Anak-anak suka dengan guru Indonesia karena kami disebut baik, ramah dan pandai mengajar.."
Sabah (ANTARA News) - Hamparan hijau ladang kelapa sawit semakin jelas terlihat saat awak kabin memberikan pengumuman pesawat akan segera mendarat di lapangan terbang Tawau, Sabah, Malaysia. Di tengah ladang sawit itulah puluhan ribu tenaga kerja Indonesia menyandarkan hidupnya sebagai pemetik buah sawit di perkebunan milik pengusaha negeri Jiran itu.

Selama bertahun-tahun para TKI bermukim di ladang-ladang yang terletak di pelosok wilayah Sabah, baik sebagai pekerja legal maupun ilegal hingga berkeluarga dan memiliki keturunan namun mereka hidup dalam kondisi keterbatasan.

Meskipun terdapat larangan membawa keluarga dan menikah, jumlah TKI yang membawa keluarga dan menikah tidak resmi cukup banyak yang memunculkan masalah, yakni tanpa paspor di Malaysia.

Data dari Jabatan Imigrasi Malaysia, Kuala Lumpur pada tahun 1993 menyebutkan bahwa pendatang tanpa izin di Malaysia terbesar adalah dari Indonesia 83,24 persen.

Bila para TKI yang jumlahnya mencapai puluhan ribu orang itu tidak memiliki dokumen resmi kewarganegaraan, apalagi anak-anak mereka sehingga banyak anak TKI, terutama yang lahir di wilayah-wilayah perkebunan di Malaysia tidak memiliki akte kelahiran. Padahal dokumen tersebut diperlukan untuk mengirim anak-anak ke sekolah.

"Di daerah perkebunan Sabah Malaysia terdapat sedikitnya 50 ribu anak-anak TKI bahkan lebih yang tidak mendapatkan pendidikan yang layak, bahkan diantaranya sama sekali belum pernah mengenyam pendidikan. Sebagian dari anak-anak TKI ada yang pernah bersekolah di daerah asalnya di Indonesia, namun ketika dibawa oleh orang tuanya ke Sabah menjadi putus sekolah," kata Atase Pendidikan KBRI Malaysia, Prof Rusdi.

Selain itu, ada juga TKI yang menikah di Sabah tanpa memiliki dokumen resmi dan kemudian memiliki keturunan namun banyak diantara anak-anak TKI sejak lahir hingga memasuki usia sekolah tidak pernah merasakan bangku sekolah karena banyak kendala, antara lain tidak ada dokumen resmi untuk mendaftar sekolah, jarak tempuh sekolah yang jauh dan kondisi ekonomi orang tua yang pas-pasan tidak memungkinkan untuk menyekolahkan anaknya.

Menurut Prof Rusdi, alasan utama anak-anak TKI tidak dapat bersekolah karena kondisi ekonomi dan rendahnya pengetahuan orang tua yang menyebabkan anak tidak bersekolah sehingga anak-anak terpaksa ikut bekerja membantu orang tua di ladang.

Kondisi anak-anak pekerja asing, antara lain berasal Indonesia, Filipina, Srilanka yang tidak bersekolah tersebut kemudian mendorong organisasi sosial asal Denmark, Humana Child Aid Society untuk memberikan layanan pendidikan .

Layanan
LSM tersebut memulai layanan bagi anak-anak pekerja asing di Sabah sejak tahun 1991 dengan fokus utama anak-anak pekerja asing yang berasal dari Indonesia dan Filipina.

Menurut Torben Venning, Ketua Humana di Sabah mengawali layanan sosialnya dengan beberapa temannya dengan mendirikan pusat bimbingan di ladang sekitar Lahat Datu, timur Sabah pada 1991. Selanjutnya, Humana mendirikan pusat-pusat bimbingan sekaligus menyediakan guru di ladang-ladang sawit yang kini jumlahnya telah mencapai 100 lokasi.

Dalam menyelenggarakan pendidikan, Yayasan Humana mengacu pada kurikulum Malaysia dengan pengantar Bahasa Inggris dan Bahasa Melayu dengan sasaran memberikan anak-anak kemampuan sederhana untuk menulis, membaca dan berhitung.

"Meski mayoritas anak-anak yang memperoleh bimbingan Humana adalah anak-anak TKI, kurikulum yang diberikan sesuai dengan kurikulum Malaysia," kata Torben yang selama ini banyak melibatkan guru-guru Melayu dan Filipina untuk mengajarkan anak-anak TKI.

Hingga kini Yayasan Humana telah menangani sebanyak 9000 lebih anak-anak TKI melalui pusat bimbingan yang tersebar di negara bagian Sabah, yakni Tawau, Sandakan, Lahad Datu, dan Kinabatangan.

Mengenalkan Indonesia
Jumlah anak-anak TKI yang berada di ladang-ladang sawit, dan kota-kota di negara bagian Sabah diperkirakan mencapai lebih dari 50 ribu, sementara baru sekitar 10 ribu anak yang ditangani pusat belajar, baik melalui Yayasan Humana, Sekolah Indonesia di Kinabalu (SIKK), Learning Center, Pusat kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) serta beberapa pondok pesantren dan Gereja/ Susteran Katolik.

"Ini tentu saja menjadikan masalah khusus bagi pemerintah Indonesia dan perlu ditangani, karena masalah pendidikan merupakan kewajiban negara dengan tidak memandang anak-anak itu ada di mana dengan kondisi apa," kata Kepala Subdit Program Direktorat Pendidikan Subdit Program Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P2TK) Pendidikan Dasar Ditjen Dikdas Kemendiknas, Dr Sumarno.

