Jakarta (ANTARA) - Ketika Olimpiade Musim Dingin di Beijing digelar awal Februari tahun depan, suhu di negara-negara empat musim diperkirakan lebih dingin ketimbang beberapa musim dingin sebelumnya, bahkan bisa tiga derajat Celcius lebih rendah dari biasanya.

Namun dua bulan sebelum api Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022 menyalakan kaldron Stadion Nasional Beijing pada 4 Februari, suhu politik global justru bukannya mendingin melainkan memanas.

Sebagai unjuk protes terhadap apa yang disebut Amerika Serikat dan sejumlah negara Barat sebagai "genosida yang tengah berlangsung" di Provinsi Xinjiang di China barat laut dan berbagai dugaan pelanggaran hak asasi manusia lainnya di China, Presiden AS Joe Biden pada Senin 6 Desember menyatakan negaranya akan memboikot secara diplomatik OIimpiade Beijing itu.

Baca juga: AS boikot diplomatik Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022

Sehari kemudian, Kanada, Inggris dan Australia mengikuti jejak AS dengan menyatakan berencana tak mengirimkan pejabat-pejabat politiknya guna menghadiri OIimpiade Beijing.

Boikot diplomatik berbeda dari boikot penuh seperti pernah terjadi pada Olimpiade Musim Panas 1956, 1980, 1984 dan 1988. Boikot penuh adalah ketika sebuah negara sama sekali tidak mengirimkan atletnya ke Olimpiade itu.

Boikot penuh terjadi pada Olimpiade 1956 di Melbourne ketika Spanyol, Belanda dan Swiss memprotes invasi Pakta Warsawa ke Hungaria tahun itu.

24 tahun kemudian 42 negara memboikot Olimpiade Moskow 1980 gara-gara Uni Soviet menginvasi Afghanistan setahun sebelum Olimpiade itu.

Empat tahun kemudian, Uni Soviet dan 19 negara balas memboikot Olimpiade Los Angeles 1984.  Empat tahun setelah itu giliran Korea Utara dan lima negara memutuskan tak mengirimkan atletnya ke Olimpiade Seoul 1988.

Namun boikot yang diinisiasi AS kali ini hanya melarang pejabat politik menghadiri Olimpiade musim dingin pertama yang diadakan di China tersebut.

Baca juga: Inggris dan Kanada gabung dengan boikot diplomatik Olimpiade Beijing

Meskipun demikian, belum ada jaminan apakah aksi itu akan lebih jauh menjadi boikot penuh atau malah urung diterapkan, karena sepertinya ini tergantung kepada sinyal politik yang diberikan China.

China sendiri menganggap manuver AS itu langkah politik yang sama sekali tak ada urusannya dengan olahraga. China sebal kepada cara Barat memandang diri mereka ketika mereka tengah dalam puncak era sejahtera.

Kebanyakan warga China sendiri menilai negaranya tengah berada pada masa menakjubkan. Mereka melihat menjadi kian menentukannya posisi negara mereka dalam segala dimensi pergaulan internasional, mulai politik sampai ekonomi.

Situasi ini membuat mereka merasa dunia layak memberikan tempat dan kesempatan terbaik kepada negaranya, termasuk menyelenggarakan acara global akbar seperti Olimpiade Musim Dingin 2022.

Namun saat bersamaan, postur mengglobal China ini dipandang Barat yang berbeda diametral secara ideologis dengan China, dengan gamang.

Di satu sisi Barat mengakui sukses besar penguasa China dalam mengelola negerinya, namun saat bersamaan mereka melihat penguasa China kian lalim saja.

China sukses dalam segala sektor kehidupan, termasuk turut dalam penjelajahan mencari kehidupan lain di luar Bumi, namun saat bersamaan Barat melihat penguasa China semakin represif terhadap perbedaan pendapat, terutama kepada kaum minoritas, salah satunya warga etnis Uyghur di Xinjiang.

Baca juga: Australia ikuti langkah AS boikot Olimpiade Beijing
Baca juga: Prancis tak akan boikot diplomatik Olimpiade Beijing



Pertaruhan ideologi

Barat yang merasa telah melahirkan dan mengembangkan nilai serta semangat Olimpiade yang tak saja bertalian dengan rekonsiliasi dan perdamaian namun juga demokrasi itu, mungkin tak menerima harus menyaksikan Olimpiade dikooptasi oleh rezim yang 180 derajat berseberangan dengan ideologi dan cara hidup mereka.

