Masih banyak masyarakat yang belum menyadari bahwa hutan adalah penyangga kehidupan jangka panjang, bahkan pemanasan global semakin mencemaskan...
Jember (ANTARA News) - Kerusakan hutan di Indonesia sudah semakin parah, bahkan data laju kerusakan hutan (deforestasi) periode 2003-2006 yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan mencapai seluas 1,17 juta hektare per tahun.

Data Departemen Kehutanan tahun 2006 juga mencatat luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta ha dari 120,35 juta ha kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta ha per tahun.

Luas hutan di Indonesia menyusut setiap tahun karena maraknya pembalakan liar, kebakaran hutan, perambahan hutan dan pengalihan fungsi hutan lindung menjadi hutan produksi, sehingga Kementrian Kehutanan mencatat kerusakan hutan hingga 2009 mencapai lebih dari 1,08 juta ha per tahun.

Aksi pembalakan liar dan perambahan hutan juga terjadi di sejumlah kawasan Taman Nasional seperti Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) yang berada di selatan Pulau Jawa, secara administrasi pemerintahan TNMB terletak di Kabupaten Jember dan Banyuwangi, Jawa Timur.

Kepala Balai TNMB Bambang Darmadja tidak mengelak bahwa pembalakan liar dan perambahan hutan masih marak di kawasan TNMB.

"Memang masih terjadi pembalakan liar di kawasan hutan konservasi, namun petugas sudah mengoptimalkan patroli rutin di kawasan yang rawan pencurian kayu rimba itu," tuturnya.

Luas kawasan TNMB mencapai 58 ribu ha, dengan rincian berbagai zona yang meliputi zona inti seluas 27.915 ha, zona rimba seluas 22.622 ha, zona pemanfaatan intensif seluas 1.285 ha, zona rehabilitasi seluas 4.023 ha, dan zona pemanfaatan khusus seluas 2.155 ha.

"Zona inti merupakan kawasan yang mutlak dilindungi dan tidak boleh ada aktivitas manusia yang mengubah kawasan itu, kecuali yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan penelitian," tuturnya, menjelaskan.

Topografi Taman Nasional Meru Betiri umumnya berbukit-bukit dengan kisaran elevasi mulai dari tepi laut hingga ketinggian 1.223 meter dari permukaan laut (mdpl) di puncak Gunung Betiri.

Menurut Bambang keterbatasan jumlah personel polisi hutan menjadi salah satu kendala bagi TNMB untuk menekan kasus pembalakan liar dan perambahan hutan di kawasan hutan konservasi tersebut.

"Dengan jumlah polhut yang terbatas dan topografi kawasan hutan seluas 58 ribu ha yang sangat ekstrim, petugas kesulitan untuk memantau pelaku ilegal logging," ucap mantan Kepala Balai Taman Nasional Bali Barat itu.

Permintaan tambahan personel ke Kementerian Kehutanan, lanjut dia, tentu harus melalui prosedur birokrasi yang cukup panjang karena tiap tahun penambahan karyawan hanya berkisar 2-3 orang saja.

"Kami meningkatkan patroli secara rutin untuk memantau daerah yang rawan pembalakan liar, tentu dengan bantuan aparat kepolisian di masing-masing daerah," jelasnya.

Selain itu, lanjut dia, kawasan TNMB merupakan salah satu kawasan percontohan untuk proyek "Reduction Emission Deforestation and Degradation" (REDD) untuk mengurangi pemanasan global dan mencegah kerusakan hutan.

"Hasil proyek REDD itu diharapkan dapat mengurangi pembalakan liar dan perambahan hutan yang terkadang dilakukan oleh masyarakat di pinggiran hutan," paparnya, menjelaskan.

Ia berharap REDD itu dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Taman Nasional karena proyek tersebut merupakan pengembangan alternatif sumber pendapatan kesejahteraan masyarakat di dalam kawasan hutan TNMB.

