Nah, rindu Soeharto dan kangen Orba dapat dipandang sebagai noktah dari lokomotif waktu yang berlaku atas nama politik yang memuat serba kemungkinan. Rindu Soeharto dan kangen Orba tampil sebagai seni memanfaatkan kemungkinan-kemungkinan.
Jakarta (ANTARA News) - "Mengapa orang kini merinduken daripada Soeharto dan merasa kangen dengan Orde Baru yang ngepop semasanya sebagai Orba?"

Ini sepenggal tanya dalam nostalgia yang berbalut cinta dan benci ketika orang rame-rame melakoni laga bertajuk 13 tahun mengarungi Reformasi.

Survei nasional bertajuk "Evaluasi 13 Tahun Reformasi dan 18 Bulan Pemerintahan SBY-Boediono" yang dilakukan Indo Baromoter mendapati bahwa Soeharto tampil sebagai presiden paling disukai masyarakat Indonesia. Dan Orde Baru lebih baik dibandingkan dengan Orde Lama dan Orde Reformasi.

Respon publik berdatangan. "Orde baru, orang miskin yang pintar bisa jd profesor, petani makmur dan tidak bingung menanam dan menjual hasil tanam, pemerataan melalui trasmigrasi berhasil, koperasi berjalan, teknologi dan pembangunan maju, kaum profesional dihargai, profesor dari indonesia banyak jadi guru besar diluar negeri karena kredibilitas yg diakui, Indonesia jadi macan di asia," tulis Gemz di situs Kompas.com.

"Mending makan tiwul bos, daripada susah cari makan akhirnya jadi gembel,,, Skrg pula yg makan keju itu, orang-orang yang "mengatasnamakan" rakyat padahal sebenarnya "memakan rakyat"," tulis van Damz yang coba mengontraskan orde reformasi dan orde baru.

Terpicu hasil suvei itu, kedua penanggap memuntahkan kerinduan akan Soeharto dan kekangenan akan Orba. Mereka yang dibakar rindu dan dikoyak kangen dapat diibaratkan sebagai orang-orang yang diangkut ke masa silam secara revolusioner.

Mereka meringkuk dan menanti aliran waktu untuk membawanya kembali ke pusaran arus waktu agar menjadi miliknya sendiri. Apakah fenomen ini dapat dibaca sebagai hal yang revolusioner?

Di mata filsuf Nietzsche, revolusi bukan saja penjungkirbalikan segala nilai (Umwertung aller Werte), tetapi juga penjungkirbalikan segala hukum (Umwertung aller Rechte).

Pembacaan akan teks rindu Soeharto dan kangen Orba terpulang kepada hal yang revolusioner bahwa ada sekelompok orang yang tengah berkelana ke masa depan kemudian bersua dengan hukum rimba politik.

Fatsun bakunya, politik bukan hanya seni memanfaatkan yang mungkin, melainkan dunia yang memuat kemungkinan-kemungkinan. Survei bersama responnya itu dapat dibingkai sebagai riak-riak samudera politik reformasi. Dan reformasi Indonesia 13 tahun lalu diidentifikasi sebagai kemacetan yang dimulai dari atas.

Indonesianis Harold Crouch menulis dalam harian Sydney Morning Herald (5/1/1998) bahwa ada tiga perkembangan yang memicu dan mengobarkan kemacetan Indonesia jelang era reformasi. Pertama, krisis mata uang Asia Tenggara yang memukul perekonomian Indonesia. Terjadi kebangkrutan yang terus meningkat dan semakin banyak para pekerja yang menganggur.

Kedua, pengaruh iklim El Nino yang menyebabkan kekeringan. Para petani tidak dapat menanam sementara pasokan bahan makanan tersendat. Ketiga, beredar rumor seputar kesehatan Soeharto. Kurs rupiah anjlok mendekati angka hampir Rp6.000 per dolar AS-nya, dibandingkan dengan Rp3.645 pada permulaan bulan dan Rp2.500 pada akhir Juli.

Implikasi pendapat Crouch itu merujuk kepada filsafat waktu bahwa jika masa silam berakibat tidak menentu pada masa kini, maka tidaklah perlu merenungi masa lampau. Waktu melaju di rel keteraturan yang rancak, dengan kecepatan yang tepat di setiap sudut ruang.

Yang revolusioner: waktu adalah penguasa tanpa batas. Nah, rindu Soeharto dan kangen Orba dapat dipandang sebagai noktah dari lokomotif waktu yang berlaku atas nama politik yang memuat serba kemungkinan. Rindu Soeharto dan kangen Orba tampil sebagai seni memanfaatkan kemungkinan-kemungkinan.

Ketika merespon hasil survei Indo Barometer, ekonom Faizal Basri punya pendapat yang mengusik publik. "Penurunan angka kemiskinan lebih lambat di desa dibandingkan dengan di kota. Sejak era reformasi, sektor pertanian semakin amburadul karena harga pangan tak lagi ditopang," katanya.

"Presiden juga jarang turun ke desa-desa. Presiden hanya rapat dari istana ke istana. Atau paling tidak (rapat) di bandara. Sekalinya turun ke desa, salah. Ada sebuah foto di Setneg di mana Presiden menggulung celana panjangnya hingga ke lutut ketika hendak panen bersama. Beliau tidak tahu kalau padi itu tanaman yang membutuhkan air. Presiden juga menanam padi segepok-segepok. Seharusnya menanam padi itu harus satu per satu. Padahal, beliau doktor dari IPB," kata Faisal.

Sementara, saluran irigasi sekunder sepanjang sekitar 529 kilometer di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, kondisinya rusak sejak beberapa tahun terakhir dan jalur Trans Sulawesi di Desa Botteng, Kecamatan Simboro Kepulauan sekitar 20 kilometer arah selatan Kota Mamuju, ibukota Provinsi Sulawesi Barat, putus karena longsor.

Ada juga segepok soal lainnya. Warga pedalaman Kalimantan Timur menolak rencana pemerintah membangun jalan tol Samarinda-Balikpapan dan upaya pemda Yogyakarta yang tengah mendesain ulang Desa Sindumartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, pascabanjir lahar dingin.

Dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar mengatakan, "Data Badan Pusat Statistik (BPS) terakhir menyebutkan bahwa jumlah pengangguran terbuka mencapai 8,1 juta jiwa atau sekitar 7,12 persen dari presentase sebelumnya sebesar 7,33 persen. Itu kabar yang menggembirakan."

Menggembirakan atau memprihatinkan? Berkaca dari infrastruktur kata yang compang-camping di era reformasi, maka politik nyatanya bukan sebatas wacana kemungkinan-kemungkinan tetapi politik kini tampil sebagai tanpa bahasa, tanpa hasrat, dan tanpa Subyek.

Politik di era reformasi memberangus aksioma bahwa bahasa menciptakan kenyataan terus menerus. Dan argumentasinya, tidak ada pemikiran tanpa bahasa. Kini jawabnya, memprihatinkan! Terjadi paceklik bahasa.
(A024)

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2011