Jakarta (ANTARA) - Indonesia tengah mengembangkan vaksin Merah Putih dengan menggunakan platform berbasis virus yang dilemahkan dan platform protein rekombinan.

Sasaran utamanya, mengutip Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko beberapa waktu lalu, memenuhi standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) di atas 50 persen sehingga bisa digunakan masyarakat.

Langkah ini patut didukung siapa pun karena dewasa ini vaksin buatan sendiri menjadi kebutuhan mendesak.

Baca juga: Studi: Moderna lebih mungkin sebabkan miokarditis daripada Pfizer

Bukan saja demi konsumsi domestik dan kemandirian bangsa, tetapi juga sebagai pintu untuk peran aktif Indonesia dalam turut mempercepat vaksinasi global ketika virus SARS-Cov-2 terus bermutasi termasuk varian Omicron yang sangat menular itu.

Kebutuhan membuat vaksin sendiri juga dilandasi fakta tidak meratanya distribusi vaksin COVID-19, padahal negara-negara kaya dan raksasa-raksasa farmasi sudah berikrar mengedarkan vaksin seluas mungkin sehingga target vaksinasi lengkap 40 persen penduduk Bumi akhir tahun ini terpenuhi.

Namun data terbaru justru menunjukkan baru 54,1 persen penduduk dunia yang telah disuntik minimal satu dosis vaksin.

Gambaran jauh lebih menyedihkan terlihat di negara-negara miskin dan berkembang di mana baru 5,7 persen penduduk yang divaksinasi yang ini pun baru minimal satu dosis vaksin.

Jelas sebagian besar penduduk Bumi masih tak terlindungi dan ini acap menjadi pintu bagi gelombang baru infeksi karena tempat-tempat bertingkat vaksinasi rendah kerap menjadi muasal varian baru, termasuk Omicron yang muncul di bagian selatan Afrika yang tingkat vaksinasinya rendah.

Fakta ini juga menunjukkan negara-negara kaya dan produsen vaksin tak bisa memenuhi janji menyalurkan vaksin dengan adil.

Baca juga: Afrika Selatan setujui 'booster' COVID Johnson & Johnson

Riset People’s Vaccine Alliance (PVA) pertengahan November lalu menyebutkan produsen vaksin seperti Moderna hanya menyalurkan 0,2 persen dari total produksi vaksinnya ke negara-negara miskin, sedangkan Pfizer di bawah 1 persen. Alhasil, 95 persen penduduk negara miskin dan berkembang masih tak tervaksinasi.

Produsen-produsen vaksin terlihat lebih mementingkan negara-negara yang mampu membeli vaksinnya sehingga tak mengagetkan jika mereka dituduh ingin mengeduk untung dari pandemi.

Perusahaan-perusahaan seperti Moderna dan Pfizer, mengutip hasil riset PVA, total mengeduk laba 65.000 dolar AS (Rp921 juta) per menit atau sekitar 1.000 dolar AS (Rp14 juta) per detik.

Tahun ini kedua perusahaan ini diperkirakan menangguk keuntungan 34 miliar dolar AS (Rp481 triliun). Tapi pasar vaksin global memang menggiurkan yang tahun ini saja menjanjikan keuntungan 42,7 miliar dolar AS (Rp605 triliun) dan diperkirakan naik dua kali lipat menjadi 89,7 miliar dolar AS (Rp1.271 triliun) pada 2027.

Raksasa-raksasa farmasi lain, termasuk AstraZeneca yang pernah menyatakan vaksinnya tidak untuk komersialisasi, tak begitu berbeda.

Pada 12 November bos AstraZeneca, Pascal Soriot, menyatakan komitmen non komersialisasi tak berlaku lagi pada 2022 dan kini AstraZenece bersiap meneken kontrak-kontrak komersial bernilai besar.

