Saya senang menuntut ilmu pengetahuan, tak memandang usia, dan ingin memberikan motivasi kepada anak, cucu dan generasi muda
Jakarta (ANTARA) - Dr Nazaruddin Nasution yang berulang tahun ke-80 pada 22 Desember 2021, telah sukses meniti pengalaman hidup yang pantas menjadi suri teladan.

Ulang tahun Nazar dan ulang tahun ke-50 perkawinannya dengan Ida Ismail dirayakan oleh sahabat-sahabat dan keluarganya dengan semarak. Acara tersebut dikemas dalam Malam Tasyakuran Pasangan Insan Cita secara virtual hampir tiga jam pada Rabu malam (22/12).

Sejumlah tokoh antara lain Dr. Akbar Tandjung, Etty Mar’ie Muhammad, Prof Makarim Wibisono, Taufiq Ismail, Prof R. Siti Zuhro, Prof. Bagir Manan, Prof. Azyumardi Azra, Prof Eddy Pratomo, Prof Asep Saefuddin, Prof Arif Satria, Prof Tirta N Mursitama. Dr Ishadi SK, Dr Fadli Zon, Prof Ali Munhanif, Prof Aida Vitayala, Prof Nurhayati Djamas, dan Dr Nurul Isnaeni memberikan pandangan, testimoni dan ucapan selamat.

Nora Janawahti, Firdaus Syam dan Duo Ethnicholic mengisi bagian musik, puisi dan lagu dalam acara dengan host Kang Jana dan duet pembawa acara Lely Wahyuniar/Betty Epsilon Idroos.

Nazaruddin Nasution yang akrab disapa Nazar tercatat sebagai aktivis dan anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ketika kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan salah seorang Angkatan 66.


Baca juga: Menlu RI: OKI bertanggung jawab bantu rakyat Afghanistan
 

Berdasarkan buku Nazaruddin Nasution dari Aktivis Menjadi Diplomat, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Pusat menetapkan pada 10 Januari 1966 untuk menyelenggarakan unjuk rasa besar guna menunjukkan kekuatan mahasiswa Indonesia.

Satu tim perumus yang beranggota tiga orang ditunjuk dan bertugas menyusun Deklarasi Mahasiswa Indonesia.

Ketiganya ialah Ismid Hadad, wakil dari Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI), Savrinus Suardi dari PMKRI, dan Nazaruddin Nasution yang dalam waktu relatif singkat berhasil merumuskan hal-hal yang akan dideklarasikan oleh mahasiswa Indonesia pada momen penting tersebut.

Tiga hal pokok dan penting dirumuskan menjadi tema atau slogan yang kemudian terkenal di seluruh Indonesia yaitu Tritura. Tiga Tuntutan Rakyat: 1. Bubarkan PKI, 2. Rombak Kabinet dan 3. Turunkan Harga.

Secara khusus panitia acara Malam Tasyakuran itu membacakan testimoni Prof. Harry Azhar Azis, yang mantan Ketum HMI (1983-1986) dan semasa hidupnya masih sempat menulis kesaksiannya.

Baca juga: RI-AS berkomitmen perkuat kerja sama yang saling menguntungkan

“...Bang Nazar, begitu biasa saya memanggilnya, memang dikenal sebagai aktivis, diplomat dan ilmuwan. Ketiga predikat itu melekat dalam dirinya sesuai perjalanan hidup dan umurnya. Sebagai aktivis beliau termasuk tokoh (Angkatan) 66 seperti Mar’ie Muhammad, Ekkie Syahruddin, Fahmi Indris, Marsilam Simanjuntak, dan Cosmas Batubara. Perjuangannya sebagai aktivis HMI dan KAMI telah menjadikannya aktivis 66 yang melegenda. Suatu masa perjuangan kemahasiswaan yang sangat membanggakan. Dan berhasil mempertahankan HMI dari ancaman pembubaran waktu itu. Justeru dengan perjuangan mahasiswa itu dan bantuan berbagai komponen masyarakat, PKI dibubarkan pemerintah ...” demikian catatan almarhum Harry Azhar Azis, anggota V Badan Pemeriksa Keuangan RI/Pimpinan Pemeriksaan Keuangan Negara V (BPK) yang wafat dalam usia 65 tahun di Jakarta Sabtu (18/12/2021). Dia pernah menjabat sebagai Ketua BPK pada Oktober 2014 sampai dengan April 2017.


Baca juga: Retno minta dukungan penuh G7 untuk presidensi Indonesia di G20


Alih profesi

Setelah lulus dari FH UI, Nazar berkecimpung sebagai pengacara di LBH (1971-1973), kemudian meniti karir sebagai diplomat di Kemlu selama lebih 30 tahun (1973-2003). Terakhir sebagai Duta Besar RI untuk Kerajaan Kamboja (2000-2003).