"Ke depan, kawasan Taman Nasional Meru Betiri akan menjadi aset penting perdagangan karbon dunia untuk mengantisipasi pemanasan global," ujarnya, menambahkan.

Sementara Kepala Polhut TNMB Musafa mengatakan kasus pembalakan liar selama 2010 tercatat sebanyak 43 kasus, namun sebagian besar pelaku "ilegal logging" tidak tertangkap.

"Dari 43 kasus pembalakan liar, hanya enam kasus yang ditindaklanjuti untuk diproses hukum, sedangkan sisanya hanya temuan kayu hasil pembalakan liar di kawasan hutan TNMB," tuturnya.

Selama Januari-Mei 2011 tercatat sebanyak 20 kasus pembalakan liar yang terjadi di kawasan TNMB yang berada di Kabupaten Jember dan Banyuwangi.

"Akhir Mei lalu, kami berhasil menangkap pelaku pembalakan liar yang bernama Ponari (30) dan penadahnya Suparno (52), kedunya warga Desa Sanenrejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember," katanya, menambahkan.

Barang bukti yang diamankan yakni belasan batang kayu jenis rawu dan bendo yang diduga kuat berasal dari kawasan Taman Nasional Meru Betiri karena kedua jenis kayu itu endemik di sana.

Ia mengemukakan penebangan kayu secara ilegal terbanyak berada di kawasan Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II Ambulu yang luasnya mencapai 28.370 hektare (ha).

"Kawasan SPTN Wilayah II meliputi Desa Sanenrejo, Andongrejo, Wonoasri dan Bandealit. Jumlah petugas yang memantau wilayah itu sangat terbatas, sehingga pembalakan liar masih marak di sana," paparnya.

Musafa mengakui bahwa jumlah personel polhut sebanyak 33 orang belum bisa maksimal untuk mengawasi kawasan TNMB seluas 58 ribu ha, sehingga pembalakan liar masih menjadi ancaman bagi kawasan TNMB.

"Pembalakan liar secara terus menerus dapat mengancam kelestarian fauna dan flora endemik di kawasan Meru Betiri," katanya, menambahkan.



Pemberdayaan Masyarakat Hutan



Selain pembalakan liar, keberadaan pemukiman di kawasan Taman Nasional juga menjadi salah satu faktor ancaman kerusakan lingkungan di kawasan hutan.

Dosen ahli bilogi Universitas Jember Dra Hari Sulistiyowati MSc, mengatakan faktor penyebab kerusakan hutan sangat kompleks, sehingga perlu keseriusan semua pihak untuk menjaga kelestarian ekosistem.

"Warga yang bermukim di kawasan Taman Nasional tentu akan memanfaatkan hasil hutan untuk kelangsungan hidupnya dan tidak menutup kemungkinan mereka akan melakukan perambahan hutan," tuturnya.

Di kawasan Meru Betiri, lanjut dia, sejumlah program demplot tumbuhan obat dilakukan pihak TNMB bekerja sama dengan masyarakat, sehingga diharapkan warga di kawasan hutan tidak melakukan pembalakan liar dan perambahan hutan.

Menurut peneliti dari Fakultas MIPA Unej itu, faktor penyebab kerusakan lingkungan kawasan Meru Betiri berbeda dengan kawasan Taman Nasional Baluran atau Taman Nasional Alas Purwo.

"Masing-masing Taman Nasional memiliki karakter yang berbeda, sehingga penyebab kerusakan juga beragam dan bervariasi. Namun semua Taman Nasional mengalami kerusakan lingkungan akibat ulah manusia," paparnya.

Keberadaan pemukiman di kawasan Taman Nasional, lanjut dia, dapat menjadi ancaman kelangsungan sebuah kawasan konservasi, apabila pihak pengelola tidak memberdayakan masyarakat di kawasan hutan secara tepat dan optimal.

"Sejauh ini pemberdayaan masyarakat hutan belum optimal dan hanya orang-orang yang tertentu yang peduli terhadap mereka, sehingga perambahan hutan dan pembalakan liar masih marak," katanya, menjelaskan.

