Persetujuan tersebut diberikan setelah Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menggelar Rapat Kerja (Raker) pada Senin (6/12) bersama Pemerintah dan DPD RI menentukan jumlah Prolegnas Prioritas 2022 dan Prolegnas RUU Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024.
Pada awalnya, dalam penyusunan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2022, Baleg DPR RI telah menerima usulan sebanyak 86 RUU yang berasal dari; pertama, komisi, Fraksi, Anggota DPR RI, dan masyarakat sebanyak 64 RUU; kedua, pemerintah sebanyak 15 RUU; dan ketiga DPD RI sebanyak tujuh RUU.
Namun pada akhirnya hanya 40 RUU yang disepakati untuk masuk dalam Prolegnas Prioritas 2022, dengan rincian sebanyak 26 RUU diusulkan DPR RI, 12 RUU diusulkan pemerintah, dan dua RUU diusulkan DPD RI.
Baleg mengklaim dimasukannya 40 RUU tersebut menggunakan beberapa parameter yaitu pertama, RUU dalam tahap pembicaraan Tingkat I; kedua, RUU yang menunggu Surat Presiden (Surpres); ketiga, RUU yang telah selesai dilakukan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi di Baleg; dan keempat, RUU usulan baru yang memenuhi urgensi.
Jumlah RUU dalam Prolegnas 2022 lebih banyak dibandingkan Prolegnas 2021 yaitu awalnya sebanyak 33 RUU lalu dievaluasi menjadi 37 RUU.
Dari 40 RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2022, hanya ada enam RUU baru, selebihnya merupakan peluncuran atau "carry over" dari Prolegnas Prioritas 2021.
Keenam RUU baru tersebut terdiri dari empat RUU usul Baleg DPR yaitu RUU tentang Bahan Kimia, RUU tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Anggota DPR RI, RUU tentang Perubahan atas UU No.23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara, dan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Selain itu RUU dari usulan anggota DPR RI yaitu RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak, dan usulan pemerintah adalah RUU tentang Desain Industri (dalam Prolegnas 2020-2024, tertulis: RUU Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri).
Baca juga: Paripurna DPR setujui 40 RUU masuk Prolegnas Prioritas 2022
RUU super prioritas untuk dibahas
Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (26/11) telah memutuskan bahwa Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional) bila tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun.
Salah satu poin putusan itu menyebutkan bahwa konsep "Omnibus Law" dalam UU Ciptaker tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945. Karena itu format susunan peraturan di UU Ciptaker dinilai MK bertentangan dengan teknik penyusunan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 64 UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP).
Putusan MK tersebut ternyata berdampak pada susunan Prolegnas Prioritas 2022 karena DPR dan pemerintah harus mengubah UU tentang PPP sebelum merevisi UU Ciptaker.
Revisi UU PP khususnya terkait Pasal 64 itu bertujuan agar konsep "Omnibus Law" dalam penyusunan UU tidak dianggap inkonstitusional dan bertentangan dengan UUD 1945. Karena itu revisi UU tentang PPP masuk dalam Prolegnas Prioritas 2022 sebagai usul inisiatif Baleg DPR RI.
Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengatakan revisi Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) tidak perlu dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022 karena telah masuk dalam daftar kumulatif terbuka.
Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas mengatakan Baleg fokus menyelesaikan revisi UU PPP dan UU Ciptaker di tahun 2022 karena MK hanya memberikan waktu dua tahun bagi pembuat UU untuk memperbaiki UU Ciptaker.
Langkah memasukkan revisi UU tentang PPP dalam Prolegnas Prioritas 2022 merupakan langkah awal lalu kemudian dilakukan perbaikan terhadap UU Ciptaker.
Karena itu, kemungkinan besar revisi UU PPP dan UU Ciptaker akan dilakukan secara paralel di 2022, mengejar tenggat waktu yang diputuskan MK.
Supratman mengatakan revisi UU Ciptaker akan dibahas dari awal, mulai dari penyusunan naskah akademik hingga pembahasan pasal-perpasal.
Namun apabila melihat proses penyusunan RUU Ciptaker pada tahun 2019 dengan berbagai dinamika di luar maupun di dalam DPR, prosesnya hanya berlangsung kurang dari 10 bulan, maka tidak menutup kemungkinan revisi UU Ciptaker akan berjalan cepat.
RUU super prioritas yang kemungkinan segera dibahas dan disetujui DPR adalah RUU tentang Ibu Kota Negara (IKN) yang saat ini prosesnya sedang dibahas di tingkat Panitia Kerja (Panja).
Surat Presiden (Surpres) dan RUU IKN telah diserahkan pemerintah kepada DPR pada 29 September 2021. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa menyerahkan Surpres tersebut kepada Ketua DPR RI Puan Maharani.
Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI pada 3 November 2021 membentuk Panja RUU IKN dengan keanggotaan 56 orang dan 6 orang pimpinan. Sementara itu penetapan Panja RUU IKN disetujui dalam Rapat Paripurna pada Selasa (7/12).
