Realpolitik juga menjadi warna utama di balik politik vaksin COVID-19
Jakarta (ANTARA) - Dari pembukaan hubungan diplomatik antara empat negara Liga Arab dengan Israel, saling mendekatnya Taliban dan China, hingga berubahnya orientasi pemerintahan Joe Biden ke Indo-Pasifik, realpolitik menjadi warna dominan politik global dewasa ini, termasuk 2021.

Realpolitik adalah konsepsi politik yang dicetuskan politisi Jerman abad ke-19 bernama Ludwig von Rochau.

Konsepsi ini awalnya untuk politik domestik, namun berubah menjadi konsep yang dikenal baik dalam teori maupun praktik politik internasional.

Henry Kissinger, menteri luar negeri Amerika Serikat era 1970-an, mendefinisikan realpolitik sebagai "kebijakan luar negeri yang didasarkan kepada kalkulasi kekuatan dan kepentingan nasional."

Tetapi teorisi hubungan internasional terkenal, Kenneth Waltz menyebut realpolitik "metode dalam mana kebijakan luar negeri diterapkan sehingga semua hal menjadi terlihat rasional."

Sederhananya, realpolitik adalah tindakan politik yang lebih didasarkan kepada pertimbangan praktis ketimbang moral atau ideologi. Dalam kata lain, pragmatisme.

Waltz menyebut konsepsi ini sama tuanya dengan sejarah umat manusia dan terus terjadi.

Bahkan konsep yang paling bisa menjelaskan realitas politik dunia setelah Perang Dingin berakhir pada 1989 yang mengakhiri pertarungan ideologi sejak akhir Perang Dunia Kedua.

Yang terjadi kemudian adalah apa yang disebut dengan teorisi hubungan internasional terkenal, Samuel P. Huntington, sebagai "benturan peradaban" atau clash of civilization.

Namun belakangan bukan lagi budaya yang berbenturan, melainkan persaingan pada tingkat sangat dangkal, menyangkut kepentingan nasional atau bahkan status quo kekuasaan.

Pembukaan hubungan diplomatik antara empat negara Arab dengan Israel, mendekatnya Taliban dan China, dan orientasi Indo-Pasifik pemerintahan Joe Biden adalah contoh-contoh dorongan besar realpolitik dalam tata hubungan internasional dewasa ini.

Belum lagi nasionalisme vaksin COVID-19 yang semakin memperlihatkan egoisme negara-negara ketika justru para pemimpinnya aktif menyerukan kolaborasi.

Semua fenomena itu menjelaskan bahwa pertimbangan ideologis termasuk agama dan moral, pupus ketika sudah menyangkut kepentingan nasional. Dalam konteks ini tak ada yang bisa saling mendekatkan negara-negara, sekuat kalkulasi kepentingan nasional.


Baca juga: Prospek negara Palestina saat politisi ultrakanan Israel berkuasa
Baca juga: Menyelamatkan Afghanistan dari krisis kemanusiaan


Selanjutnya: Internasionalisme tak pernah berhasil

Copyright © ANTARA 2021