Jakarta (ANTARA) - Masyarakat Kakao Indonesia (MKI) menilai pola kemitraan sebagai salah satu langkah strategis dalam upaya penyelamatan kakao Indonesia dari kelangkaan sehingga kemitraan antara industri maupun perdagangan pengolahan kakao dan coklat dengan para petani seharusnya bersifat wajib bukan sukarela.

Ketua MKI Alosyius Danu di Jakarta, Minggu mengatakan pola kemitraan ini merupakan usulan pertama yang dilontarkan MKI karena upaya tersebut diperlukan dalam mengatasi masalah kelangkaan biji kakao di Indonesia yang terjadi beberapa tahun terakhir ini.

Kelangkaan biji kakao diketahui terjadi lantaran menurunnya produktivitas dan produksi kakao di Indonesia akibat sejumlah faktor, di antaranya tidak adanya peremajaan terhadap tanaman ataupun lahan kakao.

Di sisi lain, belakangan cukup banyak industri besar pengolah kakao asing yang telah berinvestasi di Indonesia.

Baca juga: Kemenperin sebut RI berpeluang tingkatkan nilai tambah kakao

"Dengan adanya persoalan kelangkaan biji kakao tersebut, tentunya banyak industri yang kekurangan bahan baku. Sebagian besar industri pun akhirnya memilih jalan impor bahan baku," ujarnya melalui keterangan tertulis.

Untuk mewajibkan kemitraan industri kakao dengan para petani melalui koperasi sebagai wadah bagi para petani kakao, pihaknya juga mengusulkan adanya peraturan bersama menteri (PBM), dalam hal ini menteri perdagangan dan perindustrian bersama menteri pertanian. Hal itu khususnya bagi industri pengimpor biji kakao.

"Sebab kalau kemitraan ini tidak diwajibkan, maka pengusaha akan cenderung untuk berpikir efisien dalam mengatasi masalah langkanya bahan baku biji kakao ini, sehingga akhirnya mereka akan lebih memilih impor sebagai solusi paling mudah. Tentunya ini justru akan menyakiti hati banyak petani kakao Indonesia," ujarnya.

Pihaknya berharap langkah penyelamatan kakao Indonesia ini dapat dilakukan mulai dari hulu hingga hilir secara terpadu dan bukan sporadis atau terpecah-pecah.

Baca juga: Industri kakao Indonesia: Saatnya kualitas menjadi prioritas

Usulan MKI lainnya, lanjut Danu, yakni agar pemerintah juga dapat memfokuskan program kementerian terkait kepada pengembangan industri kreatif coklat (artisan), serta mendorong diterapkannya Indonesian Sustainable Cocoa (ISCO) demi keberlanjutan kakao indonesia.

Sementara itu, pemerhati perkebunan Gamal Nasir menilai penurunan produktivitas dan produksi biji kakao harus menjadi perhatian serius.

"Saat ini bahkan impor biji kakao nasional terbilang tinggi, padahal sebelumnya Indonesia pernah menduduki posisi nomor 3 di dunia sebagai penghasil biji kakao tetapi sekarang turun jadi nomor 6," katanya.

Mantan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian itu juga menyatakan perlu adanya regulasi yg mewajibkan kemitraan utk perusahaan seperti halnya sawit.

Sementara itu menurut Tenaga Ahli Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Dewan Kakao Indonesia Soetanto, saat ini terdapat dua jenis industri pengolah produk kakao di Indonesia, yaitu perusahaan besar atau reguler dan perusahaan artisan coklat atau artisant chocolate.

“Untuk perusahaan besar atau reguler saat ini jumlahnya baru sedikit. Sedangkan untuk artisant chocolate ada sekitar 30 perusahaan,” ujarnya.

Menurut dia, perusahaan besar ini menyerap kakao petani dengan jumlah cukup besar namun hanya dihargai rata-rata Rp30.000/kg. Berbeda dengan perusahaan coklat artisan yang bisa membeli hasil panen petani Rp50.000/kg, namun jumlahnya sedikit.

Dia menambahkan, sekitar 30 perusahaan tersebut bisa menyerap rata-rata 600 ton-1000 ton biji kakao per tahun sedangkan produksi kakao ada sekitar 200.000 ton.

Agar bisa mendapatkan penghasilan lebih, menurut dia, para petani perlu meningkatkan produktivitas maupun produksi kakaonya, karena hal itu akan memberi peluang mereka mendapatkan hasil penjualan kakao dengan harga lebih dari Rp30.000/kilogram.

Terkait kemitraan antara industri dengan petani kakao, Soetanto menyebutkan dengan adanya keringanan berupa penghapusan bea masuk impor sudah selayaknya perusahaan melakukan kemitraan.

Pewarta: Subagyo
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021