Ada perasaan di Barat tak bisa memberi hati melihat China begitu maju demikian rupa tanpa mengalami erosi dalam ideologi dan dalam cara mereka mengelola negara yang berbalik 180 derajat dengan kultur demokrasi Barat.

Tak seperti Rusia yang juga kerap berseberangan dengan Barat, China bukan negara multipartai dan dianggap Barat tak memuliakan nilai-nilai hakiki demokrasi yang salah satunya memupuk pers bebas.

Fakta China perlahan menguasai kavling-kavling politik dan ekonomi global dengan ideologi yang masih solid dan dengan otoritarianisme, membuat Barat merasa prinsip-prinsip demokrasi bebas tengah digugat.

Bahkan pada awal pandemi ketika China lebih efektif membendung penyebaran virus corona, ada diskursus besar di Eropa bahwa situasi luar biasa seperti pandemi yang membuat semua orang bebas berpendapat namun dengan itu akal sehat acap dikalahkan oleh prasangka, otoritarianisme ternyata lebih efektif dalam memerangi pandemi.

Baca juga: China layangkan protes kepada AS atas boikot Winter Olympic

Otoritarianisme juga terlihat lebih efektif dalam mengendalikan dampak pandemi, bukan hanya tingkat kematian dan infeksi, namun juga dalam menangkal daya rusak pandemi kepada sistem ekonomi.

Oleh karena itu, manuver Biden cs tak bisa disederhanakan sebagai rasa iri atas kemajuan dan pengaruh China yang semakin mengglobal.

Yang lebih terlihat justru pertaruhan ideologi, khususnya dalam kaitannya dengan relevansi nilai-nilai demokrasi liberal dengan masyarakat global kontemporer ketika otoritarianisme justru menjadi kunci sukses China menjadi adidaya baru dunia. Bahkan beberapa negara terlihat berusaha mengadopsi cara China ini.

Oleh sebab itu karena sudah merupakan pertarungan ideologis, maka silang pendapat menjadi sulit dikompromikan. Yang terjadi malah kedua belah pihak semakin keras bersikap, bahkan ada indikasi Uni Eropa mengikuti AS mungkin dengan alasan prinsip demokrasi yang sama, salah satunya perlindungan hak asasi manusia.

Sebaliknya China mungkin akan semakin keras melawan dengan mengerahkan semua instrumen yang ada.

Baca juga: IOC hormati keputusan diplomatik AS terhadap Olimpiade Beijing

Akibatnya ada kekhawatiran boikot diplomatik malah bisa berdampak buruk kepada atlet-atlet AS dan negara-negara yang memboikot diplomatik Olimpiade ini, apalagi China yang belakangan ini tak ragu melancarkan balasan sudah bersumpah akan membalas siapa pun yang memboikot Olimpiade Beijing.

Ingatlah kasus eksekutif Huawei yang akhirnya dibebaskan Kanada setelah tiga tahun ditahan di sana. Eksekutif ini dibebaskan setelah China membalas dengan menahan dua warga Kanada atas tudingan spionase.

Australia yang meminta investigasi independen untuk asal muasal COVID-19 juga tidak luput dari balasan China yang menjatuhkan sanksi ekonomi kepada produk-produk ekspor Australia berupa anggur dan daging sapi.

Menjadi wajar jika banyak yang mengkhawatirkan atlet atau ofisial dari negara yang memboikot Olimpiade Beijing itu yang justru terkena getahnya. Beberapa kalangan khawatir para atlet berisiko dipermasalahkan dengan cara mengaitkan mereka dengan protokol COVID-19, doping atau karena kaitan memprotes kebijakan-kebijakan China.

Jika sudah begini, Olimpiade Beijing bisa sangat kental dengan aroma politik, terlebih jika perbedaan sudah terlalu sulit untuk dijembatani, apalagi seperti adidaya-adidaya sebelumnya yang menentukan hampir semua sektor kehidupan global, China kian keras kepada siapa pun.

Olimpiade Musim Dingin 2022 pun bisa jadi bukan lagi hanya soal bagaimana atlet berkompetisi, namun juga mengenai mukadimah untuk apa yang akan terjadi setelah Olimpiade itu.

Baca juga: Xinjiang di persimpangan Sabuk Jalan dan Olimpiade Musim Dingin

Copyright © ANTARA 2021