Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyayangkan belum ditetapkannya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sebagai usul inisiatif DPR RI dalam Sidang Paripurna DPR yang diselenggarakan pada Kamis (16/12).

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani melalui siaran pers di Jakarta, Jumat, mengatakan padahal penetapan ini telah dinantikan oleh rakyat Indonesia, khususnya korban tindak pidana kekerasan seksual, keluarga korban, dan pendamping korban.

RUU ini diharapkan dapat mewujudkan perlindungan, penanganan, pemulihan korban kekerasan seksual, dan upaya memutus berulangnya kasus itu di tengah-tengah kondisi darurat kekerasan seksual.

Baca juga: Komnas Perempuan catat 816 kasus perdagangan manusia pada 2017-2020

Ia menyebutkan kehadiran payung hukum penting untuk segera diwujudkan. Urgensi ini bermula dari tingginya angka kekerasan seksual dalam rentang waktu 2001-2011.

Selama dasawarsa tersebut, katanya, sekitar 25 persen kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan kekerasan seksual.

"Setiap hari sekurangnya 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual atau setiap 2 jam ada 3 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual," kata Andy Yentriyani.

Baca juga: Komnas Perempuan: Bebas biaya penempatan PMI cegah "human trafficking"
Baca juga: Komnas Perempuan rilis hasil kajian efektivitas Peraturan MA 3/2017


Sepanjang penantian pengesahan RUU ini (2012-2020), CATAHU Komnas Perempuan mencatat sebanyak 45.069 kasus kekerasan seksual terlaporkan.

Hal ini dapat terlihat dari maraknya kasus pemberitaan kekerasan seksual di media massa, paparnya.

Atas belum ditetapkannya RUU TPKS sebagai usul inisiatif DPR RI, maka Komnas Perempuan mengapresiasi kerja Panja RUU TPKS yang sudah melakukan pengkajian dan harmonisasi RUU TPKS dan mendesak pimpinan DPR RI untuk memastikan pembahasan dan pengesahan RUU TPKS sebagai usul inisiatif DPR RI pada tahun 2022.

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021