Dosen ekologi Jurusan Biologi Fakultas MIPA Unej itu menilai kebijakan pemerintah seperti gerakan rehabilitasi lahan belum optimal dijalankan sesuai dengan harapan.

"Saya pernah menjumpai gerakan rehabilitasi lahan dilakukan di kawasan Taman Nasional yang tidak rusak seperti yang dilakukan di savana, sehingga menganggu tumbuhan endemik di sana," katanya.

Hari menilai kesadaran masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan sangat rendah karena tuntutan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup cukup tinggi.

"Masih banyak masyarakat yang belum menyadari bahwa hutan adalah penyangga kehidupan jangka panjang, bahkan pemanasan global semakin mencemaskan," ucap perempuan berjilbab itu.

Pengajar konservasi sumber daya alam (SDA) itu menjelaskan reboisasi atau penghijauan kembali yang dilakukan di zona rehabilitasi Meru Betiru tidak sepenuhnya berhasil karena faktor alam dan manusia.

Data di TNMB mencatat keberhasilan reboisasi yang terdiri dari gerakan rehabilitasi dan pengayaan di sejumlah Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) berkisar 30 hingga 68 persen saja.

"Laju kerusakan lingkungan tidak sebanding dengan upaya rehabilitasi yang dilakukan semua pihak karena laju kerusakan hutan sangat cepat, sedangkan reboisasi berjalan lambat," ucap peneliti tumbuhan obat TNMB itu.

Ia menegaskan kerusakan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama, apabila hal tersebut tidak mendapat perhatian semua pihak maka bencana ada di depan mata.



Kerusakan Meningkat



Aktivis Komunitas Pecinta Alam Pemerhati Lingkungan (Kappala) Jember Wahyu Giri Prasetyo mengatakan kerusakan lingkungan di Indonesia semakin meningkat dengan sejumlah bukti fenomena alam.

"Saat ini banyak air sungai yang sering meluap, cuaca yang tidak menentu dan banjir yang disertai longsor melanda di sejumlah daerah merupakan salah satu bukti kerusakan lingkungan," tutur pria yang akrab disapa Giri itu.

Menurut dia, banyak tantangan yang harus dihadapi pengelola Taman Nasional untuk menjaga hutan konservasi seiring dengan meningkatnya tuntutan kebutuhan ekonomi warga di sekitar hutan.

"Sebenarnya memanfaatkan hutan tidak hanya dengan melakukan pembalakan liar atau memburu satwa langka, namun pihak pengelola harus kreatif memberdayakan masyarakat sekitar hutan dengan sesuatu yang menghasilkan nilai ekonomis tinggi tanpa merusak hutan," papar kader konservasi hutan itu.

Memang perlu untuk mengoptimalkan desa di sekitar hutan sebagai desa penyangga hutan, sehingga kerusakan tidak terjadi pada zona inti dan zona rimba.

Apabila kerusakan sudah merambah ke zona inti dan zona rimba, maka populasi satwa langka juga terancam karena habitatnya terganggu, bahkan tidak menutup kemungkinan sejumlah satwa akan turun untuk mencari makanan ke pemukiman penduduk.

"Harapan pemerintah untuk menjadikan hutan sebagai penyangga kehidupan harus diikuti dengan kebijakan strategis dan sanksi yang tegas kepada pelaku pembalakan liar," ucap Giri tegas.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan mengenai perubahan iklim di KTT G20 di Pittsburgh tahun 2010 menyatakan secara sukarela Indonesia menetapkan target penurunan emisi karbon sebesar 26 persen pada 2020.

"Pernyataan Presiden SBY harus didukung semua pihak dengan kebijakan konkret dan tegas, bahkan penegakan hukum kasus pembalakan liar dan perambahan hutan tidak boleh tebang pilih," katanya.

Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada 5 Juni menjadi momentum untuk merangsang kesadaran publik akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup.

(ANTARA)

Pewarta: Zumrotun Solicha dan Chandra H
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011