Jakarta (ANTARA) - "Mari kita dorong mereka melalui persuasi, melalui insentif, agar bergerak menuju arah yang benar," kata Menteri Luar Negeri Pakistan Shah Mahmood Qureshi menjelang pertemuan satu hari Organisasi Kerjasama Islam (OKI) di Islamabad, Pakistan, yang khusus membahas krisis kemanusiaan di Afghanistan.

Menurut Qureshi, kebijakan yang memaksa dan mengintimidasi tak berhasil karena seandainya berhasil pasti Afghanistan tidak berada dalam kondisi seperti sekarang.

Hari ini, Minggu 19 Desember 2021, utusan 57 negara Islam menggelar pertemuan puncak khusus krisis kemanusiaan di Afghanistan. Ini merupakan konferensi besar pertama mengenai Afghanistan sejak pemerintahan dukungan AS digulingkan oleh Taliban empat bulan lalu.

Baca juga: WFP: Afghanistan terancam kelaparan, kemiskinan di bawah Taliban

Namun begitu Taliban berkuasa, miliaran dolar AS aset Afghanistan dibekukan oleh komunitas internasional sehingga negara berpenduduk 38 juta orang itu ditimpa krisis besar yang tak saja soal keuangan namun juga kemanusiaan.

PBB sendiri menyatakan Afghanistan di ambang krisis kemanusiaan terburuk di dunia yang merupakan gabungan krisis pangan, krisis bahan bakar dan krisis likuiditas.

Pertemuan khusus Afghanistan di Islamabad itu juga dihadiri Menteri Luar Negeri Taliban Amir Khan Muttaqi, dan wakil-wakil Amerika Serikat, China, Rusia, Uni Eropa dan PBB.

Berbeda dengan saat berkuasa di Afghanistan dua puluh tahun silam yang mendapat pengakuan Pakistan, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, kali ini tak satu pun negara mengakui pemerintahan Taliban.

Situasi ini mempersulit penyaluran bantuan ekonomi ke Afghanistan karena mustahil negara-negara menyalurkan bantuan tanpa mengakui dahulu pemerintahan Taliban.

Tetapi OKI hanya ingin menyelamatkan rakyat Afghanistan dari jebakan krisis. Qureshi sampai berkata, "Tolong jangan abaikan Afghanistan. Terlibatlah. Kami berbicara demi rakyat Afghanistan. Kami tak sedang membahas kelompok tertentu. Kami membicarakan rakyat Afghanistan."

Baca juga: Menteri Luar Negeri OKI bakal bahas Afghanistan di Pakistan

Saat ini Afghanistan memang menghadapi bencana kemanusiaan besar yang diawali dari pembekuan asset dan pinjaman bernilai miliaran dolar AS yang mencapai empat per lima dana pembangunan negara itu, segera setelah dikuasai Taliban.

Langkah itu ditempuh karena dunia khawatir Taliban masih rezim yang sama kerasnya seperti dengan 20 tahun silam, sekalipun Taliban berulang kali menjanjikan pemerintahan inklusif dan menjamin hak-hak perempuan yang selama ini menjadi keprihatinan luas dunia, termasuk Indonesia.

Amir Khan Muttaqi pernah menyatakan penguasa baru Afghanistan membolehkan perempuan menggeluti pendidikan dan bekerja. Namun empat bulan kemudian yang terjadi malah kabar anak perempuan dilarang bersekolah dan hanya membolehkan perempuan bekerja di sektor-sektor tertentu seperti bidang perawatan kesehatan.

Namun demikian suasana Afghanistan saat ini dinilai lebih aman yang salah satu indikatornya terlihat dari lancarnya perjalanan organisasi bantuan asing ke sebagian besar wilayah Afghanistan, termasuk daerah yang sebelum ini terlarang dimasuki.

Tetapi pembekuan aset di luar negeri dan mandeknya bantuan asing turut menciptakan krisis kemanusiaan di sana, yang diperparah oleh situasi sulit akibat pandemi dan kekeringan. Rumah sakit di negeri itu kabarnya sangat kekurangan obat-obatan.

Baca juga: ETIM, di antara janji Taliban yang terserak


Pakistan paham

PBB menyebut 95 persen dari semua rumah tangga di negara itu menghadapi kekurangan pangan dan gizi yang akut, sedangkan tingkat kemiskinan melonjak 90 persen.

