Bahwa keterbatasan fisik merupakan cara mendobrak kenormalan sekaligus memperkaya persepsi berpikir dan bekerja.
Jakarta (ANTARA) - Kita tiba di penghujung tahun 2021. Panta rhei kai uden menei, semua mengalir tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap.

Pada tahun 2021 kita alami ragam pengalaman. Ada yang tersimpan sebagai penyemangat, ada pula yang jadi pembelajaran. Akhir tahun menjadi momen untuk merefleksi diri, sebagai individu dan bangsa Indonesia. Menjadi pribadi maupun bangsa yang terus membarui diri, sikap ugahari (sederhana) menjadi titik berangkat.

Keugaharian menjadi prasyarat mengetahui diri sendiri, mampu memeriksa diri terkait dengan apa yang diketahui dan yang tidak diketahui. Mampu menyelami diri untuk berbenah, memperbaiki kekurangan, menata potensi diri, untuk menatap kenyataan hidup.

Pandemik memberi pelajaran berharga. Bahwa kebersamaan dan persatuan kesatuan patut diandalkan dalam menghadapi tantangan bangsa. Tak dapat ditolak, sejumlah pekerjaan rumah tersisa lintas sektor yang mendesak untuk segera dituntaskan.

Pada 2021 adalah tahun kedua pandemik. Meski secara umum manusia sudah lebih siap daripada tahun sebelumnya, kematian dan pertumbuhan jumlah kasus belum bisa ditanggulangi. Secara agregat, jumlah kematian pada tahun 2020 mencapai 1,9 juta orang di seluruh dunia, sedangkan pada tahun 2021 jumlahnya mencapai 3,5 juta orang.

Salah satu sebab meningkatnya angka kematian sepanjang 2021 adalah karena terjadinya gelombang kedua pada bulan Juni—Juli, kemudian munculnya beberapa varian virus baru. Pandemi belum berlalu, bahaya belum usai. Pola hidup manusia belum banyak berubah dengan tuntutan adaptasi pada kenormalan baru.

Ungkapan terima kasih berlimpah kepada paramedis sebagai garda depan yang tak lelah memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat terdampak. Terus mengingatkan agar menaati protokol kesehatan sehingga masyarakat tergerak untuk tetap saling menjaga.

Vaksinasi berhasil mengatasi lonjakan kasus dan menekan angka kematian. Namun, kekhawatiran akan munculnya varian-varian baru bakal menjadi beban tambahan yang harus diantisipasi. Tidak semua negara mampu melaksanakan program vaksinasi. Indonesia baru mampu menyuntikkan vaksin sebesar 53 persen kepada warganya. Selama mayoritas masyarakat belum divaksin, selama itu pula kita hidup dalam kekhawatiran.

Memang, pandemi Covid-19 telah memporak-porandakan perekonomian bangsa. Dampaknya tak terkira, pengangguran dan kemiskinan meningkat. Selain itu, defisit neraca perdagangan, defisit transaksi berjalan dan defisit neraca pembayaran berdampak pada meningkatnya utang pemerintah.

Pengalaman kejatuhan Orba dimulai dari krisis ekonomi yang merambat ke mana-mana. Pada tahun mendatang akan menjadi ujian berat tetapi perlu optimistis menyaksikan pemerintah mengambil kebijakan, baik penanggulangan penyebaran wabah, vaksinasi, maupun stimulus pemulihan ekonomi menjadi segumpal harap di tengah krisis.

Apresiasi kepada pemerintah yang terus berupaya mengendalikan pergerakan masyarakat. Melalui ragam kebijakan pengendalian senantiasa mengupayakan yang terbaik. Memaksimalkan pelayanan kesehatan, memperbaiki tata kelola dan sistem pelayanan kesehatan mesti menjadi perhatian menyongsong pergantian tahun.

Kita tentu tak ingin berkutat pada persoalan yang sama di setiap pergantian waktu. Partisipasi dan kerja sama masyarakat diharapkan untuk cegah penyebaran wabah sekaligus bergotong royong mempertahankan kehidupan. Mempertahankan kehidupan berarti melakukan yang terbaik untuk hidup yang lebih damai. Hidup yang menyenangkan, penuh dengan rasa hormat pada integritas dan martabat manusia.

Pada kenyataannya, masih terjadi ragam kekerasan karena perbedaan ideologi atau konflik sosial, konflik kepentingan dengan titik akhir marginalisasi. Di titik ini kebijakan inklusif adalah jawaban untuk mengakomodasi seluruh anak bangsa tanpa membedakan atas dasar kemampuan atau gender.

