Surabaya (ANTARA News) - Ribuan warga di beberapa desa di Kecamatan Panti, Kabupaten Jember, Jawa Timur, mungkin tidak pernah membayangkan terlebih menyangka kalau daerahnya akan hancur lebur diterjang banjir bandang dan longsor seperti yang terjadi pada Minggu dan Senin dini hari lalu. Tidak ada firasat buruk di benak mereka. Mereka tetap menjalankan aktivitas keseharian seperti biasanya, bertani, beternak, dan menjadi buruh di perkebunan kopi yang ada di sekitar desanya. Bahkan, saat hujan deras pada Sabtu (31/12) malam dan Minggu (1/1), tidak ada sedikit pun perasaan was-was dan khawatir di benak warga hingga tiba-tiba pada Minggu malam menjelang dini hari, air bah yang disertai lumpur menerjang pemukiman warga. Hanya dalam hitungan menit, ribuan rumah rusak dan sebagian diantaranya hanyut tersapu derasnya arus air yang turun dari lereng Pegunungan Argopuro yang disertai lumpur, bebatuan, dan kayu. Peristiwa yang sangat cepat dan sporadis itu, tidak bisa diantisipasi warga setempat hingga begitu banyak warga ikut terseret arus air bercampur lumpur. Sedikitnya 60 warga tewas dalam musibah alam terbesar di awal 2006 itu. Korban tewas paling banyak berada di desa Kemiri yang merupakan wilayah paling parah terkena bencana. Desa lain yang terkena banjir bandang diantaranya Suci, Panti, Gelagah Wero dan Pakis. Ribuan warga kini harus mengungsi karena rumahnya hanyut diterjang banjir. Banjir bandang dan longsor di Jember itu menjadi catatan terburuk dalam sejarah musibah serupa yang pernah terjadi di Jawa Timur dalam lima tahun terakhir, terutama dari jumlah korban. Daerah lain di Jatim yang pernah dilanda banjir bandang dan longsor adalah Situbondo, tahun 2000, dengan korban tewas 15 orang, kemudian Pacet Mojokerto akhir 2002 dengan korban 24 orang, dan Blitar Selatan pada 2004, merenggut 16 nyawa. Selain korban jiwa, musibah tersebut menyebabkan kerugian ekonomi, lingkungan dan sosial yang sangat besar. Warga yang selamat dari musibah dipastikan juga akan menderita trauma dan rasa ketakutan berkepanjangan. Pertanyaan kemudian muncul, siapa yang harus disalahkan dalam musibah tersebut? Mungkinkan menyalahkan alam dan cuaca yang sebenarnya tidak pernah mengganggu kehidupan manusia? Atau pejabat daerah yang seharusnya tanggap terhadap wilayah kekuasaannya? "Itu bukan bencana alam, karena kalau bencana alam berarti kesalahan Tuhan, apa mungkin Tuhan di-mejahijau-kan? Banjir bandang di Jember itu bencana ekologi dan karenanya bupati Jember harus dimintai pertanggungjawaban," kata pakar hukum lingkungan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dr Suparto Wijoyo SH. Doktor alumnus Unair itu menyatakan musibah di Jember bukan problem primer, melainkan problem ikutan yang diakibatkan buruknya manajemen lingkungan. Manajemen lingkungan yang buruk menyebabkan hutan menjadi gundul. "Hutan gundul akibat dipotong setan gundul. Saya katakan setan gundul, karena orangnya tak tersentuh hukum. Dia tak tersentuh hukum, karena aparatnya tidak beres," kata Suparto. "Boleh saja, bupati/walikota mengelak dengan menyebut kebijakan lingkungan yang salah merupakan warisan pendahulunya, namun dia tetap dapat dikatakan bersalah, karena dia seharusnya melakukan koreksi atas kebijakan yang salah itu," tambahnya. Kalau bupati atau kepala daerah harus diminta pertanggungjawaban terkait bencana alam di daerahnya, berarti seharusnya akan banyak kepala daerah yang harus diajukan ke meja hijau. Bukankan bencana banjir bandang dan longsor juga terjadi di banyak daerah lain? Tapi nyatanya, sampai sekarang tidak pernah ada kepala daerah yang diseret ke meja hijau untuk diadili dalam kasus bencana, seperti sebelumnya terjadi di Situbondo, Mojokerto dan juga Blitar. Hutan Gundul Dugaan banyak pihak, musibah banjir di Jember akibat kerusakan lingkungan dalam hal ini hutan di sekitar lereng Pegunungan Argopuro yang kondisinya sudah gundul. Curah hujan yang tinggi mengakibatkan hutan tidak mampu menyerap air hingga kemudian terjadi banjir bandang dan longsor. Namun, Gubernur Jatim Imam Utomo, saat mendampingi Menko Kesra Aburizal Bakrie meninjau lokasi musibah di Kecamatan