, pemberian informasi yang terbaik pada daerah diperlukan," kata dia dalam sebuah media briefing yang dilakukans secara virtual, Kamis.

Dalam upaya pemerataan dan pemberian informasi, saat ini para tenaga kesehatan mulai memanfaatkan program telementoring Project Extension for Community Health Outcomes (ECHO) yang didukung Kementerian Kesehatan bersama Pusat Kanker Nasional Rumah Sakit Kanker Dharmais dan Roche Indonesia.

Program ini dihadirkan untuk mengurangi kesenjangan dan keterbatasan dalam menyediakan pelayanan pasien kanker di Indonesia yang dinilai masih belum merata.

Melalui Project ECHO, tenaga ahli di rumah sakit pengampu dapat memberikan pendampingan kepada tenaga ahli lainnya di rumah sakit di berbagai wilayah yang diampu (spoke) secara merata.

Hingga kini, RS Kanker Dharmais telah melakukan program telementoring ECHO untuk penanganan pasien kanker ke berbagai rumah sakit di Indonesia termasuk Kalimantan Timur dan Bali.

Maman berpendapat, program ini mendekatkan ilmu pada masyarakat dan rekan-rekan sejawat dokter dan tenaga kesehatan di daerah dengan kapasitas yang terbatas sesuai dengan kemampuan.

Dia mengatakan, seiring kemajuan teknologi yang semakin berkembang termasuk di masa pandemi COVID-19 hampir dua tahun terakhir, para tenaga kesehatan sudah lebih menguasai layanan digital, termasuk dalam melakukan telementoring memanfaatkan Project ECHO.

"Hikmah pandemi kita sudah lebih digital, online sehingga lebih mudah menguasai platform ini. Mudah-mudahan pemerataan layanan kesehatan khususnya kanker dapat tercapai. Kita mendapatkan kasus dengan stadium lebih dini," harap Maman.

Di sisi lain, Kepala Instalasi Kanker Terpadu RSUP Sanglah Denpasar, Dr. dr I Wayan Sudarsa, Sp.B(K)Onk, FINACS berpendapat, kegiatan telementoring ECHO cocok dengan kondisi demografis dan geografi Indonesia yang sangat luas.

Menurut dia, kegiatan yang muncul sebagai inovasi baru bidang layanan kesehatan digital ini bisa memperkuat pelayanan kanker sehingga layanan kanker yang sangat kompleks bisa merata ke pelosok negeri.

RSUP Sanglah yang termasuk strata tiga dalam pusat layanan kanker nasional nantinya diharapkan bisa melakukan pengampuan pada rumah sakit level di bawahnya terutama rumah sakit kabupaten terutama di daerah NTB, NTT dan sebagian Kalimantan.

Terkait manfaat Project ECHO, pendapat serupa juga diutarakan Direktur Utama RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado, Dr. dr. Jimmy Panelewen, Sp.B-KBD. Dia mengatakan, program ini dapat menjembatani obstacle yang ada di Indonesia baik dari sisi demografis, geografis, equipment, persoalan-persoalan sumber daya manusia baik dari sisi jumlah maupun distribusi.

Para tenaga kesehatan bisa melakukan diskusi mengenai kasus kanker tanpa memerlukan pertemuan konvensional yang ini akan membantu di masa pandemi. Senada dengan rekan-rekan sejawatnya, dia berharap nantinya pelayanan kanker di rumah sakit bisa dilakukan secara komprehensif, mulai dari hulu sampai hilir.

Salah satu rumah sakit yang terlibat dalam program yakni Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.

Dokter Nurliana Adriati Noor dari Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie mengatakan, pembelajaran kolaboratif yang ditawarkan Project ECHO ini membantu dalam transfer pengetahuan tanpa mengharuskan tenaga kesehatan meninggalkan rumah sakit tempat mereka memberikan layanan.

Menurut dia, dengan keterbatasan sumber daya manusia khususnya dalam penanganan kanker, pelayanan tidak terganggu. Saat ini, rumah sakit di kawasan Kalimantan itu memiliki jumlah sumber daya manusia terutama spesialis bedah onkologi dan klinisi lain yang expert dalam pelayanan kanker yang masih sangat minim.

"Kami yang salah satu rumah sakit rujukan nasional, hanya memiliki 7 orang spesialis bedah onkologi. Semoga bisa disupport untuk hematologi anak karena kasus kanker anak cukup banyak di rumah sakit kami, demikian juga dengan perawat onkologi belum kami miliki," kata dia.

Baca juga: "Telementoring ECHO" solusi tingkatkan pelayanan kanker di daerah

Baca juga: Jejaring pengampuan layanan kanker demi pelayanan rujukan lebih baik

Baca juga: PPOK dan kanker paru bisa dicegah dengan berhenti merokok


 

Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021