Para sahabat difabel sering dilihat sebagai kelompok berkebutuhan khusus sejatinya ketika persepsi diletakkan pada kemampuan berkontribusi, para sahabat difabel memiliki kemampuan yang dapat dioptimalkan untuk menyelesaikan ragam persoalan sosial. Bahwa keterbatasan fisik merupakan cara mendobrak kenormalan sekaligus memperkaya persepsi berpikir dan bekerja.

Baca juga: Menko PMK sebut UU TPKS dibutuhkan secara mendesak

Baca juga: Ketua DPR: RUU TPKS jadi pelindung hak perempuan


Korban Kekerasan Seksual

Masih lekat dalam ingatan korban kekerasan seksual di beberapa daerah yang berujung pada keputusan bunuh diri karena depresi. Masih terjadi ragam kasus kekerasan seksual yang tak pernah selesai diproses.

Perkosaan merupakan bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan yang paling banyak terjadi di Indonesia sepanjang 2016—2020, yakni 7.338 kasus atau 29,61 persen dari total kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Bentuk kekerasan seksual paling banyak berikutnya adalah pencabulan, yakni 6.186 kasus (24,96 persen) dan inses sebanyak 3.318 kasus (13,39 persen).

Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) per November 2021, kekerasan terhadap anak pada tahun 2019 terjadi sebanyak 11.057 kasus, 11.279 kasus pada tahun 2020, dan 12.566 kasus. Kekerasan yang dialami perempuan juga mengalami penaikan.

Manusia sejagat tiba di ujung tahun, nasib RUU TPKS tak jelas ujungnya. Membiarkan RUU TPKS tak diakomodasi pimpinan DPR RI adalah sinyal butanya nurani. Prinsip moral tidak bertaring atas kejahatan dan kebaikan jadi kabur. Martabat kaum perempuan dilecehkan. Mengapa RUU TPKS harus secepatnya disahkan menjadi sebuah produk undang-undang? Ini adalah desakan moralitas dan infrastruktur untuk perlindungan menyeluruh.

Kekerasan seksual terhadap anak-anak dan perempuan adalah penyerangan terhadap martabat kemanusiaan. Maka, kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan yang dikutuk oleh prinsip moral agama, kepercayaan, dan ideologi mana pun. Ini alasan mendasar di balik Deklarasi Universal HAM pada tahun 1948, Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 aline ke-4 dan batang tubuh, dam UU Nomor 39 Tahun 1999.

Di dalam kondisi subordinasi, represi, dan dominasi sistematis seperti ini, kebisuan, depresi, dan/atau air mata korban adalah bukti paling kuat. Membisu adalah berkata-kata tanpa kata. Air mata adalah protes tanpa pemaksaan. Wajah depresi adalah kejujuran paling telanjang.

Namun, sayangnya pimpinan DPR RI belum sampai pada tahap kontemplasi atas realitas. Mengesahkan RUU TPKS adalah tindakan memihak korban, mewujudkan keadilan dan kebenaran. Fraksi-fraksi partai di DPR RI boleh berbeda kepentingan politik pragmatis. Akan tetapi, harus bertumpu di atas prinsip moral yang sama untuk mengesahkan RUU TPKS.

Tertundanya pengesahan RUU TPKS adalah lubang kekurangan yang dibiarkan mengaga, menodai kinerja parlemen sejak digagasnya RUU ini. Kenyataan ini menuntut kita segera dan harus merealisasikan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

RUU TPKS dan RUU PPRT bermuara pada sebuah masalah sosial yang terus digaungkan setiap tahun. Kesetaraan gender. Mungkin saja para pembahas undang-undang melihat kedua draf undang-undang sangat bernada perempuan. Melupakan keadaan hakiki perempuan dan laki-laki adalah setara. Melupakan bahwa urusan tenaga kerja domestik bukan melulu persoalan perempuan.

Paradigma berpikir bias mestinya tak mendapat tempat dalam dinamika pengambilan kebijakan apalagi yang berkaitan dengan tujuan bernegara dan menjawab aspirasi publik.

Di tengah jerit kelompok yang tak henti mencari keadilan, sebagian dari kita justru berteriak untuk amendemen konstitusi yang nyatanya bukan representasi suara publik. Hak asasi manusia (HAM) terabaikan karena kepentingan politik, misalnya hak-hak masyarakat adat yang sampai hari ini belum juga diakomodasi dalam sebuah payung hukum perlindungan melalui RUU Masyarakat Hukum Adat.

