Ketiadaan oposisi yang kuat di DPR berdampak pada minimnya kontrol.
Jakarta (ANTARA) - Akademisi dari Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Valina Singka Subekti mengatakan bahwa pihak oposisi memiliki peran penting di DPR untuk mengajukan berbagai usulan alternatif kebijakan.

“Ketiadaan oposisi yang kuat di DPR berdampak pada minimnya kontrol, tersumbatnya kreativitas anggota DPR untuk mengajukan usulan alternatif kebijakan untuk memajukan Indonesia dan yang pro pada kepentingan rakyat,” kata Valina ketika menyampaikan paparan dalam webinar bertajuk “Kilas Balik Politik Indonesia 2021: Tantangan bagi Penguatan Demokrasi, Keamanan, Diplomasi, Identitas, dan Ekonomi Politik” yang disiarkan di kanal YouTube Pusat Riset Politik - BRIN, dan dipantau dari Jakarta, Selasa.

Partai oposisi akan memiliki kecenderungan untuk lebih kritis dalam menilai berbagai usulan kebijakan, khususnya ketika pembentukan undang-undang di DPR. Berbagai pandangan kritis tersebut dapat memantik perspektif lain dalam melihat suatu isu dan melahirkan alternatif usulan kebijakan yang mencakup kepentingan rakyat dengan lebih luas dan mengantisipasi berbagai permasalahan lain ke depannya.

Valina berpandangan bahwa partai koalisi pemerintah telah mendominasi parlemen saat ini, yakni sekitar 82 persen dari total keseluruhan anggota DPR berasal dari partai koalisi. Keadaan ini, menurut Valina, melemahkan fungsi kontrol politik DPR, melemahkan checks and balances, sehingga berdampak pada lahirnya regulasi yang kurang aspiratif.

“Partai Demokrat dan PKS masih konsisten sebagai oposisi, sementara Partai Gerindra yang awalnya adalah oposisi pasca-Pemilu 2019, bergabung dalam barisan partai pemerintah,” ujar dia.

Partai Gerindra yang menjadi koalisi partai pemerintah memunculkan kekuasaan hegemonik partai pendukung pemerintah di DPR. Oleh karena itu, ia berharap agar ada ruang oposisi yang lebih efektif.

Salah satu cara untuk membuka ruang oposisi yang lebih efektif adalah dengan membangun sinergi kekuatan masyarakat sipil untuk bersama membangun literasi politik dalam rangka meningkatkan kapasitas kontrol publik.

Masyarakat sipil akan mengemban peran sebagai kekuatan penyeimbang negara dan lokomotif perubahan, agar kelembagaan formal politik bekerja dalam kerangka checks and balances.

“Masyarakat sipil harus menjadi counter-balance (penyeimbang, Red.) yang berhadapan dengan kekuatan negara,” kata Valina.
Baca juga: Masuk Panja Ciptaker, FPKS: perlu penyeimbang oposisi dalam pembahasan
Baca juga: Tokoh Senior Sarankan FPDIP DPR Sebagai Oposisi

Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021