"Saya harus mencari uang untuk makan sehari-hari nenek dan adik saya, salah satunya dengan mencari sisa edamame yang tidak dipetik oleh buruh kebun."
Jember (ANTARA News) - Seorang anak perempuan tampak cekatan memungut sisa-sisa panen edamame (kedelai Jepang) di satu kebun edamame di Desa Sukoreno, Kecamatan Sukowono, Kabupaten Jember, Jawa Timur.

Berbekal sebuah tas kresek, Sani (12) mengumpulkan satu per satu sisa kedelai yang tidak dipetik oleh buruh kebun setempat, tanpa menghiraukan panas terik sang Surya yang menyengat tubuh.

Meski usianya baru 12 tahun, ia menjadi tulang punggung keluarga untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari nenek dan dua adiknya yang tinggal di Desa Sukoreno.

"Saya harus mencari uang untuk makan sehari-hari nenek dan adik saya, salah satunya dengan mencari sisa edamame yang tidak dipetik oleh buruh kebun," ujarnya lirih.

Ia menjual satu kantong edamame yang didapat dari memungut sisa panen itu seharga Rp3.000, namun terkadang warga yang merasa kasihan memberikan uang lebih kepadanya.

Sani mengaku sejak kecil hidup mandiri bersama sang nenek lantaran kedua orang tuanya sudah meninggal dunia. Ia pun harus mencari nafkah untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Bahkan, anak perempuan itu menuturkan bahwa tidak pernah mengenyam pendidikan dan belajar layaknya anak-anak sebaya lantaran memang tidak ada biaya.

Sani tidak sendirian. Ia merupakan salah satu potret buram pekerja anak yang masih ada di Kabupaten Jember. Banyak anak-anak layaknya Sani yang nasibnya juga terabaikan.

Menurut Koordinator Program Internasional untuk Penghapusan Pekerja Anak (IPEC) Organisasi Buruh Internasional (ILO) Jawa Timur di Jember, Irfan Afandi, mempekerjakan anak- anak merupakan bentuk pelanggaran hak-hak anak.

"Konvensi ILO No 182 tahun 1999 tentang Larangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerja Anak disahkan oleh UU Nomor 01 tahun 2000, namun masih saja dijumpai anak-anak yang bekerja" tuturnya.

Ia menjelaskan, perlindungan terhadap anak-anak dari pengaruh pekerjaan yang buruk didukung oleh Keppres 59 tahun 2002 yang telah mengidentifikasi 13 jenis pekerjaan terburuk untuk anak, yakni mempekerjakan anak-anak sebagai pelacur, sektor pertambangan, penyelam mutiara, dan menugaskan anak-anak di anjungan penangkapan ikan lepas pantai (jermal).

Selanjutnya, ia mengemukakan, mempekerjakan anak sebagai pemulung, melibatkan anak dalam pembuatan bahan peledak, mempekerjakan anak di jalanan, mempekerjakan anak sebagai tulang punggung keluarga.

Selain itu, menurut dia, industri rumah tangga, sektor perkebunan, kegiatan penebangan kayu untuk industri atau mengolah kayu untuk bahan bangunan, dan mempekerjakan anak dalam kegiatan yang menggunakan bahan kimia berbahaya.

"Di Kabupaten Jember masih banyak ditemukan anak yang bekerja di perkebunan, seperti perkebunan tembakau, kopi, kakao, dan karet," ujarnya.

Ia mengemukakan, ILO-IPEC pernah melakukan survei tentang anak yang bekerja di sektor perkebunan Jember, dengan mengambil sampel di enam desa yang berada di Kecamatan Arjasa dan Kalisat pada tahun 2008.

"Kami melakukan interview kepada 280 keluarga yang memiliki anak berusia 7-12 tahun di sektor perkebunan tembakau di enam desa untuk mengetahui apakah anak-anak juga ikut bekerja pada musim panen tembakau," jelasnya.

Hasil survei menyebutkan bahwa sebanyak 306 anak yang berusia 7-17 tahun pernah bekerja di sektor perkebunan, dengan rincian anak laki-laki sebanyak 178 anak (58,1 persen) dan perempuan sebanyak 128 anak (41,9 persen).

