Tidak mungkin pemerintah memilih menyelamatkan rakyat dari ancaman COVID-19 atau menyelamatkan perekonomian, karena keduanya adalah penting dan saling memengaruhi
Jakarta (ANTARA) - Menjelang akhir 2021 ini, pandemi COVID-19 belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, meski negara-negara sudah mengerahkan daya dan upaya untuk mengendalikan penyakit mematikan ini.

Kasus COVID-19 global bahkan mengalami tren kenaikan di tengah musim dingin di AS dan Eropa seiring dengan kemunculan varian baru Omicron.

Selain bidang kesehatan, dampak pandemi COVID-19 ini sangat terasa pada kegiatan perekonomian seiring dengan adanya pengetatan restriksi perjalanan.

Untuk itu, sejak pandemi ini muncul pada awal 2020, Pemerintah Indonesia berupaya mati-matian menjaga agar perekonomian nasional tidak lumpuh terlalu dalam.

Salah satu kebijakan yang bisa diandalkan untuk menjaga kinerja perekonomian adalah instrumen fiskal melalui optimalisasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Pemerintah melalui UU Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 bahkan telah memperlebar defisit anggaran melebihi tiga persen PDB hingga 2023 yang memungkinkan adanya penambahan pembiayaan negara melalui utang.

Dari belanja negara dalam APBN 2021 yang ditetapkan sebesar Rp2.750 triliun, sebanyak Rp744,77 triliun diperuntukkan khusus untuk belanja program pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Hasilnya sangat terasa di sepanjang tahun, perekonomian tidak lagi terkontraksi seperti di 2020, seiring dengan penanganan pandemi yang mulai membaik.

Terdapat lima sektor yang menjadi fokus utama dalam PEN tersebut yaitu kesehatan, perlindungan sosial, dukungan UMKM dan korporasi, program prioritas, dan insentif perpajakan bagi dunia usaha.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan APBN telah memberikan bantuan mengingat krisis kesehatan ini telah berdampak luar biasa buruk, baik dari sisi ekonomi, sosial, hingga pendidikan.

Program PEN ini muncul karena banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan pendapatan bahkan para siswa yang tidak bisa bersekolah secara tatap muka juga berdampak pada terhentinya kegiatan perekonomian di sekolah.

"Tidak mungkin pemerintah memilih menyelamatkan rakyat dari ancaman COVID-19 atau menyelamatkan perekonomian, karena keduanya adalah penting dan saling memengaruhi," katanya.

Baca juga: Sri Mulyani: Masih ada Rp210 triliun anggaran PEN belum dibelanjakan


Realisasi PEN

Hingga 17 Desember 2021, realisasi PEN telah mencapai Rp533,6 triliun atau 71,6 persen dari pagu Rp744,77 triliun. Realisasi itu juga meningkat dari pencapaian akhir triwulan III sebesar Rp409,98 triliun.

Sebagian besar PEN tersebut dimanfaatkan untuk sektor kesehatan yang realisasinya sudah mencapai Rp147,44 triliun atau 68,6 persen dari pagu Rp214,96 triliun.

Belanja yang terkait bidang kesehatan antara lain pemberian insentif tenaga kesehatan untuk 1,42 juta tenaga kesehatan pusat dan santunan kematian bagi 571 tenaga kesehatan.

Selain itu, untuk pengadaan 304,39 juta dosis vaksin, bantuan iuran JKN untuk 34,71 juta orang, biaya perawatan untuk 784,96 ribu pasien serta pembagian paket obat untuk masyarakat dan penebalan PPKM.

PEN juga dimanfaatkan untuk belanja perlindungan sosial yang realisasinya sudah mencapai Rp161,17 triliun atau 86,4 persen dari pagu 186,64 triliun.

Manfaat perlindungan sosial tersebut antara lain untuk program keluarga harapan untuk 10 juta KPM dan kartu sembako untuk 18 juta KPM serta BST untuk 9,99 juta KPM dan BLT desa untuk 5,62 juta KPM.

Belanja perlindungan sosial juga mencakup kartu prakerja untuk 5,96 juta orang, bantuan kuota internet untuk 6,66 juta penerima, bantuan UKT untuk 347,11 ribu penerima, subsidi listrik untuk 32,6 juta penerima, dan bantuan beras untuk 28,8 juta dan sembako PPKM 5,85 juta KPM.

Kemudian, PEN juga dibutuhkan sebagai belanja untuk dukungan UMKM dan korporasi dengan realisasinya mencapai Rp74,36 triliun atau 45,8 persen dari pagu Rp162,4 triliun.

Dukungan itu mencakup bantuan pelaku usaha mikro bagi 12,8 juta usaha, penempatan dana bank kepada 5,49 juta debitur, subsidi bunga KUR untuk 7,45 juta debitur dan non KUR untuk 6,76 juta debitur serta PMN untuk PT Hutama Karya, PT Pelindo III, PT KIW, ITDC, dan LPI sebesar Rp23,86 triliun.

