Tahun ini, kita mengalami kerugian
Jakarta (ANTARA) - Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya Agus Himawan Widiyanto menyebutkan ujian atau turbulensi perusahaan belakangan ini mulai dari pandemi COVID-19 dan hal lainnya, berpengaruh cukup besar pada laba bersih perusahaan.

Terutama, kata Agus, di Jakarta, Kamis, adalah kasus hukum terakhir yang dialami Sarana Jaya, hingga membuat neraca keuangan perusahaan masih dalam rapor merah akibat dibekukannya beberapa aset perusahaan.

"Memang dua hal yang sebabkan neraca keuangan kami merah, satu pandemi dan kedua masalah kasus yang kita hadapi kemarin. Tahun ini, kita mengalami kerugian," kata Agus selepas Diskusi dan Launching Whistle-blowing System (WBS) Perumda Pembangunan Sarana Jaya di salah satu hotel daerah Cikini, Jakarta Pusat.

Hal itu, katanya, karena buntut dari kasus tersebut, berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, keuangan yang diduga terlibat kasus korupsi, dibekukan dan disita untuk masuk ke kas negara sehingga perseroan harus melakukan pencadangan keuangan.

"Ini sangat mengganggu karena kita harus melakukan banyak pencadangan penyisihan, terutama potensi-potensi yang dianggap jadi satu kerugian negara, sehingga menggerus laba bersih kita," ujar dia.

Baca juga: Perbaikan internal, Sarana Jaya luncurkan "Whistle-blowing System"

Agus belum bersedia merinci berapa kerugian perseroan pada 2021 ini. 

Pada 2020, laba bersih Perumda ini tercatat sebesar Rp2 miliar atau turun hingga 96,7 persen bila dibandingkan 2019 senilai Rp61,18 miliar.

Untuk mengambil kembali aset perusahaan yang dibekukan, Agus menyebut pihaknya mencari solusi yang paling tepat antara mempailitkan mitra mereka, melakukan gugatan perdata atau opsi lainnya.

Meski demikian, Agus menyebutkan bahwa untuk gugatan perdata pihaknya akan kehabisan waktu karena prosesnya sangat panjang mulai dari tingkat pertama, banding, kasasi, pengajuan kembali, hingga inkrah.

"Setelah inkrah belum tentu juga bisa kami ekseskusi keputusan itu, karena mungkin aset itu masih dijaminkan, itu lama kami telah membuktikan," katanya.

Baca juga: KPK limpahkan berkas empat terdakwa perkara pengadaan tanah Munjul DKI

Oleh karena itu, pihaknya sedang berdiskusi dengan konsultan terkait ke arah mana sebab  gugatan perdata itu lima hingga tujuh tahun, biasanya belum selesai. biasanya," ucap dia.

Sementara itu, Kepala Satuan Tugas III Direktorat Layanan Laporan dan Pengaduan Masyarakat KPK RI Muhammad Sopan Hadi menyebut terkait dengan persoalan penyitaan aset dalam kasus korupsi menjadi perhatian KPK, akan tetapi mekanismenya sesuai undang-undang, tetap berlaku.

"Dari beberapa kebijakan, pimpinan KPK sudah merespon hal semacam itu, sehingga dari kami baik penyidik maupun JPU (jaksa penuntut umum) diminta untuk segera mengembalikan aset atau apapun yang disita, bila tidak terkait dengan perkara," kata Sopan.

Sopan menjelaskan, mekanisme penyitaan aset atas tindak pidana korupsi memang masuk ke kas negara, meskipun itu keuangan daerah.

Selanjutnya, kata dia, finansial akan kembali ke daerah dalam bentuk yang lain. Adapun cara yang memungkinkan untuk dapat pengembalian aset adalah melalui gugatan perdata.

Baca juga: Sarana Jaya gunakan teknologi ramah lingkungan untuk kelola sampah

Sopan mendorong agar Perumda Pembangunan Sarana Jaya dapat lebih sehat keuangannya dengan cara bersih dari tindak pidana korupsi dan belajar dari pengalaman yang terjadi, sehingga masalah neraca keuangan yang merah gara-gara korupsi tidak terjadi lagi.

"Jadi, jangan dikorupsi supaya (uang) tetap ada di tempat (perusahaan), kalau dikorupsi akan ada masalah," ujarnya.

Antisipasi korupsi
Sebagai langkah antisipasi adanya korupsi, Sarana Jaya melakukan langkah anyar membangun wistleblowing system (WBS) untuk pertama kalinya dibentuk oleh BUMD tersebut setelah hadir sejak sekitar empat dekade yang lalu.

Agus Himawan Widiyanto mengungkapkan WBS merupakan langkah awal sekaligus nyata untuk memperbaiki "good corporate goverment (GCG)" di lembaganya, perbaikan mitigasi risiko dalam proses bisnis, serta penyempurnaan prosedur operasi standar (SOP) proses bisnis.

"Ini jadi kunci kita, menjadi 'kick off', insya Allah Sarana Jaya menjadi lebih baik, semakin maju dan bersih sebagai perusahaan yang sehat," ujar Agus.

Baca juga: Direktur Sarana Jaya optimis dua FPSA mampu tuntaskan sampah Jakarta

WBS adalah sarana untuk melaporkan ihwal perbuatan yang berindikasi tindak pidana korupsi di organisasi tempat si pelapor bekerja dan memiliki akses informasi memadai atas kejadian indikasi tindak pidana tersebut.

Adapun si pelapor (witleblower) diberi perlindungan atas informasi yang diungkap.

Sejumlah lembaga membangun WBS internal, namun sebagian juga menggunakan lembaga independen.

Untuk menguatkan sistem WBS, Agus menyebut pihaknya bekerjasama dengan pihak ketiga atau lembaga independen.

"Saya minta independen dalam pelaksanaannya. Sekarang kita sudah pendampingan kejaksaan, BPKP (badan pengawasan keuangan dan pembangunan), kita selalu minta pendampingan dalam ambil keputusan," ujarnya.

Baca juga: Mantan dirut BUMD Sarana Jaya didakwa rugikan negara Rp152,565 miliar

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2021