"Ratusan anak itu aktif sebagai pekerja anak di musim panen tembakau, bahkan mereka bekerja lebih dari 18 jam selama seminggu," ucap Irfan.

Sejauh ini, kata dia, banyak warga yang belum paham tentang definisi pekerja anak karena sebagian besar anak yang bekerja di perkebunan berdalih membantu orang tuanya dan tanpa mempertimbangkan jam kerja .

"Sesuai dengan aturan, pekerja anak adalah anak-anak yang bekerja dengan usia 5 hingga 12 tahun tanpa memerhatikan jam kerja, anak-anak yang berusia 13 hingga 14 tahun bekerja lebih dari 15 jam per minggu, dan anak-anak yang berusia 15 hingga 17 tahun bekerja lebih dari 40 jam per minggu," paparnya.

Aktivis peduli pekerja anak itu menjelaskan, tidak ada perusahaan perkebunan yang mempekerjakan anak karena hal itu sudah diatur dengan jelas.

Namun, ia menilai, sebagian besar anak-anak ditemukan bekerja di rantai pasoknya, seperti mengumpulkan tembakau dan menusuk tembakau kering di kalangan petani yang akan menjual tembakaunya ke pabrikan.

"Sebagian besar program IPEC memang dipusatkan di Jawa Timur karena provinsi itu memiliki jumlah pekerja anak mencapai 244.075 anak yang sebagian besar bekerja di sektor perkebunan dan pertanian," ujarnya.

ILO bersama Badan Pusat Statistik (BPS) pernah melakukan survei pekerja anak tahun yang merupakan kegiatan terpadu dari sub-sampel Survei Angkatan Kerja Nasional atau Sakernas tahun 2009.

Sebanyak 248 kabupaten dipilih secara proporsional dengan jumlah anak yang bekerja, dengan 760 blok sensus terpilih dengan menggunakan teknik sampling yang sama.

Hasil survei pekerja anak (SPA) tahun 2009 menyebutkan bahwa jumlah anak usia 5-17 tahun di 284 kabupaten sekitar 58,8 juta anak dan sebanyak 4,05 juta di antaranya (6,9 persen) dianggap sebagai anak-anak yang bekerja.

Dari total anak yang bekerja itu, sebanyak 1,76 juta anak (43,3 persen) adalah pekerja anak.

Sekitar 50 persen dari pekerja anak itu minimal bekerja 21 jam per minggu dan 25 persen mereka bekerja selama 12 jam per minggu. Bahkan, sebanyak 20,7 persen anak-anak bekerja dalam situasi berbahaya karena mereka menghabiskan lebih dari 40 jam per minggu.

"Anak-anak yang bekerja umumnya masih sekolah, mereka bekerja sebagai pekerja keluarga tidak dibayar, dan terlibat di sektor pertanian, perkebunan, jasa dan industri," ujar Irfan sambil menunjukkan hasil SPA 2009.

Untuk menjamin kesinambungan penghapusan pekerja anak di Jember, lanjut dia, ILO-IPEC bekerja sama dengan WCC As-Sakinah mendorong pemkab setempat untuk membuat kebijakan menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak di kabupaten yang dikenal sebagai "Kota Tembakau" itu.

"Kami akan melakukan monitoring keselamatan, kesehatan kerja (K3) anak-anak yang bekerja di sektor perkebunan Jember untuk mengetahui apakah masih ada pekerja anak di sektor perkebunan dan memastikan anak yang bekerja di sana dijamin hak-haknya," tuturnya.

Irfan menegaskan, semua pihak memiliki kewajiban yang sama untuk melakukan segala kemungkinan dalam rangka menjamin pemenuhan hak asasi manusia bagi anak-anak.

"Masa kanak-kanak yang seharusnya dihabiskan dengan bermain dan sekolah, ternyata tidak bisa dinikmati oleh mereka yang orang tuanya bekerja di perkebunan tembakau," katanya.