Terorisme masih dibiarkan langgeng, menciptakan masalah di tengah kerukunan masyarakat yang makin menguat. Pada saat yang sama tuntutan menanamkan nilai-nilai kebangsaan terus menggema, merangkul seluruh anak bangsa tanpa kecuali sesuai dengan nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Upaya menanamkan nilai luhur kebangsaan ditempuh melalui pembelajaran sejak dini. Bahwa generasi milenial dan generasi Z adalah aset masa depan bangsa, generasi penerus yang kelak menjadi pemimpin patut dibekali dengan pendidikan yang memadai menyambut Indonesia Emas. Dampak pandemi pada dunia pendidikan menyisakan celah yang perlu dibenahi, learning loss.

Kegiatan pendidikan masih dilakukan secara daring meski sejak November terdapat beberapa daerah yang sudah menerapkan pembelajaran tatap muka (PTM). Pembelajaran daring tak serta memenuhi kebutuhan belajar para naradidik sehingga diperlukan pembehanan dengan menyiapkan kurikulum adaptif, peningkatan kompetensi guru, dan perbaikan infrastruktur jaringan internet.

Baca juga: BKKBN: Angka prevalensi stunting jadi 24,4 persen pada akhir tahun

Baca juga: Tim UGM kembangkan alat deteksi dini stunting


Masalah Stunting

Selanjutnya masalah stunting masih menjadi tugas berat yang patut diselesaikan. Pada tahun 2019 persentase angka stunting nasional berada pada 27,67 persen. Jumlah yang masih jauh dari standar WHO, di bawah 20 persen. Covid-19 makin menambah persentase di atas. Masalah stunting tidak hanya menyerang fisik, tetapi membahayakan kemampuan otak anak-anak dan kaum remaja. Kemampuan konsentrasi terganggu, memori melemah.

Dengan demikian, jika masa depan Indonesia ada di tangan generasi muda, stunting sebenarnya tengah mengancam masa depan bangsa. Membiarkan stunting merusak anak-anak dan kaum remaja sama dengan membiarkan bangsa ini berjalan mundur.

Maka, mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan amanah konstitusi harus dimulai dengan memberantas stunting. Anak-anak dan kaum remaja bebas stunting, Indonesia sehat dan tumbuh. Melirik angka persentase stunting yang masih tinggi, pemerintah dan seluruh elemen bangsa harus berkewajiban untuk memberantas bahaya stunting di tahun 2022.

Pandemi juga berimbas pada kehidupan politik. Berbagai studi tentang demokrasi dan kebebasan melaporkan berlanjutnya tren penurunan demokrasi di banyak negara. Indonesia tak terkecuali. Skor demokrasi kita terus turun sejak 5 tahun terakhir dan terus mengalami peredupan selama pandemi. Diperlukan penguatan demokrasi dari prosedural ke substansial. Menurut laporan the Economist Intelligent Unit (EIU), secara umum demokrasi Indonesia di atas rata-rata skor dunia. Akan tetapi, skor penurunannya dalam 5 tahun terakhir termasuk yang terbesar.

Faktor utama penurunan itu bukanlah pandemik, melainkan aturan-aturan yang membatasi kebebasan warga, seperti UU ITE. Selama pandemik, kasus-kasus penangkapan terhadap pengguna internet meningkat. Angka ini seiring dengan peningkatan jumlah pengguna internet dan interaksi orang secara online yang sangat intens selama pandemi. Sebagian besar kasus terjadi terkait dengan penggunaan media sosial, baik akibat ujaran kebencian, penyebaran hoaks, maupun pencemaran nama baik.

Di lain pihak, orkestrasi politik legislasi nasional (prolegnas) pada tahun 2021 sangat buram sebagaimana diketahui hanya mengesahkan delapan rancangan undang-undang (RUU) dari 37 yang ditetapkan dalam prolegnas. Delapan RUU tersebut di antaranya revisi UU Kejaksaaan, revisi Undang-Undang Jalan, revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, RUU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, serta tiga RUU mengenai pembentukan pengadilan di beberapa daerah.

Prolegnas bukan hanya sebatas deretan daftar RUU yang akan dibahas dalam 1 tahun sehingga hanya terkesan dalam rangka memenuhi target dalam bentuk wishlist. Seharusnya penetapan prolegnas sebagai prioritas didasarkan pada tujuan bernegara yang secara filosofis sesungguhnya telah tegas dinyatakan dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, prolegnas bukan hanya keranjang sampah yang kemudian dipungut dengan dasar kesukaan lembaga pembentuk UU.

Miris jika memperhatikan prolegnas 2021 karena, pertama, banyak RUU yang memiliki relasi kuat (close engagement) dengan tercerabutnya pemenuhan hak konstitusional rakyat justru tidak ditetapkan sebagai UU. Misalnya, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan RUU Masyarakat Hukum Adat. Bahkan, RUU tersebut tidak dapat ditetapkan hanya terkait dengan persoalan-persoalan teknis harmonisasi kemudian menjadi terabaikan.

