Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 menciptakan tantangan untuk penderita penyakit reumatik inflamasi autoimun (autoimmune inflammatory rheumatic disease/AIIRD), termasuk kekhawatiran datang ke fasilitas kesehatan.

Baca juga: Penjelasan dokter soal munculnya reumatik autoimun usai kena COVID-19

"Pengobatan terbatas karena pasien masih takut ke fasilitas kesehatan, akhirnya pasien perlu telekonsultasi," kata Dr. dr. Cesarius Singgih Wahono, SpPD-KR, Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Reumatologi dalam webinar, Selasa.

Spesialis dari Divisi Reumatologi-Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya menambahkan, akses terhadap obat-obatan juga sempat terbatas di tengah pandemi. Selain itu, pengobatan untuk pasien autoimun yang terkena COVID-19 juga tidak bisa optimal bila kondisinya tidak memungkinkan.

Long COVID-19, kata dia, bisa terjadi pada pasien-pasien yang sehat dan ini akan menambah beban bagi penderita autoimun.

Ia menjelaskan, Penyakit autoimun ditandai dengan peradangan sistemik, di mana sistem kekebalan yang tidak teratur menyebabkan kerusakan atau disfungsi organ target. Penyakit autoimun reumatik termasuk kondisi seperti lupus eritematosus sistemik (LES), rheumatoid arthritis (RA) dan sklerosis sistemik (scleroderma), di mana jaringan ikat (tulang rawan, sinovium sendi, kulit) paling sering menjadi sasaran.

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) sendiri merupakan salah satu kondisi gangguan autoimun kompleks yang menyerang berbagai sistem tubuh. Faktor yang berperan dalam patogenesis penyakit ini diketahui seperti gen dan lingkungan. Manifestasi klinis dari penyakit ini sangat beragam seperti pada kulit, sendi, ginjal dan sistem organ lainnya yang tidak selalu muncul bersamaan, sehingga sering kali dikenal dengan penyakit dengan seribu wajah. Walaupun beberapa data sudah tersedia seputar lupus, namun hingga kini, data epidemiologi nasional terkait penyakit ini belum tersedia di Indonesia.

Setiap pasien LES memiliki gejala yang berbeda-beda. LES memiliki manifestasi klinis, kelainan imunologi, perjalanan penyakit, serta akibat penyakit yang beragam. Manifestasi klinis pada kulit, ginjal, dan sistem organ lainnya tidak selalu muncul bersamaan, melainkan dapat berkembang seiring dengan perjalanan penyakit.

Penyakit lupus sulit didiagnosa karena memiliki banyak gejala yang sering disalah artikan sebagai penyakit lain. Penegakan diagnosis LES merupakan sebuah tantangan tersendiri karena keragaman manifestasi klinisnya.

Rasio pasien perempuan dan laki laki adalah 15:1 hingga 22:1 dengan awitan gejala yang muncul di rentang usia produktif. Diagnosis LES dapat dipastikan berdasarkan temuan klinis dan pemeriksaan penunjang serta memerlukan kajian secara mendalam oleh dokter spesialis. Setelah diagnosis ditetapkan pasien memerlukan penilaian terhadap aktivitas penyakit dan keterlibatan organ untuk menentukan rencana terapi yang tepat.

LES memiliki dampak signifikan pada kualitas hidup pasien. Dibandingkan dengan populasi sehat, penyakit ini menjadi sebuah penghalang dalam menjalani kehidupan sehari-hari karena gejalanya yang muncul secara signifikan atau kambuh secara tiba-tiba dengan didominasi gejala seperti kelelahan, berkurangnya kemampuan untuk melakukan aktivitas fisik, dan rasa nyeri. Tidak hanya itu, LES juga memiliki dampak negatif pada karier pasien, bahkan hingga 39 persen pasien LES melaporkan bahwa mereka harus berganti pekerjaan karena penyakit tersebut.

“Agar dapat mempertahankan kualitas hidup yang lebih baik, penting bagi pasien LES untuk disiplin dengan perawatan yang dijalani. Tentunya, dengan pemantauan pengobatan yang ketat, 80-90 persen pasien lupus dapat menjalani hidup normal," katanya.

Perawatan penyakit lupus yang bersifat jangka panjang, bertujuan untuk menekan sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif, menginduksi remisi dan mencegah kerusakan organ permanen. Pengobatan standar dari perawatan lupus adalah menggunakan non-farmakologi (edukasi, menghindari panas matahari, manajemen stres) dan pengobatan (antimalaria, steroid, dan imunosupresan/penekan sistem imun).

Pada pasien lupus sedang hingga berat yang sudah melibatkan organ lain seperti ginjal, penggunaan imunosupresan digunakan bersamaan dengan obat steroid, untuk meminimalisasi efek samping jangka panjang steroid yang mungkin ditimbulkan, seperti penumpukan lemak di pipi (moon face), aterosklerosis, dan lain sebagainya. Dukungan keluarga, sahabat, dan komunitas juga memegang peranan penting.


Baca juga: Penderita autoimun kulit boleh pakai produk "skincare"?

Baca juga: Bank DBS & Manulife luncurkan asuransi perlindungan penyakit kritis

Baca juga: Pakar: Vaksinasi untuk penyintas autoimun diperbolehkan

Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021