Kenyataan tidak selalu sesuai dengan harapan karena dengan dalih membantu orang tua dan faktor kemiskinan, masih cukup banyak anak di Indonesia yang meninggalkan sekolah dan memasuki pasar kerja terlalu dini.

Bahkan, sebagian dari mereka harus bekerja sejak kecil, dan ada yang tidak menerima upah karena hanya sekedar membantu orang tua mereka.

Tentu ini menjadi sebuah ironi di tengah-tengah keseriusan pemerintah dalam memberantas buta aksara dan meningkatkan taraf hidup, serta kualitas pendidikan warga negaranya.

Tak terbantah

Masih adanya pekerja anak di sektor perkebunan tidak dibantah oleh Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Jember, M. Thamrin. Namun, instansinya tidak bisa menyebutkan angka pasti jumlah pekerja anak di kabupaten setempat.

"Kami masih melakukan inventarisasi dan monitoring di lapangan terkait jumlah pekerja anak yang tersebar di 31 kecamatan di Jember. Hingga kini belum ada jumlah pasti berapa pekerja anak," katanya.

Menurut dia, ada dua hal yang mendasari anak-anak bekerja di usia dini yakni keterpaksaan atas kondisi ekonomi yang sulit atau pilihan hidup yang harus mereka jalani.

"Apabila anak-anak bekerja karena kondisi kemiskinan dan pengangguran maka faktor keterpaksaan yang dominan. Namun, tidak sedikit anak yang bekerja karena pilihan dengan didasari budaya setempat dan kebanggaan mendapatkan uang sendiri," paparnya.

Thamrin menegaskan bahwa tidak ada perusahaan di Jember yang mempekerjakan anak-anak di bawah umur karena hal itu melanggar aturan dan setiap perusahaan sudah mematuhinya.

"Kami kesulitan untuk memantau secara langsung perusahaan di sektor perkebunan karena biasanya buruh perkebunan memiliki pemukiman sendiri yang lokasinya terpencil. Kami hanya mengecek administrasi pekerja kebun saja dan tidak ditemukan pekerja anak di sana," katanya, menjelaskan.

Pemerintah juga sudah meluncurkan program keluarga harapan (PKH) sebagai salah satu wujud keseriusan pemerintah untuk mengurangi pekerja anak, sehingga diharapkan tidak ada lagi anak-anak yang bekerja di usia dini.

"Tahun ini, Disnakertrans Jember akan melaksanakan program penarikan pekerja anak PKH dengan target sasaran sebanyak 60 anak," ucapnya.

Ia mengimbau perusahaan swasta menekankan tentang pentingnya melakukan program tanggung jawab sosial (corporate social responsibility/CSR) sebagai upaya untuk mendukung penghapusan pekerja anak di Jember.

Sementara itu, Direktur Produksi Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Jember, Sudarisman, mengatakan bahwa tidak ada pekerja anak di perkebunan seluas 4.000 hektare milik PDP tersebut.

"Memang tidak menutup kemungkinan ada anak yang bekerja di perkebunan, namun mereka hanya membantu orang tua dan bukan sebagai pekerja anak," ujarnya.

Menurut dia, sistem kerja di PDP sebagian besar adalah sistem borongan yang diberikan kepada sejumlah buruh kebun yang tinggal di pemukiman perkebunan, terkadang sebagian buruh kebun meminta bantuan anak-anaknya untuk membantu mereka agar pekerjaan cepat selesai.

"Biasanya buruh kebun mengajak seluruh keluarganya untuk bekerja termasuk anak-anak dengan alasan pekerjaan dilakukan secara gotong royong, namun kami tetap melarang orang tua mengeksploitasi anaknya untuk bekerja," ucap Sudarisman yang juga mantan Ketua KPU Jember itu.

Dengan realita di lapangan seperti itu, lanjut dia, pihaknya tidak bisa melarang buruh kebun untuk mengajak anaknya bekerja, namun anak buruh kebun bekerja pada saat musiman dan tidak setiap hari. Anak-anak tetap mendapatkan pendidikan karena di setiap perkebunan ada sekolah.

