Bogor, (ANTARA News) - Terjadinya bencana alam berupa banjir bandang dan tanah longsor di Jember, Jawa Timur (Jatim), dan kemudian disusul kejadian tanah longsor di Kabupaten Banjarnegara (Jateng) dinilai oleh pakar lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai sebuah proses panjang kerusakan lingkungan, yang terjadi tidak dalam waktu dekat ini. "Bencana-bencana seperti di Jember dan kini di Banjarnegara itu, adalah sebuah potret kerusakan lingkungan di Indonesia, yang prosesnya panjang sejak bertahun-tahun," kata Prof Dr Ir Dedi Soedharma, Direktur Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB kepada ANTARA di Bogor, Rabu (4/1). Korban tewas dalam musibah banjir bandang dan tanah longsor di wilayah Kabupaten Jember, Jawa Timur, hingga Rabu (4/1) tercatat 77 orang dan puluhan lainnya mengalami luka-luka berat dan ringan. Bupati Jember Ir MZA Djalal mengatakan dari ke-77 korban tewas tersebut, sebanyak 71 korban berada di Desa Kemiri Kecamatan Panti, sementara enam sisanya adalah korban musibah serupa di Kecamatan Arjasa sebanyak satu orang, Rambipuji dan Tanggul masing-masing dua orang, dan Sukowono satu orang. Sementara itu, korban tanah longsor di Dusun Gunungraja Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangun, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Rabu dinihari pukul 03.00 WIB, seperti disampaikan Dirut PT Perhutani, Transtoto Handadari --saat memberikan bantuan kepada korban di Jember, tercatat 15 orang tewas dan 93 orang lainnya hilang. Peristiwa tanah longsor itu terjadi di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Timur petak 44 C. Transtoto menjelaskan, petak 44 C seluas dua hektare itu longsor sehingga menjatuhi desa di bawahnya yang meliputi tiga Rukun Tetangga (RT) dengan jumlah warga 185 KK atau 2.665 jiwa. Peristiwa itu juga menghancurkan 102 rumah warga, tapi belum diketahui nilai kerugiannya. Menurut Dedi Soedharma, kerusakan lingkungan yang kemudian berimplikasi pada terjadinya bencana alam seperti di Jember dan Banjarnegara itu, tidak bisa terlepas dari konteks masa lalu mengenai pembangunan, khususnya yang berkaitan dengan tingkat kerusakan hutan. "Saya sependapat dengan kalangan yang memaparkan bahwa kondisi hutan-hutan di Pulau Jawa saat ini benar-benar kritis, itu bisa dilihat dari jumlahnya yang kian mengecil, yang penyebabnya juga beragam," katanya. Selain yang sudah sama-sama diketahui mengenai pembalakan liar, kata dia, masalah ikutan yang kemudian ikut memberi iuran bagi percepatan kerusakan alam dan lingkungan adalah karena ada sistem pertanian di sekitarnya yang tidak sesuai dengan konservasi air. "Yang lebih parah, hutan lindung pun, yang seharusnya benar-benar dijaga dari penebangan malah dijarah, tentu kondisi-kondisi semacam ini mesti ditangani secara serius bila kita tidak ingin ada korban-korban manusia atas kerusakan alam itu," katanya. Ditambahkannya bahwa di kawasa Selatan Jawa Barat (Jabar), sebuah suaka margasatwa pun menjadi sasaran penjarahan, sehingga bukan saja hutannya rusak, satwa liar yang dilindungi seperti banteng dan lainnya juga sudah terancam punah. "Mestinya, dengan contoh-contoh terjadinya bencana seperti yang kini terjadi di Jember, Banjarnegara sudah cukup untuk menghentikan tindakan-tindakan yang menghancurkan alam dan lingkungan hidup, yang akhirnya membawa korban manusia itu," katanya. Tak perlu perdebatan Sementara itu, menjawab pertanyaan mengenai munculnya dua kutub besar, khususnya saat terjadi bencana alam, dimana otoritas pemerintahan menyatakan tidak ada hutan yang rusak, sementara kalangan LSM dan pihak kritis lainnya mengungkapkan bencana itu akibat hutan yang rusak, ia menegaskan bahwa tak perlu lagi ada perdebatan wacana yang hanya melahirkan kontroversi saja. "Otoritas pemerintahan absah saja melakukan pembelaan diri, tapi sebaiknya terjun saja langsung ke lapangan, lihat kondisi riil hutan yang ada," katanya. Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim menilai bahwa pernyataan Gubernur Jatim Imam Utomo soal penyebab musibah banjir bandang dan longsor di Kecamatan Panti, Kabupaten Jember bukan akibat kondisi hutan yang gundul menyesatkan dan membohongi publik. Hal itu ditegaskan Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Ridho Syaiful Ashadi menanggapi pernyataan gubernur soal musibah bencana alam di Jember. "Itu pernyataan yang menyesatkan dan tidak bertanggung jawab. Tidak seharusnya gubernur sebagai pejabat publik mengambil kesimpulan begitu cepat," katanya. Gubernur Jatim Imam Utomo saat mendampingi Menko Kesra Ir Aburizal Bakrie meninjau lokasi bencana membantah anggapan bahwa banjir bandang yang menyebabkan puluhan nyawa melayang sebagai akibat dari gundulnya hutan di pegunungan Hyang Argopuro. "Hutannya utuh kok. Banjir itu, karena di atas ada cekungan yang berisi air dan selama ini tertahan oleh timbunan kayu-kayu tua dan kemudian ambrol," katanya. Menurut Dedi Soedharma, pada banyak kasus bencana di Indonesia debat klasik semacam itu selalu muncul, namun dengan referensi yang ada hendaknya tidak lagi dilakukan, namun mesti melakukan langkah tepat dan efektif, baik jangka pendek, menengah dan panjang. "Jangka pendekanya adalah menyelamatkan para korban bencana, dan menengah serta panjangnya adalah memperbaiki secara sistemik pembangunan berparadigma lingkungan, termasuk secara mendasar melakukan pemetaan secara serius pada hutan-hutan kritis di Pulau Jawa saat ini," katanya.(*)

Copyright © ANTARA 2006