... rasanya aneh ketika berpartai seperti orang bebas yang suka berganti-ganti merek mobil. Ketika bosan dengan mobil lama, lirik-lirik mobil keluaran baru, merek lain.
Jakarta (ANTARA News) - Pada masa Orde Baru, saya masih duduk di bangku sekolah dasar.  Ketika pihak sekolah mengupayakan pakaian seragam, maka kami diukur satu per satu di tukang jahit. Para penjahit di desa saya yang kelimpahan proyek menjahit baju seragam itu tampak gembira dan sibuk.

Seingat saya, sebelumnya belum ada kewajiban memakai seragam. Semasa itu, teman-teman yang tak bersepatu masih banyak. Saya beruntung, sekolah sudah pakai buku, bukan lagi seperti generasi sebelum saya pakai sabak yang bentuknya seperti iPad zaman sekarang.

Pengadaan kain seragam itu dari sebuah toko di Solo. Dari kalender hadiahnya toko kain untuk seragam itu bertuliskan, menerima pesanan baik partai besar maupun partai kecil. Dari situlah awalnya saya mengenal kata partai.

Tentu saja kemudian saya paham bahwa partai yang dimaksud, berbeda maknanya dengan partai politik.

Pada Pemilu 1987 saya sudah duduk di bangku sekolah menengah pertama. Saya menyaksikan guru-guru kami yang berpakaian Korpri arak-arakan kampanye Golkar. Saya sempat bertanya ke salah satu guru, mengapa ikut kampanye Golkar bukan yang lain. Jawabnya, karena yang lain adalah partai.

Guru dan para pegawai negeri sipil (termasuk bapak saya) tidak boleh berpartai, tetapi harus bermonoloyalitas ke Golkar. Golkar itu bukan partai. Saya tanya lagi, kalau bukan partai kok boleh ikut pemilu? Guru saya menjawab bahwa aturan pemilunya membolehkan yang bukan partai sebagai kontestan.

Sebagai pelajar muda saya merasakan, betapa eksklusifnya Golkar saat itu. Hanya Golkar yang dapat membuat acara-acara di kantor kelurahan, sementara dua partai kontestan pemilu yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dilarang.

Secara khusus saya memperoleh penjelasan dari guru Pendidikan Moral Pancasila (PMP) bahwa partai-partai pernah bikin masalah dan konflik pada zaman demokrasi liberal alias Orde Lama. Partai-partai pada masa Orde Baru dibatasi ruang geraknya, tak boleh beraktivitas sampai ke desa-desa. Itulah yang dimaksud dengan penerapan konsep massa mengambang.

Di desa saya, tak semuanya simpatisan Golkar. Saya menyaksikan mereka jauh lebih kompak dan garang dalam berkampanye, ketimbang para anggota Korpri. Saya juga menyaksikan betapa mereka merasa bukan bagian dari hal-hal yang bersifat pemerintahan, karena semua milik Golkar.

Itu semua kisah masa lalu ketika sistem kepartaian kita, sebagaimana dipopulerkan kembali almarhum Afan Gaffar adalah hegemonic party system. Persaingan pemilunya bersifat tidak sempurna, karena aturannya banyak menguntungkan Golkar. Militer dan birokrasinya tak netral pula. Tapi ketika zaman reformasi tiba, semuanya berubah. Golkar pun harus menjadi partai yang setara dengan partai-partai lainnya untuk berkompetisi politik dalam pemilu.

Tak ada lagi sekarang kebijakan massa mengembang. Tetapi yang mengemuka justru kekikukan-kekikukan partai-partai dalam berkomunikasi secara otentik dengan masyarakat. Banyak partai tak jelas juntrungannya, programnya, bahkan dalam banyak kasus, kantornya. Karenanya, keluar sindiran, bukan massa mengambang lagi praktiknya sekarang, tetapi partai mengambang.

Para pakar politik sudah banyak yang menjelaskan fenomena dan kecenderungan kepartaian kita era reformasi. Kita mencatat ada kesinambungan dan perubahan atas kehadiran partai-partai di panggung politik kita dewasa ini. Pada era transisi tampak, banyak tokoh yang mengupayakan membangkitkan kembali ikon-ikon politik masa lalu. Tapi eksperimentasi mereka tidak sepenuhnya berhasil.

Terhadap fenomena ini, ada yang mempertegas : zaman ideologi-ideologi sudah berlalu. Sekarang zaman pragmatis, bung!