"Biasanya anak-anak buruh kebun membantu orang tuanya untuk memetik kopi atau mencabut rumput di sekitar perkebunan. Terkadang anak-anak merasa terhibur dengan bekerja membantu orang tuanya," ujarnya, menambahkan.

Banyak kalangan yang menilai bahwa penyebab munculnya pekerja anak di berbagai sektor karena faktor kemiskinan dan ekonomi keluarga yang pas-pasan, sehingga anak-anak yang seharusnya menikmati hidupnya dengan bermain, terpaksa bekerja membantu orang tua mereka demi mencukupi kebutuhan sehari-hari.

"Banyak anak-anak yang bekerja karena orang tuanya terpuruk dalam masalah kemiskinan, sehingga banyak dijumpai anak-anak dieksploitasi untuk mengamen atau bekerja di jalanan," kata pengamat sosial dari Universitas Jember (Unej), Drs Hadi Prayitno MSi.

Menurut dia, biasanya kondisi sosial ekonomi keluarga yang jauh dari harapan membuat anak-anak dipaksa bekerja atau dengan kesadaran sendiri untuk membantu orang tuanya, bahkan terkadang mereka meninggalkan bangku sekolah.

"Maraknya pekerja anak sangat dipengaruhi oleh tingkat kemiskinan penduduk setempat, namun faktor kemiskinan bukan satu-satunya penyebab anak-anak harus bekerja di usia dini. Pekerja anak di Jember rata-rata memiliki pendidikan yang rendah," paparnya.

Dosen ilmu kesejahteraan sosial FISIP Unej itu menjelaskan faktor budaya yang menganggap bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi juga menjadi salah satu pemicu anak putus sekolah, kemudian anak tersebut berpotensi menjadi pekerja anak.

"Rendahnya kesadaran masyarakat di pelosok pedesaan terhadap pentingnya pendidikan menjadi perhatian semua pihak untuk memberikan pemahaman kepada mereka, agar jumlah pekerja anak semakin berkurang," paparnya.

Pada awalnya menjadi pekerja anak karena keterpaksaan, tetapi lama-lama menjadi sebuah budaya bagi kalangan masyarakat miskin untuk mempertahankan hidup mereka.

Beberapa faktor yang menyebabkan permasalahan pekerja anak, yakni kemiskinan, lapangan kerja yang terbatas, akses pendidikan rendah, kesadaran orang tua akan hak anak yang rendah.

Selain itu, menurut dia, penegakan hukum yang belum optimal dan budaya lokal yang kurang memberikan dampak positif terhadap upaya penghapusan pekerja anak.

Untuk itu, kata Hadi, perlu adanya kemauan politik (political will) dari pemerintah dan wakil rakyat yang duduk di parlemen untuk serius mengurangi angka kemiskinan di Indonesia melalui sejumlah kebijakan yang tepat sasaran.

"Memang banyak program pemerintah, seperti program keluarga harapan (PKH), jatah beras untuk masyarakat miskin (raskin) dan bantuan langsung tunai (BLT) yang dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin, namun tidak sedikit program itu tidak tepat sasaran dan menimbulkan persoalan kemiskinan baru," katanya.

Selain itu, dia mengemukakan, pola pendidikan di sekolah harus dibuat semenarik mungkin dan menyenangkan bagi anak-anak, sehingga mereka betah untuk sekolah.

"Persoalan pekerja anak memang bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, namun semua pihak harus bekerja sama secara sinergis untuk memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mengurangi jumlah pekerja anak," ucap pengajar psikologi perkembangan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unej itu.

Pekerja anak adalah persoalan yang ada di sekitar kita. Semua pihak tentunya dituntut terlibat secara serius dan bertanggung jawab dalam melakukan upaya untuk mengembalikan hak-hak anak sebagaimana mestinya, karena anak adalah anugerah terindah yang harus dijaga lantaran mereka adalah penerus generasi yang harus lebih baik lagi.
(T.C004/A025)

Oleh Oleh Zumrotun Solicha & Chandr
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011