Kedua, tidak ada penentuan skala prioritas dalam setiap daftar prolegnas sehingga semakin melemahnya semangat kebangsaan yang diamanatkan dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945.

Sebaiknya pemerintah segera membentuk pusat/badan regulasi nasional, yang berada langsung di bawah Presiden agar dalam segi formal peraturan perundang-undangan tidak berakibat disharmoni dan tertata dengan baik serta lebih efektif dan efisien sehingga tidak menimbulkan preseden buruk seperti UU Cipta Kerja.

Baca juga: Gubernur BI: Pertumbuhan ekonomi nasional mengandalkan Jakarta

Baca juga: BI: Pemulihan ekonomi RI perlu dukungan sektor keuangan yang solid


Alami Rebound

Pada saat bersamaan sebagian bisnis dan usaha masih menerapkan aturan work from home (WFH). Beberapa sektor usaha tak mampu lagi meneruskan bisnisnya, dan tutup di tengah jalan. Meski secara makro, ekonomi Indonesia mengalami rebound, angka pengangguran dan kemiskinan melonjak naik. Upaya untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional harus konsisten dilakukan setelah penyebaran Covid-19 relatif bisa dikendalikan.

Upaya adaptasi di beberapa industri yang berdampak pada pengurangan tenaga kerja, harus segera dicarikan solusinya. Selain itu, penguatan di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) penting dilakukan dalam rangka menghidupkan kembali ekonomi masyarakat yang terimbas pandemi.

Indonesia memiliki UMKM yang keberadaannya sangat penting bagi perkembangan perekonomian Indonesia pada tahun 2022. UMKM menyumbang 60 persen Produk Domestik Bruto Indonesia (Government Support Encourages MSMEs and Creative Economy to Upgrade, 2021).

Jumlah UMKM di Indonesia pada tahun 2021 sekitar 62 juta, yang berarti satu dari lima penduduk di Indonesia memiliki UMKM. Sebagian besar dari UMKM di Indonesia adalah usaha mikro jumlahnya adalah sekitar 61 juta, atau sekitar 98,75 persen (Indonesia’s SMEs are key to development. How can they grow? | World Economic Forum, 2021).

Pada tahun 2021 untuk menghadapi tekanan akibat pandemi pemerintah telah mengucurkan Rp162,4 triliun untuk membantu UMKM (Indonesia in Full Swing to Strengthen its Economic Backbone, 2021). Banyak dari UMKM tidak memiliki rencana pertumbuhan strategis.

Dalam 2 tahun terakhir fokus pengembangan UMKM terletak pada transformasi digital UMKM. Namun, ternyata terdapat masalah yang lebih besar seperti bagaimana meningkatkan kapasitas manajerial dan operasional untuk tumbuh dan berkembang. Integrasi transformasi digital, peningkatan kapasitas manajerial dan kapasitas operasional akan memberikan manfaat yang jauh lebih besar pada pengembangan UMKM.

Sebagian besar UMKM tidak memiliki pengetahuan tentang tahapan pertumbuhan dari suatu bisnis, yaitu pertama adalah pendatang baru, kemudian artisan, lalu terdapat usaha sedang bertumbuh (emerging), berikutnya yang menantang dan terakhir adalah mainstream.

Menurut riset yang dilakukan oleh World Economic Forum dan didukung oleh Evermos dan Shopee (2021) ternyata tiga tahapan pertama, yaitu pendatang baru, artisan, dan bisnis yang sedang bertumbuh adalah tahapan yang paling penting untuk menjadi perhatian pengembangan UMKM di Indonesia karena jumlahnya adalah 99,805 persen dari semua bisnis di Indonesia.

Para pebisnis di tahapan ini kekurangan pendekatan strategis untuk mengembangkan usahanya. UMKM di Indonesia 99 persen adalah pada tahapan pendatang baru. Sering kali usaha mereka terhenti karena tidak mengetahui bagaimana mengidentifikasi target pasar yang benar.

Selain itu, mereka tidak mengetahui produk dan jasa yang dibutuhkan oleh pasar, lalu bagaimana memenuhi permintaan tersebut dan memperoleh laba pada akhirnya. (Indonesia’s SMEs are key to development. How can they grow? | World Economic Forum, 2021)

Tahap artisan berjumlah 0,5 persen. Pada tahapan ini suatu bisnis telah menemukan kecocokan antara produk dan pasar. Namun, kesulitan untuk membesarkan skala usaha mereka. Pengembangan skala diperlukan untuk sistem, sumber daya, dan proses. Di dua kategori ini transformasi digital tidak memberikan manfaat yang besar.