Panti, Jember, Selasa (3/1), secara tegas membantah anggapan itu setelah mendapat penjelasan dari pejabat setempat. "Hutannya utuh kok. Banjir itu karena di atas ada cekungan yang berisi air dan selama ini tertahan oleh timbunan kayu dan kemudian ambrol," katanya. Apa yang disampaikan Gubernur Jatim bisa jadi benar, namun mungkin juga salah. Karena sejauh ini belum ada laporan resmi dari instansi terkait (Dinas Kehutanan atau Perhutani) mengenai kondisi hutan di sekitar Pegunungan Argopuro. Namun yang jelas, musibah sudah terjadi dan puluhan warga sudah menjadi korban. Musibah lebih besar kemungkinan masih bisa terjadi di daerah lain di Jatim karena dalam beberapa tahun terakhir, kondisi lingkungan hidup tidak makin membaik. Mengutip data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim, sekitar 700 ribu hektar dari 1,35 juta hektar luas hutan di Jatim dalam kondisi rusak, baik karena illegal logging maupun kebakaran. Laju kerusakan hutan mencapai 30 persen per tahun. Kerusakan hutan yang terjadi sejak era reformasi sekitar tujuh tahun silam, memang telah membuat daya dukung lingkungan menjadi sangat rapuh. Bencana banjir dan longsor silih berganti muncul di berbagai daerah, bahkan pada daerah yang sebelumnya diperkirakan aman dari bencana sekalipun. Warga di sejumlah daerah pun kini ikut was-was dan khawatir, bencana serupa di Jember bisa menimpa tempat mereka. Seperti di Blitar dan Malang Selatan yang kini hutannya banyak yang gundul, Tulungagung, Pacitan, Trenggalek, Banyuwangi dan beberapa daerah lain. Anggota Dewan Nasional Walhi Syafruddin Ngulma Simeulue mengingatkan masyarakat untuk tidak menyalahkan kondisi cuaca (curah hujan) ketika banjir melanda. Saat ini, hampir semua daerah di Jatim rawan terhadap bencana. "Kalau akhir-akhir ini beberapa daerah dilanda banjir atau terjadi longsor, jangan buru-buru menuding cuaca atau iklim global. Karena yang terjadi sebenarnya, daya dukung lingkungan kita ini sudah sangat rapuh," katanya. Curah hujan yang tinggi beberapa waktu terakhir, sebenarnya gejala alam biasa yang bisa terjadi setiap tahun. Dengan daya dukung lingkungan yang kuat dan hutan yang lebat, kecil kemungkinan bencana banjir bandang dan longsor terjadi. Kini yang perlu dilakukan pemerintah daerah adalah melakukan langkah antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari korban manusia yang lebih besar. Ridho Syaiful Ashadi, Direktur Eksekutif Walhi Jatim mendesak pemerintah daerah segera membuat peta potensi rawan bencana di wilayahnya dan menyebarkannya kepada masyarakat, membuat sistem peringatan dini dan menyiapkan langkah rehabilitasi serta penanganan bencana secara cepat. "Bencana bisa datang sewaktu-waktu dan tanpa diduga, tapi kita bisa melakukan upaya pencegahan agar tidak sampai menimbulkan korban jiwa," katanya. Peristiwa bencana alam hampir terjadi setiap tahun mulai di daerah terpencil hingga wilayah perkotaan sekali pun, yang pada akhirnya membuat warga hidup dalam ketidaktenangan. Seperti halnya warga di kota besar metropolitan Jakarta dan juga Surabaya yang pada musim penghujan seperti sekarang ini merasa tidak tenang karena banjir yang sewaktu-waktu datang. Berbagai upaya telah dilakukan, namun hasilnya tidak pernah maksimal. Konsep pembangunan dengan azas pertumbuhan yang dilakukan selama ini, telah menimbulkan eksploitasi sumberdaya alam yang sulit diperbaharui dan pada akhirnya berujung pada degradasi lingkungan yang sangat parah. Propinsi Jatim juga merupakan salah satu daerah padat modal "investasi" dan kini tersebar proyek berskala besar, mulai pertambangan, waduk, jalur lintas selatan dan proyek infrastruktur lain. Proyek-proyek itu jelas akan membuat banyak lahan terpakai dan beralih fungsi yang kemudian menyiratkan ancaman akan terjadinya bencana alam lebih luas di masa mendatang. Ada baiknya menyimak syair lagu Ebiet G Ade, bahwa rentetan peristiwa bencana alam di Indonesia setiap tahun, mungkin karena Tuhan mulai bosan melihat tingkah manusia atau mungkin juga alam (lingkungan) yang sudah enggan bersahabat dengan manusia.(*)

Oleh Didik Kusbiantoro
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006