Penanganan masalah anak-anak TKI scara serius dilakukan pada tahun 2006. Pemerintah Republik Indonesia segera turun tangan menangani permasalahan anak-anak TKI tersebut, karena menyangkut kewajiban negara yang diamanatkan undang-undang.

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa negara berkewajiban melaksanakan penyelenggaraan pendidikan wajib belajar 9 tahun untuk setiap warga negara baik yang tinggal di dalam wilayah NKRI maupun di luar negeri.

Kenyataan di lapangan, TKI yang bekerja di Malaysia, khususnya yang bekerja di sektor perkebunan, mengalami kesulitan dalam memperoleh pendidikan bagi anak-anaknya, karena status anak-anak mereka yang ilegal.

"Anak-anak tenaga kerja Indonesia yang tercatat di Sabah, Malaysia, hanya sekitar 10.139 yang mengenyam pendidikan sekadarnya. Sebanyak 42.521 anak lainnya tidak mengenyam pendidikan. Anak tidak mengenyam pendidikan lebih banyak lagi jika ditambah dari wilayah lain," kata Sumarno.

Yang terlayani oleh LSM Humana, sebanyak 9.139 anak. ?Sedangkan program pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh delapan PKBM di bawah Sekolah Indonesia Kuala Lumpur yang tersebar di sejumlah PKBM di Sabah dan Serawak sekitar 1000 anak. Masih sangat banyak jumlah anak yang belum terlayani," tambahnya.

Untuk memberikan pendidikan terhadap anak-anak TKI tersebut, pemerintah Indonesia bersama-sama dengan pemerintah Malaysia telah membuat kesepakatan , yakni pemerintah Malaysia menyetujui pemerintah Indonesia untuk mengirimkan tenaga pengajar (guru) untuk mendidik anak-anak TKI.

Program khusus pengiriman guru Indonesia dilakukan Pemerintah melalui Direktorat Profesi Pendidik Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK) Departemen Pendidikan Nasional (kini Kementerian Pendidikan nasional-red) pada tahun 2006.

Sejak tahun 2006, Depdiknas untuk tahap pertama telah mengirimkan 109 guru tidak tetap (GTT) yang berstatus bukan Pegawai Negeri Sipil (Non PNS) untuk pendidikan anak-anak Indonesia di Sabah Malaysia, yang bertugas selama dua tahun. Hingga tahun 2011, Kementerian Pendidikan Nasonal telah melaksanakan tiga tahap pengiriman guru untuk mengajar di pusat bimbingan Humana.

Guru untuk Anak Indonesia
Keterlibatan guru-guru Indonesia di pusat-pusat bimbingan Humana diharapkan mampu memberikan pengetahuan kepada anak-anak TKI tentang Indonesia. Sebab banyak dari anak-anak TKI yang lebih mengenal adat istiadat, bahasa dan budaya Malaysia ketimbang tentang Tanah Air-nya sendiri.

Guru dan tenaga pendidik Indonesia selain memberikan pelajaran sesuai kurikulum Malaysia juga akan memberikan pelajaran terkait dengan Indonesia.

"Selama ini anak-anak telah berjalan dengan kurikulum Malaysia dan buku sumber dari Malaysia, persiapan dan berbagai kelengkapan pembelajaran mengacu pada kurikulum Malaysia," kata Anton Hadhi Utomo, Guru Indonesia yang ditempatkan di Pusat Bimbingan Humana Lahad Datu, Sabah.

Karena itu, ujarnya kemudian disepakati untuk tetap menggunakan kurikulum Malaysia dengan menambahkan beberapa mata pelajaran yang menyangkut kurikulum Indonesia, seperti PPKN/Pancasila, Bahasa Indonesia, Geografi Indonesia, Agama dan ketrampilan seni Indonesia," katanya.

Sebagai pengajar, Anton memiliki sapaan khas Malaysia, yakni cikgu atau guru. Ia mengajar untuk tingkat sekolah dasar dari kelas satu hingga kelas enam dengan jumlah murid dalam satu pusat bimbingan mencapai 100 anak.

Kehadiran guru-guru Indonesia di pusat bimbingan ternyata mendapat sambutan baik dari anak-anak maupun orang tua sehingga semakin banyak TKI yang ingin memasukkan anaknya ke sekolah.

"Anak-anak suka dengan guru Indonesia karena kami disebut baik, ramah dan pandai mengajar. Selama ini, anak-anak kebanyakan diajar oleh guru dari Filipina sehingga bila kami sedang cuti banyak anak-anak TKI yang enggan masuk sekolah," katanya.

Kesempatan itu yang digunakan oleh Anton dan teman-temannya untuk mengenalkan Indonesia secara lebih mendalam sehingga rasa kebanggaan mereka akan tumbuh dan melekat kuat.

Penempatan guru di tiap pusat belajar dilakukan oleh pihak Humana, sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Guru tersebut ditugaskan di pusat bimbingan humana yang tersebar di negara bagian Sabah (Tawau, Lahad Datu, Kinabatangan, dan Sandakan). Beberapa pusat belajar Humana dapat dicapai hanya dalam hitungan menit dengan kendaraan dari jalan utama, tetapi kebanyakan pusat belajar ini berlokasi di ladang-ladang sawit yang jauh dari jalan utama.

"Bahkan lokasi yang jauh dicapai dengan kendaraan dalam waktu tempuh hingga 8,5 jam. Namun kondisi tersebut tidak mengurangi semangat para guru untuk menularkan ilmunya, apalagi misi yang kami emban begitu mulia mengajar anak-anak TKI di luar negeri," ungkap Anton.
(Z003/A011)

Oleh Zita Meirina
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011