Jakarta (ANTARA) - Pengadilan Distrik Barat Seoul telah memutuskan bahwa drama "Snowdrop" JTBC tetap dapat ditayangkan.

Sejak pemutaran perdana awal bulan ini, drama baru JTBC "Snowdrop" telah terjebak dalam tuduhan distorsi sejarah yang bermasalah, dengan lebih dari 300.000 warga menandatangani petisi National Blue House yang meminta agar drama tersebut dihentikan penayangannya.

Di tengah kontroversi yang sedang berlangsung, sebuah kelompok sipil bernama Deklarasi Warga Global di Korea juga mengajukan perintah kepada JTBC pada 22 Desember untuk menghentikan penayangan drama tersebut.

Baca juga: Drama "Snowdrop" tayang mulai 18 Desember

Sementara Rumah Biru belum menanggapi petisi nasional (yang harus dilakukan setelah petisi melampaui minimal 200.000 tanda tangan), Pengadilan Distrik Barat Seoul menolak permintaan Deklarasi Warga Global di Korea untuk perintah pada 29 Desember.

"Bahkan jika 'Snowdrop' didasarkan pada distorsi sejarah, kemungkinan publik akan menerima (fakta) secara mentah-mentah sangat rendah," ujar Pengadilan Distrik Barat Seoul dilansir Soompi, Kamis.

Pihak pengadilan juga menyatakan bahwa saat ini tidak ada undang-undang yang melindungi gerakan pro-demokrasi dari distorsi sejarah.

"Kecuali jika konten drama secara langsung melibatkan kelompok sipil, itu sulit untuk membantahnya bahwa ada hak suatu kelompok yang dilanggar," kata pengadilan.

JTBC sendiri terus berargumen bahwa tuduhan distorsi sejarah adalah kesalahpahaman yang akan diluruskan di episode mendatang, dan minggu lalu, jaringan tersebut memilih untuk mengubah jadwal siarannya untuk menayangkan tiga episode "Snowdrop" berturut-turut dalam upaya untuk membuktikan hal tersebut.

Akan tetapi, publik masih menunggu tanggapan Rumah Biru atas petisi nasional terkait drama tersebut.

Baca juga: Petisi tuntut jaringan JTBC diluncurkan terkait penyiaran "Snowdrop"

Baca juga: Luruskan miskonsepsi, JTBC tayangkan tiga episode "Snowdrop" pekan ini

Baca juga: JTBC angkat suara soal kontroversi distorsi sejarah dalam "Snowdrop"

Penerjemah: Maria Cicilia
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021