Selanjutnya, pemanfaatan PEN juga mencakup berbagai program prioritas yang realisasinya telah mencapai Rp87,47 triliun atau 74,2 persen dari pagu Rp117,94 triliun.

Program prioritas itu antara lain padat karya K/L untuk 1,61 juta tenaga kerja, sertifikasi CHSE serta akomodasi tenaga kesehatan untuk industri perhotelan, ketahanan pangan untuk bendungan dan food estate, ICT serta fasilitas pinjaman daerah melalui PT SMI sebesar Rp10 triliun.

Terakhir, PEN diperuntukkan untuk pemberian insentif perpajakan bagi dunia usaha yang realisasinya mencapai Rp63,16 triliun atau 100,5 persen dari pagu Rp62,83 triliun.

Beberapa insentif itu antara lain PPh 21 DTP untuk 87.086 pemberi kerja, PPh final UMKM DTP untuk 134.922 UMKM, pembebasan PPh 22 Impor untuk 9.601 wajib pajak (WP) dan pengurangan angsuran PPh 25 untuk 58.057 WP.

Kemudian, insentif pengembalian pendahuluan PPN untuk 2.778 WP, penurunan tarif PPh badan manfaat untuk seluruh WP, PPN DTP properti untuk 941 penjual, PPnBM Mobil untuk enam penjual, PPN DN sewa outlet untuk 885 WP dan BM DTP untuk impor Rp4,51 triliun.

Baca juga: Menko Airlangga perkirakan realisasi PEN 2021 bakal capai 90,4 persen


Efektif bantu masyarakat

Berdasarkan tingginya realisasi tersebut, pemberian PEN terbukti telah membantu masyarakat dan dunia usaha dari ancaman COVID-19 serta mampu bertahan dari potensi kemerosotan ekonomi.

PEN jelas telah membantu masyarakat melalui pemberian vaksin maupun penanganan kesehatan secara gratis seiring dengan pemberian berbagai bantuan sosial bagi keluarga yang membutuhkan.

Dunia usaha juga tertolong karena sektor produksi masih dapat berjalan melalui bantuan modal, keringanan beban subsidi bunga maupun pajak sekaligus adanya penjaminan kredit untuk ekspansi.

Kondisi ini telah melahirkan optimisme terlihat dari membaiknya indeks mobilitas masyarakat yang sudah kembali di atas level pre-pandemi sejak akhir September, serta indeks PMI Manufaktur Indonesia yang mampu kembali mencatatkan rekor tertinggi pada level 57,2 di Oktober 2021.

Penanganan pandemi yang membaik serta pemberian bantuan belanja sosial juga mampu menjaga ekspektasi pemulihan ekonomi, mengingat membaiknya daya beli masyarakat dapat mendorong tingkat konsumsi ke pertumbuhan yang lebih tinggi.

Untuk itu, pemerintah memastikan implementasi program PEN akan semakin diperkuat untuk mengakselerasi pemulihan, khususnya untuk menciptakan tenaga kerja dan menstimulasi aktivitas dunia usaha yang terdampak.

Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute Nuri Resti Chayyani juga menyarankan pemerintah untuk mempercepat belanja PEN, terutama untuk sektor kesehatan, pariwisata, dan UMKM untuk mengurangi ketimpangan.

Menurut dia, kondisi krisis seperti ini berpotensi untuk meningkatkan angka kemiskinan dan mengurangi lapangan pekerjaan yang bisa menimbulkan persoalan sosial dan memperlebar tingkat kesenjangan.

Ia pun mengusulkan Kementerian Keuangan bisa menyelaraskan dan membuat penajaman target penyaluran bantuan pemerintah pusat ke daerah melalui koordinasi dengan Kementerian Lembaga terkait maupun bank sentral.

"Bank Indonesia juga perlu memaksimalkan dan mengkaji ulang kebijakan relaksasi kredit kepada bank umum agar pelaku UMKM dan masyarakat dapat dengan mudah mengajukan kredit tanpa birokrasi dan administrasi berbelit," katanya.

Namun, masih muncul catatan dari pelaksanaan PEN karena penyerapan masih menghadapi kendala di tingkat birokrasi sehingga berpotensi melahirkan dana yang mengendap. Pembenahan ini penting agar proses pencairan dapat lebih efektif di 2022.

Saat ini, sebagian besar program PEN dikelola secara terpusat, sehingga pencairan belanja APBN dilakukan ke rekening unit kerja pada kantor pusat Kementerian Negara Lembaga, sebelum kemudian disalurkan ke penerima bantuan atau insentif.

Proses penyerapan PEN yang belum mencapai 80 persen dari pagu hingga akhir 2021 harus menjadi evaluasi ke depannya, karena belanja ini telah menjadi obat yang mujarab untuk menjaga kesehatan masyarakat dan menggerakkan kembali roda perekonomian.

Baca juga: Kemenkeu buka peluang lanjutkan insentif pajak PEN bagi UMKM di 2022

Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021