Kita juga mencatat ratusan partai hadir pada awal era reformasi. Bahkan ada beberapa partai dan embrio partai yang cukup aneh kalau bukan unik. Ada partai anak yatim, ada juga partai tikus got (sebuah lontaran dari Iwan Fals saat itu). Namun, kenyataannya label partai kurang penting kecuali siapa tokohnya.

Identifikasi publik atas partai-partai selalu diawali dengan pertanyaan, partainya siapa itu. O, ternyata partainya Pak A, partainya Bu B, si C dan sebagainya. Fenomena tokoh menarik pendukung masih tetap mengemuka sampai sekarang. Terhadap fenomena ini, beberapa pakar politik mengingatkan agar partai-partai dibangun kuat kelembagaannya, supaya tidak semata-mata tergantung pada sosok-sosok tertentu sebagai magnitnya.

Partai-partai juga tak sesakral dulu rasanya. Sekarang ini pindah-pindah partai dipandang biasa. Para imigran politik itu, rata-rata punya alasan, bahwa kepindahannya ke partai lain adalah karena faktor idealisme. Bahwa idealisme dapat diperjuangkan di mana pun tempat. Partai cuma label, sekedar alat untuk berjuang.

Alasan subyektif itu sah-sah saja, walaupun rasanya aneh ketika berpartai seperti orang bebas yang suka berganti-ganti merek mobil. Ketika bosan dengan mobil lama, lirik-lirik mobil keluaran baru, merek lain. Konsistensi berpartai tak lebih penting dari konsistensi berpolitik. Hmmm, betapa politisi zaman kita, berpeluang untuk ganti-ganti warna.

Karena serba praktis, pragmatis, partai menciut bentuknya menjadi seperti kendaraan saja. Yang mau pakai silakan, asal mampu mengganti ongkos sewa atau tiketnya. Partai-partai seperti galeri mobil sewaan. Tentu saja adakalanya, para penyewa harus taat pada ketentuan syarat-rukunnya, antara lain bersedia diteliti popularitas dan elektabilitasnya lewat jajak pendapat –terlepas dari jajak pendapatnya berbeda-beda hasilnya.

Kita juga layak menyoroti kaderisasi partai. Partai-partai zaman kita harus mengupayakan sistem perkaderan dengan baik. Pasar bebas politik memang membuka peluang pula bajak-membajak kader –tapi kader yang baik tak bisa dibajak, kecuali terpaksa!

Dan yang ramai didiskusikan sekarang adalah, bagaimana membuat partai-partai tidak berubah menjadi organisasi mafia yang diformalkan. Partai-partai harus benar-benar menjadi organisasi politik yang bermartabat, yang dalam pencarian dan pemanfaatan finansial politiknya selalu mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Sistem kepartaian dan sistem pemilu kita, terutama, masih membuka celah bagi praktik-praktik manipulasi pelaporan finansial politiknya ke komisi pemilihan umum. Sistem politik kita juga masih banyak kelemahan atau celah-celah yang dapat memicu korupsi politik para politisi.

Ongkos untuk naik tangga alias dari orang biasa menjadi politisi menjadi pejabat pemerintah atau anggota parlemen yang harus melalui mekanisme pemilu langsung tampak semakin mahal saja saat ini. Orang semakin tidak berani untuk ikut bertanding manakala tongpes alias kantong kempes. Walaupun faktor gizi (uang) bukan segalanya, tetapi faktanya masih sangat menentukan.

Saya tidak anti-partai. Saya ingin melihat dan merasakan partai-partai kita kuat, sehat, bersih, dan mendidik. Kalau partai-partai lemah, kotor, dan tidak sehat, maka demokrasi kita pun juga bisa begitu. Kita tentu ingin demokrasi kita berkah, maslahat dan membawa kemajuan.

Saya ingin melihat dan merasakan elite-elite dan kader-kader partai-partai kita adalah politisi-politisi yang baik dan wajar. Politisi yang memahami berpolitik adalah berjuang untuk mewujudkan cita-cita mulia –bukan berpolitik untuk jalan pintas kalau mau kaya!

Saya paham, tantangan zaman kita demikian kompleks, menjadi politisi pun tidak mudah. Karenanya, saya masih menaruh harapan pada teman-teman yang berkiprah di partai untuk dapat melakukan yang terbaik untuk kemajuan masyarakat dan bangsa. (***)

M Alfan Alfian, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Nasional, Jakarta

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011