Jakarta (ANTARA News) - Dua orang pedagang di sebuah pasar sedang riuh bertengkar. Yang satu bilang, dasar dodol! Satunya lagi bilang, dasar ember! Saya tidak paham mengapa mereka bertengkar, tetapi dua benda yang disebut itu, dalam konteks tertentu, relevan bagi saya.

Soal dodol, saya baru tiba dari Turki dan bawa oleh-oleh Turkish Delight alias aneka dodol (lokum) Turki (maaf kalau Anda tak kebagian!). Saya telah menuliskan di kolom ini sebelumnya soal dodol Turki itu. Di Indonesia pun kuliner dodol tidak kalah ragamnya: dodol Garut, dodol Betawi, jenang Kudus, dan sebagainya.

Saya kira di banyak daerah ada dodolnya sendiri-sendiri. Sehingga, Indonesia ini tidak hanya layak disebut negeri soto, tetapi juga negeri dodol. Negeri kaya akan kulinernya.

Di Yogya saja, kapan hari saya muter-muter cari tempat makanan yang enak-enak dengan Cak Anas Urbaningrum yang politisi itu. Lengkap beraneka. Di tempat lain juga begitu: Solo, Surabaya, Malang, dan lain-lain tempat di Jawa dan luar Jawa. Maka, tolong disebut juga kalau Anda mengilustrasikan soal sesanti Bhinekka Tunggal Ika, masukanlah aneka makanan juga.

Yang berbeda-beda tak hanya suku-sukunya, bahasa-bahasanya, agama-agamanya, adat-istiadatnya, tapi juga soto-sotonya, dodol-dodolnya.

Soal kuliner nih, yang sekarang jadi tradisi di warung-warung itu : apabila ada artis atau politisi yang mampir minta foto dan tanda tangan. Akibatnya, tempelan-tempelan di temboknya penuh tulisan dan tandatangan. Misalnya, "Warung ini enak masakannya. Sungguh!" Kemudian di bawahnya ada tanda tangan artis atau politisi.

Di sebuah warung di Jawa Timur, bahkan ada jor-joran foto presiden dengan si pemilik warung.  Tak hanya dengan Pak SBY, tetapi juga foto dengan Bu Mega dan Gus Dur. Politik boleh beda, tapi masakan enak, siapapun presidennya tetap mampir.

Kuliner memang lintas politik, suku, ras, golongan, bahkan agama (asal halal). Biarpun tempatnya tersembunyi, tetap saja penggila kuliner tetap saja nyari. Misalnya, bakmi Mbah Mo di Yogya, yang tempatnya terpencil di perumahan penduduk, jauh dari pusat keramaian itu. Sungguh tak menyangka, bahkan ketua partai pun makan di sana, lengkap dengan iring-iringan patwal nguing-nguing atau ngiung-ngiung-nya.

Begitupun sang pemilik warung santai-santai saja: dari tahun ke tahun tempatnya begitu-begitu saja. Tidak kok berusaha mempermak sedikit indah tempat jualannya. Tapi, justru itulah pelajaran keotentikan. Makanan yang otentik rasanya: tetap saja dibanjiri pembeli, walaupun tempatnya nyempil.

Karena sang pemilik warung bukan ketua partai: maka ia tak butuh pencitraan. Bagi pemilik warung kesejatian cita-rasa makanan lebih abadi ketimbang kenecisan tempat penjualan. Mungkin Anda akan segera menyahut tentang fenomena ini: mungkin pemilik warung itu tak mengenal pencitraan!

Di Jawa Barat dan Betawi dodol lebih sering disebut ketimbang jenang. Yang terakhir itu lazim disebut di kawasan Jawa Tengah dan Timur. Jenang itu sakral. Kalau nama Anda sejak kecil Sukardi dan Anda sakit-sakitan, maka tetua di Jawa sarankan agar namanya diganti, misalnya dengan Subangkit. Syaratnya, harus ada aneka macam jenang sebagai bagian dari ritual.

BTW dodol itu enak dan dalam hal tertentu membuat kita kangen untuk makan lagi dan lagi. Kapan hari istri saya pesan dodol ke orang Betawi, dan karenanya dodolnya disebut dengan dodol Betawi. Nama pembuat dodol itu Bu Jamilah. Istri saya mencatat nomor teleponnya: Jamilah Dodol. Tentu maksudnya untuk membedakan dengan Jamilah-Jamilah lainnya. Hmmm, kalau saja Bu Jamilah jualan ember, pasti nulisnya Jamilah ember!

Ketika saya tanya soal pembuatannya: ribet. Butuh keahlian dan tenaga ekstra. Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat dodol antara lain terdiri dari santan kelapa, tepung beras (ketan), gula pasir, gula merah, dan garam.

Bahan-bahan itu dicampur dan diaduk-aduk dalam kuali besar. Apinya sedang tak boleh kebesaran. Proses pengadukannya terus menerus, dari adukan ringan hingga kian memberat. Demikian terus-menerus pengadukannya. Tak boleh ditinggal seenaknya oleh si pembuat. Idealnya diperlukan tenaga laki-laki untuk pengadukannya: tapi awas jangan sampai keringatnya ikut ambil bagian, netes di kuali!

Pelajaran hidup dapat kita tarik dari bagaimana orang membuat dodol. Hukum alam alias sunatullah berlaku di sini: bayangkan, apabila sang pengaduk lalai sebentar saja, apa yang terjadi. Masakan bisa gosong dengan kerak yang tebal sekali.

Soal masakan gosong ini, saya ingat pelawak tempo dulu Jalal. Karena ia berperan sebagai Bapak Rumah Tangga: ia wajib masak dan masakannya gosong. Istrinya marah. Tapi Jalal santai saja menjawab: “Ini masakan Afrika mah!”

Istrinya yang cemberut itu, berkomentar, “Mama nggak begitu suka masakan Afrika Pah!”

Demikianlah sedikit catatan saya tentang dodol.

Yang soal ember? Kalau soal ini, malu saya bercerita. Soalnya menyangkut urusan genteng rumah saya yang bocor, sehingga kalau hujan penuh dengan ember-ember atau baskom-baskom di bawahnya.

BTW, kembali ke ibu yang saling berdodol dan berember di atas. Ternyata dua hal itu (dodol dan ember) juga sudah sering terdengar di kalangan ABG alias anak baru gede, bahkan anak kuliahan.

Dodol kira-kira artinya urakan, narsis, semau gue, menyebalkan –demikian pemahaman saya dari ringkasan novel “Anak Kos Dodol” karangan Dewi Rieka. Jauh ya dari makna semula: makanan yang kenyal, manis dan lezat. O, mungkin karena kata ini dikonotasikan dengan suka bermanis-manis padahal sebaliknya. Begitukah?

Ember artinya talking to much alias omong terlalu banyak. Saking banyaknya yang diomongkan, beda fakta dan fiksi tak jelas lagi. Juga, hal-hal yang semestinya kurang pantas diomongkan keluar. Rahasia-rahasia juga keluar. Pernah ada sindiran soal spion Melayu: karena terlalu ember, rahasia keluar semua ke tangan musuh.

Kalau demikian, pemimpin, atau katakan pemimpin politik alias politisi, mestinya jangan suka bergaya dodol dan ember ya? Politisi mesti jaga wibawa. Soalnya politisi bukan pedagang di pasar-pasar bukan?

*M Alfan Alfian Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta.

Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011