Jakarta (ANTARA News) - Inpres Moratorium hutan alam primer dan lahan gambut yang diterapkan pada kawasan seluas 64 juta hektare, menurut Kementerian kehutanan (Kemenhut), tidak akan mengganggu investasi sumber daya alam.

Penundaan pemberian izin baru selama dua tahun itu, kata Sekjen Kemenhut, Hadi Daryanto, di Jakarta, Jumat, akan dilaksanakan di kawasan hutan alam primer dan lahan gambut seluas 62 juta hektare serta dua juta hektare kawasan Area Penggunaan Lain (APL) yang bergambut.

Hadi memastikan investasi di sektor kehutanan masih bisa berjalan karena ada kawasan hutan yang terdegradasi seluas 35,4 juta hektare yang bisa diusahakan.

Untuk itu, Kemenhut mencadangkan 13,2 juta hektare untuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Alam, 7,4 untuk IUPHHK Restorasi Ekosistem, IUPHHK Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 9,2 juta hektare, dan IUPHHK Hutan Tanaman Rakyat (HTR) seluas 5,5 juta hektare.

Untuk tahun ini, pelaksanaan moratorium sesuai Inpres No.10/2011 tanggal 20 Mei 2011 dilakukan di Kalteng.

Sementara pada 2012, propinsi yang menjadi pilot proyek untuk pelaksanaan moratorium akan dipilih di antara dari Aceh, Riau, Sumsel dan Kalbar, Kaltim, Papua Barat, dan Jambi. "Usulan terbaru yang masuk untuk daerah yang menjadi pilot proyek moratorium LoI adalah Sulteng."

Hadi mengatakan, daerah yang arealnya paling luas diusulkan untuk pelaksanaan moratorium adalah Papua dan Kalimantan.

Rincian luas kawasan yang akan diusulkan untuk pelaksanaan moratorium LoI ini, menurut dia, adalah Aceh seluas 2,3 juta hektare, Kepulauan Riau 34.000 hektare, Riau 2,3 juta hektare, Sumbar 1,6 juta hektare, Sumut 1,2 juta hektare, Sumsel 1,5 juta hektare, Jambi 1,1 juta hektare, Babel 169.000 hektare, Lampung 459.000 hektare, dan Bengkulu 597.000 hektare.

Total areal di Sumatra yang diusulkan untuk "pilot project" moratorium LoI mencapai 11,3 juta hektare, Jawa seluas 886.020 hektare, Bali dan Nusa Tengara seluas 1.484.300 hektare. Sementara di Kalimantan, moratorium diusulkan pada kawasan seluas 15.904.650 hektare, Sulawesi 6.549.130 hektare, Maluku 1.917.400 hektare, Papua 23.050.300 hektare.

Menurut Sekjen Kemenhut, pemerintah melihat Inpres ini saja tidak cukup untuk menekan laju degradasi hutan dan lahan gambut, sehingga pelaksanaan moratorium harus dibarengi dengan upaya pemberantasan illegal logging, penyelesaian konflik lahan dengan masyarakat setempat (tenurial).

Selain itu, Satgas REDD+ juga harus secepatnya membentuk kelembagaan REDD+, strategi nasional REDD+, pembentukan "trust fund", pembantukan lembaga pengawasan, pelaporan, dan verifikasi (MRV) yang mandiri untuk mengukur berapa pengurangan emisi.

Dalam Inpres tersebut, penundaan pemberian izin baru dikecualikan untuk permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip dari Menhut, investasi di bidang geothermal, minyak dan gas bumi, ketenaga-listrikan, serta lahan untuk tanaman padi dan tebu.

Selain itu, moratorium ini juga dikecualikan untuk perpanjangan izin pemanfaatan hutan atau penggunaan kawaan hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku maupun izin restorasi ekosistem.

Presiden dalam Inpres itu memberikan tugas kepada Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Dalam Negeri, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional, Kepala Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional, Gubernur, dan bupati atau walikota untuk melaksanakan moratorium.

Inpres juga mewajibkan Menteri Kehutanan setiap enam bulan melaporkan pelaksanaan moratorium kepada presiden, atau sewaktu-waktu bila diperlukan.

Sementara Kepala Unit Kerja Presiden Bidang pengawasan dan pengendalian Pembangunan atau Ketua Lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan tugas khusus di bidang REDD+ untuk melakukan pemantauan.

Mereka juga harus melaporkan hasil pelaksanaan Inpres kepada presiden
(A027/M012)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011