Jakarta (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengatakan angka pada kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi (unmet need) dan pemakaian alat kontrasepsi modern (mCPR) pada masyarakat yang ditetapkan oleh pemerintah belum bisa mencapai target akibat adanya pandemi COVID-19.

“Sementara untuk target dan pencapaian angka prevalensi kontrasepsi modern dan juga target unmet need dari data menunjukkan tidak tercapai,” kata Sekretaris Utama BKKBN Tavip Agus Rayanto dalam Taklimat Bidang PMK yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.

Baca juga: BKKBN: Angka prevalensi stunting jadi 24,4 persen pada akhir tahun

Tavip menuturkan, angka prevalensi yang ditargetkan pada pemakaian alat kontrasepsi modern 2021 adalah 62,16 persen. Namun, pemakaian tersebut baru terealisasikan sebesar 57 persen.

Pada pencapaian kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi di masyarakat, angka itu belum mencapai target yang ditetapkan sebesar 8,3 persen.

Baca juga: BKKBN: Telat datang ke faskes sebabkan tingginya angka kematian ibu

Hal tersebut dikarenakan angka pada tahun 2021, justru mengalami peningkatan menjadi 18 persen dibandingkan tahun 2020 yang angkanya mencapai 13,4 persen.

Belum tercapainya target tersebut disebabkan adanya situasi pandemi akibat COVID-19 yang menyebabkan banyak keluarga takut untuk mengunjungi fasilitas kesehatan terdekat karena takut untuk melakukan interaksi secara langsung dengan orang lain.

Baca juga: BKKBN tandatangani Perjanjian Kinerja Tahun Anggaran 2022

Akibatnya, pemakaian program Keluarga Berkualitas (KB) yang sedang digencarkan oleh pihaknya tidak dapat berjalan dengan maksimal sesuai dengan yang diharapkan.

Menurut Tavip, selain kedua hal tersebut, indeks pembangunan keluarga (Ibangga) dan median usia perkawinan pada anak (MUKP) juga belum mencapai target yang sudah ditentukan. Pada Ibangga, indeks menyentuh angka 54,01 persen.

Padahal, target yang ditentukan pada tahun 2021 sebesar 55 persen. Walaupun demikian, angka tersebut masih menunjukkan adanya perkembangan dibandingkan tahun 2020 yang menyentuh angka 53,93 persen.

“Jadi situasi pandemi mempengaruhi. Khususnya bagi keluarga yang sangat rentan pada keluarga ekonomi menengah ke bawah,” ucap dia.

Kemudian pada median usia perkawinan pertama, pemerintah menargetkan perkawinan terjadi setidaknya pada usia 22 tahun. Namun, data menunjukkan bahwa perkawinan pertama banyak terjadi pada usia 20,7 tahun.

Meskipun sejumlah target belum terpenuhi, dia menegaskan bahwa Angka Kelahiran Total (TFR) tahun 2021, sudah mencapai target yang diharapkan yakni pada 2,24. Artinya, angka itu semakin dekat dengan target yang ditetapkan pada 2024 yaitu 2,1.

Sama halnya dengan angka kelahiran pada remaja usia 15-19 tahun (ASFR). Dalam hal ini pemerintah menargetkan pada angka 8,3 persen, tetapi berdasarkan data yang dia miliki angka tersebut telah melampaui harapan karena menyentuh angka 18 persen.

"Untuk daerah dengan persentase perkawinan anak di bawah usia 18 tahun, yang menjadi penyumbang tertinggi adalah Sulawesi Barat 19,4 persen, Kalimantan Tengah 19,1 persen dan Sulawesi Tenggara 19 persen berdasarkan Susenas 2018," kata dia.

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2021