Jakarta (ANTARA News)- Saya bukan tipe yang gampang percaya pada aneka macam teori konspirasi yang banyak berkembang di tengah masyarakat.

Namun, terutama minggu ini saya agak berubah, karena bahkan dalam negara demokrasi yang matang, para pemimpin akan menyembunyikan sebagian informasi dari rakyatnya.

Sementara dunia maya membuat kebohongan dan kerahasiaan dengan mudah diterabas. Tetapi padatnya lalu lintas internet yang liar yang tidak bisa diklarifikasi kebenarannya membuat banyak pengguna internet akhirnya meninggalkan internet sebagai sumber informasi.

Bahkan orang seperti Julian Assange akan menyadari bahwa pengaruhnya hanya sementara dan terbatas.

Setelah pembantai berdarah dingin Osama bin Laden dihabisi, lalu diikuti pernyataan-pernyataan konyol pemerintah AS, timbul pertanyaan mengapa kita harus percaya pada pernyataan Gedung Putih atau pemerintah Inggris?

"Dia (Osama) tinggal di mansion mewah; tempat itu dipenuhi pasukan dan prajurit yang cukup untuk meledakkan seisi Pakistan. Eh, nanti dulu, ternyata hanya ada satu orang yang membalas tembakan dari sebuah rumah sewaan itu; ternyata di dalam bangunan itu lebih banyak anak-anak ketimbang orang bersenjata. Dia (dilaporkan) menggunakan istrinya sebagai tameng hidup dan menembak (Navy SEAL) dari balik punggung istrinya; oh salah, ternyata tidak demikian..."

Versi mana sih dari informasi-informasi itu yang pantas dipercaya? Di dunia maya, mereka yang pro Osama punya alasannya sendiri tetapi kebenaran telah menguap dan kita tidak akan pernah tahu. Apa lagi, kebanyakan orang sebenarnya tidak mempedulikannya.

Kita tahu apa yang terjadi. Informasi resmi telah diolah dan diproses dengan harapan kita akan menelannya bulat-bulat tanpa banyak tanya.  Tetapi tidak begitu dengan beberapa orang yang mendadak menjadi pakar 'teori konspirasi', dua kata yang bisa dikonotasikan sebagai 'kegilaan, kejelekan, dan berbahaya'.

Di Uni Soviet dulu, para pemberontak yang disebut gila dibungkam, lalu mulailah Barat mengecam negara komunis itu. Kini kita berhak mengecam penggunaan metode-metode gelap ala Alqaeda untuk mencuci otak kaum muda agar mau mengangkat senjata melawan Barat.

Jika saja Osama diadili oleh mahkamah internasional, kita mungkin akan menemukan campur tangan Amerika Serikat, demikian juga Arab Saudi, Afghanistan, dan Pakistan dalam proses yang menjadikannya seperti kita kenal sekarang.

Aturan perang menyebutkan, mayat musuh sebaiknya dikembalikan kepada keluarganya untuk dimakamkan.  Tetapi sebuah makam bisa membangkitkan gelora semangat generasi baru Islam.  Namun mayat yang tidak terlihat dan dibuang ke laut justru akan mengobarkan dendam lebih luas.

Mengapa sih harus menggunakan penembakan ala koboy? Mengapa sekarang? Ketika masalah sertifikat kelahiran Presiden Obama selesai, apakah dia juga harus membuktikan bahwa dia sebenarnya seorang Amerika sejati, seperti sisi gelap pada Sarah Palin?

Kita punya beban demokratis untuk menanyakan pertanyaan sulit ini.

Pernikahan diraja Inggris, William dan Kate, misalnya membuat saya berpikir tentang Diana, kematiannya yang tragis, dan bagaimana saya masih merasa dibohongi.

Lalu saya membaca sebuah film yang berkisah sekitar kematian Diana yang anehnya tak boleh ditayangkan di Inggris tetapi akan ditayangkan dalam Festival Film Cannes di Prancis. 

Keith Allen lewat filmnya 'Unlawful Killing' dengan berani menginvestigasi media, jaksa yang ditujuk pemerintah, dan penjelasan mereka tentang sebuah kebetulan yang aneh, bahwa 'sebelum meninggal Diana sempat menyatakan ketakutan akan dibunuh dalam sebuah plot kecelakaan mobil'.

"Hanya sebuah kebetulan," kata mereka yang terhormat itu.

Jika ini hanya satuh kasus untuk warga negara biasa, polisi pasti tidak akan percaya bahwa ketakutan korban itu 'kebetulan' belaka.

Lewat filmnya, Allen tengah memaparkan 'sebuah teori konspirasi yang bisa dibuktikan setelah kecelakaan itu'.

Di dunia modern ini, penyelidikan seperti itu tidak diperbolehkan dan gagasan akan ketidakpercayaan publik telah dengan sukses dipinggirkan. Sehingga ketika kita ingin mempercayai sebuah plot atau manipulasi yang dirancang pemerintah AS atau Inggris, maka kita akan kehilangan kredibilitas.

Tetapi jika memercayai teori konspirasi dianggap gila, lantas apakah kita harus menelan semuanya bulat-bulat?

Nah jika kita melihat sebentar ke belakang, beberapa peristiwa akan menunjukkan bagaimana pemerintah dengan sangat baik menyembunyikan segala sesuatunya.

Selama perang dingin, para ilmuwan AS mengujikan sebuah serum 'kejujuran' pada beberapa orang untuk melihat apakah serum itu bisa membuatnya membocorkan semua rahasia yang mereka ketahui.

Di Alabama, sebagai bagian dari eksperimen itu, pria-pria keturunan Afrika-Amerika sengaja disuntik sifilis dari tahun 1932 hingga tahun 1972, sampai kejahatan keji itu terungkap pada 1979.

Setengah abad kemudian, rahasia penyiksaan kolonial Inggris terhadap para pejuang Mau Mau di Kenya ternyata menggunakan metode-metode sadis seperti memasukkan ular ke saluran pembuangan manusia dan pecahan kaca ke alat kelamin perempuan.

Ketika fakta ini pertama kali diungkap sejarahwan Caroline Elkins pada 2005, dan ia langsung diledek oleh para sejarawan pro-pemerintah.

Sesungguhnya, anak cucu kita pun satu hari nanti akan mengungkapkan kejahatan yang dilakukan oleh AS dan Inggris di Falujah, Irak atau mengapa para tahanan di Guantanamo kehilangan akal sehat mereka?

Memang benar bahwa banyak negara di luar Barat lebih buruk praktik bernegaranya tetapi setidaknya mereka tidak mengklaim diri panutan demokrasi.

Pada 1988, Katharine Graham, seorang wartawan surat kabar terkemuka AS, Washington Post dan anggota Dewan Hubungan Internasional AS, berpidato di depan dinas intelejen AS, CIA;

"Kita hidup dalam dunia yang kotor dan penuh bahaya. Ada beberapa hal yang tidak perlu dan tidak harus diketahui masyarakat luas. Demokrasi akan mekar ketika pemerintah bisa mengambil langkah yang sah untuk menjaga rahasia dan manakala media bisa memutuskan kapan mereka harus mencetak apa yang mereka ketahui."

Graham mungkin sudah meninggal tetapi ideologinya tetap hidup karena kita, masyarakat, membiarkannya. (*)

Yasmin Alibhai-Brown adalah kolumnis The Independent.

Judul asli "Sometimes government plots are actually worth believing in", dalam The Independent, 9 Mei 2011, disadur oleh Liberty Jemadu

 

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011