Kita jadikan korupsi ini sebagai musuh bersama layaknya kita menganggap melawan COVID-19 sebagai musuh kita bersama.
Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengatakan korupsi harus dijadikan musuh bersama layaknya melawan pandemi COVID-19.

"Kita jadikan korupsi ini sebagai musuh bersama layaknya kita menganggap melawan COVID-19 sebagai musuh kita bersama. Korupsi harus kita jadikan sebagai "common enemy", tetapi seandainya kalau korupsi ini dianggap 'wah itu urusan KPK,' maka tidak akan pernah korupsi itu bisa berhenti," ujar Firli saat jumpa pers peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2021, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis.

Oleh karena itu, Firli mengatakan melalui peringatan Hakordia 2021, lembaganya mengajak semua elemen masyarakat untuk turut menyatakan bahwa korupsi adalah musuh bersama.

"Kami melalui Hakordia ini, kami ajak semua komponen, semua anak bangsa, semua elemen masyarakat, lembaga pemerhati korupsi, penggiat antikorupsi ikut menyatakan bahwa korupsi adalah musuh kita bersama," ujar Firli.

Ia tidak memungkiri bahwa korupsi saat ini masih terus terjadi di Indonesia. Ia pun mengungkapkan beberapa alasan terkait permasalahan tersebut.

"Kami paham korupsi ini masih saja terjadi. Kenapa terjadi? tentu banyak teori yang mengatakan, banyak teori dan literatur yang kami baca, tetapi setidaknya ada tiga alasan yang harus kami ungkap," kata dia.
Baca juga: KPK: jadikan korupsi musuh bersama


Permasalahan pertama, kata Firli, kemungkinan terkait dengan regulasi.

"Pertama, apakah ada kemungkinan ada persoalan regulasi, ternyata tidak ada masalah regulasi. Undang-undang kita dulu sudah ada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 diubah menjadi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 penyelenggara negara yang bebas dari KKN, keluar lagi Undang-Undang 31 Tahun 1999 diubah dengan terbaru Undang-Undang 20 Tahun 2001, regulasi selesai. Undang-Undang 30 Tahun 2002 tentang KPK selesai diubah dengan Undang-Undang 19 Tahun 2019, artinya regulasi tidak ada masalah," ujarrnya pula.

Permasalahan kedua, ujar Firli, kemungkinan mengenai tata kelola di bidang keuangan dan penganggaran serta tata kelola dalam kelembagaan demokrasi.

"Karena negara kita sudah bergeser bertransformasi dari ketertutupan menjadi keterbukaan. Keterbukaan adalah suatu ciri sifat dari pada demokrasi," kata dia.

Ia mengatakan seharusnya dengan keterbukaan dan demokrasi tidak ada ruang untuk melakukan korupsi.

"Dengan keterbukaan dan demokrasi mimpi buruk bagi para koruptor, ini tidak bisa melakukan korupsi karena semua sudah terbuka. Penyelenggara negara bisa kita lihat bagaimana sistem penyelenggaraan negaranya, sistem administrasinya, sistem anggarannya, pengadaan barang jasa semua terbuka seharusnya sudah tidak ada lagi korupsi itu," katanya lagi.

Kemudian permasalahan ketiga, kata Firli, kemungkinan soal budaya korupsi yang masih dianggap permisif.

"Dengan keterbukaan demokrasi seharusnya mimpi buruk bagi para koruptor dan tidak ada celah orang melakukan korupsi, tetapi tetap masih ada, karenanya ada lagi satu persoalan, mungkin saja budaya korupsi masih dianggap permisif bagi kita," ujar Firli Bahuri.
Baca juga: Presiden Jokowi: Penegak hukum yang memeras jadi musuh bersama
Baca juga: Koruptor dilarang nyalon pilkada, KPU: Korupsi musuh bersama

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021