Baca juga: Hoaks! Ilmuwan Pfizer sarankan vaksin mingguan cegah karantina akibat Omicron

Saatnya mengoreksi

Ternyata selama ini bukan mereka yang menjadi pemasok terbesar negara-negara miskin, melainkan Serum Institute of India. Namun ketika India dihantam gelombang kedua Maret dan April lalu pemerintah negeri ini menghentikan sementara ekspor vaksin dan ini merugikan negara miskin dan berkembang yang menggantungkan jenis vaksin COVID ramah kantong mereka seperti dibuat India itu.

Fakta lain yang mengemuka adalah ada upaya dari raksasa-raksasa farmasi global guna mematenkan vaksin COVID-19 sehingga berpotensi menghalangi negara lain memproduksi vaksin lebih murah untuk negara miskin dan berkembang.

Upaya raksasa-raksasa farmasi dunia itu sendiri berseberangan dengan hasrat banyak kalangan, termasuk WHO yang ingin menghapuskan paten vaksin COVID-19.

Tapi mereka beranggapan menghapus paten tak akan berhasil karena negara miskin dan berkembang tak memiliki teknologi tinggi untuk membuat vaksin.

Argumen ini pernah mereka utarakan untuk obat HIV. Ternyata yang terjadi perusahaan obat generik seperti Cipla di India yang mampu membuat versi generik HIV, membuktikan pendapat mereka salah.

Kini mereka menyatakan membuat vaksin berbasis mRNA seperti dibuat Pfizer/BioNTech dan Moderna itu sulit sekali, padahal beberapa perusahaan farmasi India dan Thailand saat ini tengah membuat vaksin menggunakan metode semacam itu.

Situasi seperti ini sudah waktunya dikoreksi karena seandainya vaksin COVID-19 tersedia di mana-mana, maka akan lebih mudah bagi dunia menghentikan pandemi karena penetrasi luas vaksin bisa mempertinggi daya tangkal global terhadap varian baru mana pun.

Baca juga: WHO: Negara-negara kaya mungkin timbun lagi vaksin COVID

Indonesia yang tengah menjadi ketua G20 bisa kian menegaskan kebutuhan untuk mengoreksi kekeliruan global yang sebagian seperti disengaja, sekalipun tugas seperti ini amat berat karena bersinggungan dengan pemain-pemain besar dalam industri farmasi global yang selama ini sangat mempengaruhi cara umat manusia menyembuhkan diri dari penyakit.

Tetapi selama diketuai Italia, G20 sendiri sudah sepakat membantu suplai vaksin COVID-19 ke negara-negara miskin dan berkembang.

Sementara Indonesia yang menjadi tuan rumah sekaligus ketua G20 edisi ini, sudah menyatakan akan mendorong kolaborasi global, termasuk dalam distribusi vaksin COVID-19, sesuai tema G20 sekarang, "Recover Together, Recover Stronger".

Perkembangan lain yang bisa memperkuat Indonesia adalah "lampu hijau" dari Presiden Amerika Serikat Joe Biden untuk mengabaikan dahulu hak paten vaksin COVID-19.

Sikap Biden ini mengejutkan semua pihak, termasuk Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus yang menyebutnya "momen monumental dalam perang melawan COVID-19."

Tapi Biden bukan yang pertama karena prakarsa ini juga diperjuangkan oleh Afrika Selatan dan India. Kini inisiatif ini didukung China, Prancis, Rusia, Spanyol, serta banyak pihak lainnya termasuk Paus Fransiskus.

Dan sepertinya memang sudah waktunya pandemi diselesaikan bersama yang bisa dimulai dari menghapuskan paten vaksin COVID agar negara miskin dan berkembang bisa memvaksinasi penduduknya lebih banyak lagi.

Dengan cara itu maka celah bagi terciptanya gelombang baru infeksi yang disebabkan varian baru, menjadi tertutup, karena varian baru termasuk Omicron umumnya menyerang yang tak divaksinasi yang merupakan mayoritas di negara miskin dan berkembang.