Situasi ini diperparah oleh nilai mata uang afgani yang terus merosot terhadap mata uang asing termasuk dolar AS. Hal ini memperdalam krisis ekonomi di Afghanistan.

Pekan ini saja dalam satu hari, nilai afgani sudah terpangkas 11 persen terhadap dolar AS. Akibatnya, jualan pebisnis tak laku karena daya beli amblas oleh harga yang membumbung tinggi, di samping tingkat upah yang terus merendah.

Khan Afzal Hadawal, mantan gubernur bank sentral Afghanistan, mengatakan sanksi internasional terhadap Taliban dan pembekuan cadangan devisa Afghanistan membuat ekonomi yang sudah amat tergantung kepada bantuan asing menjadi kian di ambang kehancuran total yang diperburuk oleh anjloknya nilai tukar.

Khan Afzal Hadawal meminta badan-badan pembangunan, donor, komunitas internasional dan AS segera membantu Afghanistan keluar dari krisis dahsyat ini, sekalipun dia paham dunia masih mempertanyakan itikad Taliban dalam membentuk pemerintahan inklusif dan memberikan kesempatan sama luasnya kepada semua elemen rakyat, termasuk kaum perempuan.

Baca juga: Babak baru Beijing-Taliban

Namun menurut Michael Kugelman, wakil direktur Asia Program pada Wilson Centre di Washington, Barat bakal sulit terlibat dengan Taliban karena jika melakukan hal ini maka itu sama artinya Barat mengakui kalah dalam perang 20 tahun melawan Taliban.

Memang masih ada China dan Rusia, tetapi penglibatan internasional lebih luas lagi akan membuat Afghanistan memiliki banyak pilihan sehingga tak terlalu tergantung kepada satu pihak yang bisa menjadi titik untuk masuknya perangkap hegemoni.

Mungkin karena untuk itulah Pakistan yang sekutu dekat Amerika Serikat, mengajak negara-negara Islam aktif membantu mengeluarkan Afghanistan dari krisis.

Pakista yakin ambruk totalnya Afghanistan akan merugikan dunia khususnya Barat karena bakal merusak upaya melawan terorisme dan memacu eksodus besar warga Afghanistan ke luar negeri di mana Eropa, Amerika Utara dan Australia yang justru menjadi tujuan utama pengungsi Afghanistan.

Taliban sendiri berbeda dari kelompok-kelompok teror seperti ISIS dan Alqaeda yang mengecualikan peran negara sehingga tak diterima di negara-negara Islam mana pun. Tetapi Taliban sendiri tidak satu suara.

Baca juga: Afghanistan terima bantuan pasokan musim dingin kedua dari China

Mendiang wartawan investigatif terkemuka Pakistan, Syed Saleem Shahzaqd, dalam bukunya "Inside Alqaeda and the Taliban; Beyond Bin Laden and 9/11" menyatakan dalam Taliban ada dua kelompok besar, yakni kaum tradisionalis dan kaum yang disebutnya neo Taliban.

Salah satu perbedaan antara keduanya, mengutip buku itu, adalah kaum tradisional beranggapan perang di negeri itu diawali dan diakhiri di Afghanistan. Kalangan ini lebih berorientasi nasional. Sebaliknya, neo Taliban yang radikal beranggapan perang berakhir sampai tercipta khilafah global.

Agaknya dikotomi ini pula yang membuat Taliban terlihat tak konsisten. Di satu sisi menjamin inklusivitas dan penghormatan hak perempuan, tapi di sisi lain berbuat yang sebaliknya.

Dan Pakistan agaknya paham situasi dan realitas ini. Mungkin pula ajakan dunia agar persuasif kepada Taliban didasari oleh pandangan bahwa faksi tradisionalis yang moderat lebih bisa diajak berbicara dan dipersuasi demi situasi yang lebih baik di Afghanistan.

Untuk itu, apa yang dihasilkan OKI di Islamabad hari ini akan menarik untuk diikuti, terutama dalam kaitannya dengan formula OKI dalam mengatasi krisis kemanusiaan di Afghanistan dan meyakinkan Taliban agar mempertimbangkan realitas yang ada demi Afghanistan yang stabil dan sejahtera.

Baca juga: Afghanistan akan dapat Rp4 triliun untuk makanan dan kesehatan

Copyright © ANTARA 2021