Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Asosiasi Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin) Rachmat Hidayat menyampaikan cara untuk mengetahui air minum dalam kemasan (AMDK) yang layak untuk dikonsumsi.

Secara umum, dikatakan bahwa produk pangan olahan (termasuk AMDK) yang beredar di Indonesia diseleksi sangat ketat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebelum dijual.

“Jadi, perhatikan di kemasannya, adakah tertulis yang namanya izin edar BPOM. Untuk kodenya ada huruf awal MD (Makanan Dalam), kemudian ada angka,” ungkap dia melalui akun instagram @antaranewscom dalam acara Antara Ngobrol Bareng, Jakarta, Kamis.

Kedua, terdapat label Standar Nasional Indonesia (SNI) yang memang diwajibkan dalam produk AMDK, dan kemudian label halal.

Jika salah satu dari ketiga label tersebut tidak ada, dia meminta agar para konsumen tak membeli.

“Sebaliknya, kalau jelas-jelas yang tiga itu ada lalu misalkan ada informasi menyatakan bahwa produk tersebut berbahaya, jangan percaya. Silakan cek langsung ke website BPOM,” ujar Rachmat.

Seandainya terdapat produk AMDK yang tak memiliki label keamanan pangan, maka disarankan agar produk tersebut dilaporkan kepada otoritas berwenang karena telah melanggar aturan. Sehingga nantinya akan terkena hukuman pidana karena menjual barang tanpa sertifikat, yakni ancaman lima tahun penjara.

Dalam kesempatan yang sama, ia mengatakan rencana kebijakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberlakukan pelabelan risiko Bisphenol-A (BPA) akan menjadi pukulan bagi industri air minum dalam kemasan (AMDK).

“Kenapa? Karena kesan konsumen akan berubah, karena ada Bisphenol-A atau suatu zat yang dapat menjadi cemaran. Padahal, tidak ada satupun kemasan yang tidak mengandung cemaran,” kata Rachmat.

Kebijakan tersebut telah digulirkan oleh BPOM sejak awal tahun 2021 dan wacana tersebut kembali berkembang beberapa waktu terakhir.

Dia mengaku telah menyampaikan secara resmi kepada BPOM agar rencana itu tak dilanjutkan pembahasannya, juga berkomunikasi kepada para pemangku kepentingan lainnya karena kebijakan pelabelan risiko BPA akan berefek ke sektor ekonomi, lingkungan hidup, sosial, psikologi masyarakat, dan hukum.

Peraturan ini dianggap sangat diskriminatif karena hanya diberlakukan kepada industri AMDK. Padahal, di sektor makanan juga mengandung cemaran namun BPOM tak mewajibkan pelabelan risiko BPA terhadap sektor tersebut.

Karena itu, pihaknya mengirim surat kepada Kementerian Perekonomian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam rangka penolakan terkait rencana BPOM.

“Kami juga kirim surat secara resmi kepada Presiden Joko Widodo. Kami punya harapan positif pemerintah akan memberikan pertimbangan permohonan kami,” sebut Rachmat.

Baca juga: Kemenkes: 89,1 persen masyarakat Indonesia minum air yang tidak aman

Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2021