Penetapan jumlah keanggotaan Pansus tersebut tidak sesuai dengan Peraturan DPR RI nomor 1 tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) yang menyebutkan keanggotaan Pansus hanya 30 orang.
Menurut Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, jumlah keanggotaan tersebut dengan mempertimbangkan kompleksitas dan substansi materi yang dibahas dalam RUU IKN oleh lintas komisi.
Setelah keanggotaan Pansus RUU IKN ditetapkan tersebut, Baleg DPR menggelar rapat pada Kamis (9/12) untuk mengubah Paraturan DPR RI nomor 1 tahun 2020 tentang Tatib, khususnya yang mengatur jumlah keanggotaan Pansus.
Pasal 104 ayat (2) jo Pasal 105 ayat (5) Peraturan DPR tentang Tatib menyebutkan jumlah anggota pansus ditetapkan oleh Rapat Paripurna DPR paling banyak 30 orang dan pimpinan Pansus terdiri dari satu orang ketua dan paling banyak tiga orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota pansus dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi dengan prinsip musyawarah untuk mufakat.
Baca juga: Menkumham: Revisi UU Ciptaker tidak perlu masuk Prolegnas 2022
Karena itu Baleg melakukan perubahan Tatib tersebut berdasarkan kebutuhan hukum dan mencantumkan tanggal keberlakuannya atau berlaku surut sebelum tanggal 7 Desember 2021.
Tim Ahli Baleg DPR RI menyampaikan materi muatan revisi Peraturan DPR tersebut yaitu di antara ayat 2 dan ayat 3 Pasal 104 disisipkan satu ayat yaitu ayat 2a yang berbunyi "jumlah anggota pansus sebagaiakana dimaksud pada ayat 2 dapat bertambah sesuai dengan kebutuhan berdasarkan ketetapan rapat paripurna DPR.
Lalu di antara ayat 2 dan ayat 3 Pasal 105 disisipkan satu ayat yaitu ayat 2a yang berbunyi "jumlah pimpinan pansus sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat bertambah sesuai dengan kebutuhan berdasarkan ketetapan rapat paripurna DPR.
Dalam perkembangannya, Panja RUU IKN telah menetapkan enam orang pimpinan Pansus terdiri dari Ketua Pansus Ahmad Doli Kurnia (F-Golkar), dan lima Wakil Ketua Pansus Junimart Girsang (F-PDI Perjuangan), Sugiono (F-Gerindra), Fathan (F-PKB), Saan Mustopa (F-NasDem), Nurhayati Effendi (F-PPP).
Sementara itu, anggota tiap fraksi terdiri dari Fraksi PDIP sebanyak 12 orang, Fraksi Golkar 8 orang, Fraksi Gerindra 8 orang, Fraksi NasDem 6 orang, Fraksi PKB 6 orang, Fraksi Demokrat 5 orang, Fraksi PKS 5 orang, Fraksi PAN 4 orang, dan Fraksi PPP 2 orang.
RUU lain yang kemungkinan akan dibahas dan menjadi perhatian publik adalah RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) yang kemudian berubah menjadi Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Dalam Rapat Pleno Baleg pada Rabu (8/12) menyetujui RUU TPKS dan akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk disetujui menjadi usul inisiatif DPR RI.
Dalam Rapat Pleno Baleg tersebut, tidak semua fraksi sepakat menyetujui RUU TPKS dilanjutkan pembahasannya karena ada satu fraksi yang menolak yaitu F-PKS. Dan Fraksi Partai Golkar yang meminta menunda pengambilan keputusan karena masih perlu mendengarkan pendapat atau aspirasi masyarakat terhadap RUU TPKS.
Proses selanjutnya, Rapat Bamus DPR akan menentukan apakah RUU TPKS dibahas di tingkat Pansus atau di alat kelengkapan dewan. Namun hingga saat ini belum diagendakan Rapat Paripurna DPR dengan agenda pengambilan keputusan RUU TPKS menjadi usul inisiatif DPR.
Penetapan jumlah RUU dalam Prolegnas selalu menimbulkan pro-kontra, ada yang meminta DPR mengutamakan kualitas RUU yang dihasilkan dibandingkan kuantitas, dan sebaliknya.
Namun yang perlu ditekankan adalah kinerja legislasi merupakan salah satu unsur penilaian yang bisa digunakan masyarakat untuk menilai kinerja DPR.
Unsur lain seperti tugas pengawasan dan anggaran yang melekat pada DPR, juga harus dilihat secara kritis oleh masyarakat yaitu sejauh mana legislatif bisa menjalankan mekanisme "check and balances" dalam sistem demokrasi di Indonesia.
Dan tentu saja, semua tugas yang dijalankan DPR, legislasi, pengawasan, dan anggaran, harus dijalankan dengan asas keterbukaan dan akuntabilitas.
Baca juga: Pemerintah ajukan 12 RUU masuk Prolegnas Prioritas 2022
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021