Baca juga: Novavax akan produksi vaksin Omicron mulai Januari

Kolaborasi

Dunia bisa berkaca kepada kisah sirna wabah polio yang didorong sikap virolog yang menemukan vaksin polio.

Sang penemu bernama Jonas Salk yang juga peraih Hadiah Nobel, menolak vaksin polio temuannya dipatenkan. Ternyata ini membuka jalan untuk produksi massal vaksin polio sehingga penyakit mematikan itu nyaris lenyap dari muka bumi.

Umat manusia saat ini berkesempatan mengikuti jejak mulia Jonas Salk dengan cara membuka peluang produksi vaksin COVID-19 lebih luas lagi dengan melibatkan lebih banyak lagi negara sehingga bagian terbesar penduduk dunia bisa divaksinasi COVID-19.

Namun upaya ini tentu akan berbenturan dengan korporasi besar yang walaupun memberikan sumbangan besar kepada kesehatan global, tetapi juga tak bisa melepaskan diri dari upaya mencari untung sebanyak mungkin.

Posisi mereka yang terlalu kuat khususnya dalam paten yang membuat arsitektur bisnis kesehatan terlihat tidak adil, harus dikoreksi, paling untuk sebagian sektornya.

Ini karena posisi dominan itu membuat produsen vaksin memilih pasar justru ketika dunia dihantam penyakit amat menular.

Sikap ini terbukti keliru karena hanya memvaksin mereka yang bisa membayar vaksin, tak bisa menghentikan pandemi, karena COVID-19 tak memilih pasien dari kaya atau miskin.

Apalagi dunia saat ini sangat interdependen di mana satu daerah sakit maka akan cepat menulari daerah lain termasuk yang paling kaya sekalipun. Inilah yang terjadi pada Omicron.

Baca juga: AstraZeneca teliti dampak varian baru COVID terhadap vaksin buatannya

Untuk itulah menjadi penting sekali melibatkan banyak negara dalam memproduksi obat dan vaksin, setidaknya untuk memenuhi kebutuhan domestik agar tahan dari gelombang baru infeksi.

Lagi pula, negara seperti Indonesia juga berandil besar dalam pengembangan vaksin termasuk menyediakan sampel sebelum vaksin boleh digunakan di seluruh dunia.

Kini saatnya dunia mengoreksi kekeliruannya dengan membumikan itikad membuka akses seluas mungkin kepada vaksin COVID-19 dan mendorong negara-negara yang memiliki teknologi, modal dan kemampuan agar turut memproduksi vaksin.

Kepentingan ini bisa lebih diartikulasikan lagi oleh Indonesia dalam konteks G20, apalagi Indonesia tengah memegang momen penting sebagai ketua kelompok 20 negara yang menguasai 80 persen global dan dua per tiga penduduk Bumi ini.

Semua itu niscaya sejalan dengan langkah-langkah multilateral lain terkait distribusi vaksin COVID-19, termasuk IMF, Bank Dunia, WHO dan WTO yang pada 9 November menyeru produsen-produsen vaksin COVID-19 menyalurkan vaksin lebih banyak lagi ke negara miskin dan berkembang.

Keempat organisasi dunia itu juga meminta 2022 difokuskan kepada diversifikasi produksi vaksin di banyak wilayah dan memperkuat kolaborasi agar target vaksinasi 70 persen penduduk dunia pertengahan tahun depan bisa tercapai.

Angin perubahan sepertinya tengah bertiup kencang dan ini bisa menguntungkan Indonesia dalam memanfaatkan sebesar mungkin posisi ketua G20 guna membuka lebar-lebar akses vaksin termasuk memikirkan ulang paten dan kebutuhan membuat iklim bisnis kesehatan yang lebih adil, serta mendorong kolaborasi global yang lebih kuat untuk mengakhiri pandemi.

Baca juga: Indonesia kembali terima vaksin Moderna donasi Jerman

Copyright © ANTARA 2021