Peralihan profesi dari pengacara menjadi diplomat dan kemudian berkarier selama lebih dari 30 tahun di Kemlu baginya adalah pengalaman yang unik sekaligus membahagiakan.

Lika-liku dunia diplomasi rupanya bagi dia membuka cakrawala, memberi pengalaman, bahkan tidak sedikit hadir cerita unik yang terselip di tengah-tengah tumpukan tugas.

Adaptasi dari dunia aktivis HAM, pengacara kaum tertindas dan kemudian masuk dalam salah satu lingkaran sistem kenegaraan adalah hal yang baru dan mengasyikkan, demikian katanya di buku Nazaruddin Nasution dari Aktivis Menjadi Diplomat.

Ketika bertugas di Kamboja, Nazar membuat buku Pasang Surut Hubungan Diplomatik Indonesia-Kamboja, Indonesia-Cambodia Forging Ties Through Thick and Thin (2002).

Buku-buku lain yang ditulisnya ialah Diplomasi dalam Aksi, Sebelas Diplomat Indonesia (2008), Dari Aktivis Menjadi Diplomat (2012), Selain buku dia juga menulis berbagai artikel di beberapa media nasional.

Baca juga: Retno Marsudi tekankan kemitraan ASEAN, G7 atasi tantangan global

Selama kurun waktu 2003-2005, dia sempat pula bertugas sebagai Asisten Menlu Urusan Hubungan dengan DPR RI sebelum pensiun.

Sejak 2004 hingga kini Nazar, yang menikah dengan Ida Ismail dan dikaruniai tiga anak, mendedikasikan dirinya di dunia akademik sebagai dosen Hubungan Internasional. Dialah kepala program studi pertama HI FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, tahun 2006-2010.

Nazar sebagai putera Muhammad Yunan Nasution, seorang tokoh Masyumi yang ditahan selama beberapa tahun di era Orde Lama, adalah dosen Hubungan Internasional pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah, Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Paramadina Post Graduate School on Diplomacy di Jakarta.

Baca juga: Indonesia berkomitmen menambah 1.000 personel penjaga perdamaian PBB

Senang menuntut ilmu

Di saat usianya lebih 70 tahun, Nazar masih bersemangat menimba ilmu dan meraih gelar doktor pada Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah dengan konsentrasi Islam dan Hubungan Internasional.

Objek kajian Nazar yang kelahiran Medan, 22 Desember 1941, pada term besar terkait praktek genosida di Kamboja di bawah rezim Khmer Merah (1975-1979) dan kejahatan kemanusiaan di Timor Timur sesaat setelah dilaksanakan jajak pendapat tahun 1999.

Pada bagian lain testimoninya mengenai pencapaian Nazar meraih gelar doktor, Harry Azhar Azis menulis,” ... Ini menunjukkan semangat yang tidak kunjung padam sebagai aktivis yang ilmuwan. Saya merasa ini sebagai contoh bagi generasi aktivis selanjutnya untuk tidak pernah berhenti mengejar dan mengajarkan ilmu pada lingkungan kita.”

“ ... Kesimpulan saya tentang Bang Nazar, tidak banyak aktivis mengabdikan dirinya dengan konsisten pada diplomasi internasional dan ilmu pengetahuan. Saya yakin beliau telah menjadi tokoh panutan bagi generasi muda aktivis dan sekaligus contoh seorang aktivis yang baik, yang ujung karirnya berlangsung dengan baik.”

Sebagai salah seorang perintis berdirinya Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) tempat berhimpunnya komunitas HI seluruh Indonesia, Nazar yang bergelar Master of Arts (S2) dari St. John’s University New York tahun 1988 dan Doktor (S3) dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2017), sempat menjadi Ketua Dewan Pengawas AIHII (2014-2017).

Baca juga: Menlu Retno: G20 harus menjadi katalis pemulihan ekonomi global
 

Dia aktif pula sebagai anggota Governing Board of Indonesian Council on World Affairs (ICWA) dan anggota eksekutif Forum Duta Besar RI.

“Saya senang menuntut ilmu pengetahuan, tak memandang usia, dan ingin memberikan motivasi kepada anak, cucu dan generasi muda,” kata Nazar, pengagum Adam Malik, Ali Alatas dan Mochtar Kusumaatmadja, kepada penulis suatu hari.

*Mohammad Anthoni adalah wartawan senior, bekerja sebagai wartawan LKBN ANTARA tahun 1990 sampai 2019.


Baca juga: Isu normalisasi dengan Israel, Indonesia terus perjuangkan Palestina

Baca juga: Perempuan miliki peran penting dalam fokus presidensi G20 Indonesia


Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2021