Tahapan ini para pendiri bisnis memerlukan latihan dasar bagaimana menciptakan suatu nilai, bagaimana membangun suatu sistem, bagaimana membuat preposisi nilai pelanggan, bagaimana membangun sebuah tim. Sementara itu, bisnis yang sedang tumbuh berjumlah 0,35%.

Pada tahapan ini pemilik bisnis telah mengerti bagaimana mencapai pertumbuhan yang mereka rencanakan, bahkan mereka telah mendapatkan validasi dari industri. Banyak bisnis di tahapan ini stagnan karena mereka sering kali berkesimpulan bahwa pasar sudah jenuh dan berusaha mencari bisnis lain sehingga banyak yang kehilangan fokus.

Kesimpulannya bahwa digital transformasi harus disertai dengan upaya-upaya peningkatan kapasitas manajerial, sumber daya, dan operasional agar manfaatnya dapat dirasakan oleh sebagian besar UMKM di Indonesia. Memang, ekonomi dan dunia usaha sangat bergantung kepada interaksi manusia. Sebagian besarnya memerlukan pertemuan langsung.

Oleh karena itu, tempat-tempat usaha dan sentra bisnis tak akan beroperasi secara leluasa jika angka vaksinasi belum mencapai target dan kekhawatiran terhadap penyebaran virus masih terus berlanjut. Dalam dilema ini, kesehatan tetap menjadi prioritas dan menjadi kunci bagi berlangsung dan pulihnya geliat ekonomi.

Baca juga: Kerangka hukum Pemilu 2024 tak jauh beda dengan aturan Pemilu 2019

Baca juga: Titi Anggraini: "Candidacy buying" berpotensi terjadi pada Pemilu 2024


Konstelasi Politik 2024

Belum juga tahun berganti dengan setumpuk pekerjaan rumah, sebagian politikus ramai memantik isu terkait dengan konstelasi politik tahun 2024. Siklus yang menyebabkan masyarakat apatis terhadap politik yang ujungnya tak lain adalah ketidakpercayaan publik yang makin merosot.

Kala politik tak lagi etis, yang terjadi adalah katastrofe moral. Sebuah kegagalan manusia global. Surya Paloh tak henti mengingatkan kadernya, kerja politik tak boleh meniadakan kemanusiaan.

Bagi penulis, terdapat dua tesis dalam politik yang tegas dijalani, be mindful politician dan become compassionate. Menjadi politikus tidak cukup mengisi ruang partisipasi, tetapi menggunakan nalar, rasa, dan sadar untuk mengakomodasi aspirasi, hadir bersama masyarakat, mengedepankan politik yang berbelarasa.

Mengutip catatan United Nations (UN), setiap negara berhadapan ragam isu sosial dan politik di tengah upaya melawan wabah. Salah satu ketidakadilan global tampak dalam perbedaan harga yang harus dibayar di sebagian besar negara mau tidak mau turut membedakan langkah menuju pemulihan. Belum hadir dengan bermacam varian juga beragam ancaman. WHO lantas meluncurkan COVAX sebagai upaya global untuk melawan penyebaran wabah.

Tugas selanjutnya adalah pemulihan di berbagai sektor dengan catatan pemulihan pendidikan dan kesehatan, khususnya kesehatan mental, karena Covid-19 bukan penyakit yang mudah dikalahkan dalam sekali tindakan. Tantangan terbesar bagi anak-anak. Mereka tak lagi memiliki ruang belajar dan bermain yang menyenangkan. Mereka "diharuskan" beradaptasi dengan ruang terbatas untuk bertumbuh. Kemampuan membaca, menulis, berhitung diuji melalui pembelajaran daring tanpa didampingi guru yang berkompeten, saat orang tua mengganti peran guru.

Hal yang tak dapat ditolak, jalan panjang upaya menanggulangi Covid-19, hampir pasti memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Belum lagi dalam pertemuan G20 lalu, isu utama yang dipersiapkan dan dilaporkan negara-negara maju masih seputar upaya mencegah laju penyebaran virus. Di titik ini, satu frasa sepakat yang dibutuhkan adalah merayakan harapan. Harapan untuk pulih. Tak perlu kembali ke keadaan semula, setidaknya setiap negara mampu menelisik diri, mengoptimalkan kemampuan untuk pulih, termasuk Indonesia.

*) Dr. Lestari Moerdijat, S.S., M.M, Wakil Ketua MPR RI

Copyright © ANTARA 2021