Jadi tidak ada kewenangan negara yang didelegasikan ke swasta (pengelola bandara) di sana
Jakarta (ANTARA) - Pengamat Penerbangan Alvin Lie menilai kerja sama kemitraan strategis PT Angkasa Pura II (Persero) dengan GMR Airports Consortium untuk pengelolaan Bandar Udara Internasional Kualanamu adalah bentuk optimalisasi aset, sehingga kerja sama dengan skema Build Operate Transfer (BOT) ini pun tidak ada hubungannya dengan kedaulatan negara.

"Jadi tidak ada kewenangan negara yang didelegasikan ke swasta (pengelola bandara) di sana,” kata Alvin Lie dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, menanggapi penetapan GMR Airports Consortium yang berbasis di New Delhi, India, sebagai mitra strategis pengembangan dan pengoperasian Bandara Internasional Kualanamu, di Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara, oleh PT Angkasa Pura II.

Ia menjelaskan bahwa dalam pengelolaan bandara tersebut yang didapat dari sisi negara adalah penggunaan pelayanan navigasi AirNav Indonesia oleh pesawat yang melintas di langit Tanah Air. Adapun dari sisi bisnis didapat dari penggunaan pelayanan dan infrastruktur di bandara itu sendiri melalui AP II

"Jadi pendapatan dari pengelolaan bandara ini ada dua sisi, sisi udara dan sisi darat. Fungsi bandara pun ada dua, yaitu fungsi pemerintahan dan fungsi pengusahaan," ujarnya.

Pada aktivitas pengelolaan bandara tidak semua pengusahaannya berada di bawah kendali pengelola bandara. Aktivitas yang masuk dalam aspek pemerintahan akan berada di bawah pengawasan dan tanggung jawab otoritas bandara.

Fungsi pelayanan yang dilaksanakan oleh pemerintah antara lain seperti urusan imigrasi, karantina, bea cukai dan sebagainya. Aktivitas tersebut tidak diserahkan kepada siapapun termasuk kepada AP II, selain hanya kepada pemerintah sendiri.

"Jadi pengelola bandara itu hanya sebatas mengkoordinir dari sisi pengusahaannya saja," kata Alvin.

Meski begitu, dalam fungsi pengusahaan tersebut hanya berlaku sebatas pada seputar aspek bisnis. Jika di dalam fungsi pengusahaan dan bisnis mengandung aspek pemerintahan, maka AP II tidak berhak mengalihkan izinnya ke pihak lain dalam hal ini swasta.

"Yang dikerjasamakan dalam skema BOT adalah sebatas aspek bisnis, pengelolaan bandara, infrastruktur dan lain sebagainya yang tidak berhubungan dengan fungsi pemerintahan. Pengelola bandara ini pun tidak berwenang mengeluarkan izin rute," ujar dia.

Artinya, kendali pengelolaan bandara tetap berada di bawah pemerintah. Oleh karena itu tidak perlu ada yang dikhawatirkan secara berlebihan dalam kerja sama strategis dengan skema BOT ini.


Tingkatkan daya saing

Hal senada diungkapkan pengamat penerbangan nasional  Suharto Abdul Majid, bahwa kerja sama ini akan mendorong Bandara Kualanamu sebagai salah satu pusat distribusi rantai pasok global di kawasan Asia.

Menurut Suharto, Bandara Kualanamu berpeluang menyaingi Bandara Changi Singapura dan Bandara Internasional Kuala Lumpur sebagai hub regional melalui konsesi antara PT Angkasa Pura II dengan GMR Airports Consortium.

GMR Airports sendiri merupakan perusahaan operator beberapa bandara yang dimiliki sebagian sahamnya oleh perusahaan operator jaringan bandara terkemuka asal perancis yaitu Aeroports De Paris (ADP).

"Ini (Bandara Kualanamu)  menjadi hub yang strategis dan bisa menghubungkan penerbangan internasional. Melalui kerja sama dengan partner yang memiliki reputasi dan pengalaman pengelolaan bandara secara internasional serta jaringan bandara yang dikelola oleh GMR dan ADP maka bandara Kualanamu bisa dilirik maskapai lain artinya bisa menjadi hub strategis dan menyaingi Changi," katanya.

Pasalnya, selama ini hub di kawasan Asia Selatan menuju Asia Utara hanya tergantung pada Changi Airport di Singapura dan Kuala Lumpur International Airport (KLIA) di Malaysia.

Kerja sama ini membentuk perusahaan patungan bernama Angkasa Pura Aviasi, yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Angkasa Pura II yang mengoperasikan Kualanamu di bawah kemitraan strategis 25 tahun dengan skema BOT (build-operate-transfer), di mana pada akhir kerja sama seluruh aset akan diserahterimakan kembali kepada Angkasa Pura II.

Menurutnya, perusahaan patungan tersebut akan meningkatkan daya saing Bandara Kualanamu. Sebab dengan kemitraan strategis ini maka Bandara Kualanamu akan mendapatkan best practise knowledge dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas pelayanan, juga fasililitas yang lebih baik, pilihan rute yang banyak dan pengelolaan yang lebih baik.

Sekadar informasi, perusahaan baru itu berencana memperluas Bandara Kualanamu dan meningkatkan lalu lintas tahunan dari 10 juta penumpang menjadi 54 juta. Angka ini setara dengan Bandara Internasional Soekarno-Hatta. 

"Kalau sudah menjadi bandara yang kuat di pasar domestik saya optimistis daya saing secara global akan ikut dengan sendirinya," ujarnya.

Suharto menambahkan, kemitraan ini juga akan menyasar penumpang yang bepergian antara Asia Selatan, Asia Utara, dan Australia.

Selama ini, lalu lintas udara di kawasan tersebut masih sangat tergantung pada Bandara Changi dan Bandara Internasional Kuala Lumpur, sehingga kemitraan ini akan mendorong Bandara Kualanamu menjadi basis untuk mengurangi dominasi kedua bandara tersebut.

“Saya optimis dengan kerja sama ini maka dalam 5 tahun bandara Kualanamu akan bisa menyaingi bandara Changi,” ujarnya.

Baca juga: GMR Airport jadi mitra pengelolaan Bandara Kualanamu
Baca juga: Pengamat: Tidak ada pengalihan aset dalam skema BOT Bandara Kualanamu
Baca juga: Jadi hub internasional, Bandara Kualanamu siap saingi Changi dan KLIA


Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021