optimisme tinggi Shin bukan sekadar sesumbar, melainkan berdasarkan kalkulasi objektif selain juga karena menjadi rumus umum untuk sukses sepakbola
Jakarta (ANTARA) - Segera setelah gagal mengakhiri kutukan final Piala AFF karena kalah agregat 2-6 dari Thailand dalam final dua leg turnamen sepakbola Asia Tenggara ini, Sabtu malam, pelatih timnas Indonesia Shin Tae-yong langsung mengalihkan perhatian ke turnamen-turnamen lain.

"Saya akan menyiapkan road map timnas untuk tahun 2022," kata Shin dalam konferensi pers virtual setelah pertandingan final tersebut.

Shin, dan banyak kalangan di Indonesia termasuk Presiden Joko Widodo, menilai ada kemajuan besar dalam timnas, dan  statistik membenarkan anggapan ini.

Fakta Indonesia kembali masuk final turnamen ini setelah tak bisa melakukannya tiga tahun lalu dan setelah terseok-seok dalam kualifikasi Piala Dunia 2022 adalah bukti nyata mengenai adanya kemajuan besar tersebut.

Dalam laga leg kedua final Piala AFF itu, Indonesia tak bisa memasukkan Elkan Baggott, Victor Igbonefo, Rizky Ridho Ramadhani dan Rizky Dwi Febrianto ke dalam skuad karena dilarang otoritas Singapura yang menganggap mereka melanggar aturan gelembung COVID-19 di sana.

Tapi kehilangan empat pemain dan sudah tertinggal 0-4 tak membuat timnas patah semangat. Sebaliknya, mereka bermain lebih baik dan lebih percaya diri dibandingkan dengan leg pertama sampai dua gol pun bisa mereka ciptakan ke gawang tim yang hanya kebobolan satu gol selama fase grup ketika menghadapi Filipina.

Dalam daftar peringkat FIFA pun posisi Indonesia berubah membaik di mana sampai 23 Desember lalu ketika final Piala AFF belumlah digelar, peringkat Indonesia sudah naik ke posisi 164.

Memang masih di bawah Vietnam, Thailand, Filipina, Myanmar, Malaysia dan Singapura, tetapi grafik yang meningkat itu membesarkan hati masyarakat sepakbola Indonesia.

Sejak 2016 ,FIFA menggolongkan Piala AFF sebagai turnamen peringkat A sehingga hasil selama Piala AFF 2020 pun bisa mengerek peringkat, apalagi runner up seperti Indonesia atau Thailand yang menjuarai turnamen ini.

Wajar jika kemudian Shi Tae-yong optimistis bisa membentuk skuad lebih tangguh guna menghadapi turnamen-turnamen berikutnya, termasuk SEA Games 2021 di Vietnam nanti dan Piala Asia 2023.

"Pada kompetisi berikutnya, kami akan menjadi calon juara dan itu tentu memerlukan persiapan yang baik," kata Shin dalam jumpa pers virtual setelah final melawan Thailand itu.

Perhatikan kata "calon juara" dalam ucapan Shin itu. Jelas bukan asal sesumbar, melainkan ditarik dari kondisi tim sekarang, seperti dia pernah lakukan saat menangani tim lain sebelum ini, termasuk Korea Selatan pada putaran final 2018.

Di antara yang menguatkan optimisme Shin adalah usia rata-rata pemain Indonesia yang muda dan sebagian besar belum mencapai performa puncaknya sehingga memiliki waktu banyak untuk bertambah bagus dan padu.

Namun itu terjadi hanya jika mereka tetap bersatu dalam satu tim. Faktanya, kebersamaan yang begitu lama dalam satu tim, ditambah jam terbang yang terus ditambah, menjadi faktor terciptanya sukses sebuah tim di mana pun, tak cuma di Asia Tenggara.

Pemain-pemain Thailand sudah lama bermain dalam atmosfer sama selama bertahun-tahun, apalagi beberapa di antaranya dicomot dari klub yang sama yang menjuarai liga nasionalnya. Bermain bersama dalam waktu yang lama juga turut mendorong tim-tim seperti Italia, Prancis, Portugal, dan Argentina sukses belakangan ini.

Pengalaman Shin dalam menyulap Korea Selatan dari tim yang terancam tersingkir dari Piala Dunia menjadi tim yang mengejutkan dalam Piala Dunia 2018 di Rusia lalu, juga menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia.


Baca juga: Indonesia tatap turnamen selanjutnya, kata Shin
Baca juga: Presiden Jokowi bangga atas perjuangan Timnas Indonesia di Piala AFF
Baca juga: Pelatih Thailand: Timnas Indonesia berani dan bermasa depan cerah



Ajusshi

Bisa juga ditambah dengan melihat referensi lain, misalnya sukses Qatar saat menjuarai Piala Asia 2019.

Perjalanan Qatar sampai menjuarai Piala Asia 2019 diawali dari hengkangnya pelatih veteran Jorge Fossati yang lebih suka memilih pemain naturalisasi, padahal Qatar menginginkan sebanyak mungkin pemain muda yang dibina sejak tingkat junior.

Qatar lalu beralih kepada pelatih tim U-23 bernama Felix Sanchez yang bukan siapa-siapa, meskipun bukan tanpa catatan prestasi penting mengingat dia juga pernah mengantarkan Qatar menjuarai Piala AFC U-19 pada 2015.

Dalam perjalanannya, Sanchez akhirnya bisa mengubah Qatar menjadi tim yang disegani lawan. Dan modal terbesarnya adalah kohesi yang kuat dengan pemain yang terjadi karena dia sudah lama bersama dengan sebagian besar pemain Qatar yang berintikan tim U-23 yang pernah dilatihnya.

Pelatih asal Spanyol yang mengidolakan Pep Guardiola dan Jurgen Klopp ini lebih memilih pemain yang sudah lama bekerja dengannya sejak level junior, atas alasan kohesi dan adaptasi tim. Otoritas Qatar sendiri mendukung penuh langkah Sanchez dalam membentuk tim senior yang ideal.

Hubungan yang dekat pemain seperti itu bahkan sudah seperti ayah dan anak. Ditambah kemampuannya dalam memadukan talenta muda dan pemain berpengalaman, hubungan ayah dan anak itu menjadi landasan sukses Qatar dalam Piala Asia.

Sanchez sudah dianggap seperti ayah oleh pemain-pemainnya karena dia mengenal sebagian besar pemain Qatar sejak masih tingkat junior. Hubungan spesial ini membantu Qatar dalam membentuk tim yang kompak dan solid yang tak perlu lagi dibentuk dari awal.

Atmosfer seperti ini juga menjadi fondasi tim sehingga ketika harus melibatkan pemain lain, termasuk pemain-pemain yang sudah berpengalaman, pemain yang baru masuk mau tidak mau harus membiasakan diri dengan atmosfer yang sudah terbentuk lama itu.

Akibatnya Sanchez bisa dengan mudah mendapatkan formasi terkuat dari laga ke laga sampai bisa menjuarai Piala Asia 2019 yang baru kali itu berhasil dilakukan Qatar.

Faktor lain yang bisa disebut adalah langkah Sanchez mempertemukan timnas dengan tim-tim tangguh dari kawasan lain seperti Swiss dan Ekuador yang makin mengasah keterampilan, pengalaman dan kekuatan Qatar sehingga menjadi basis yang kuat dalam menghadapi Piala Asia 2019.

Hampir semua yang dilakukan Sanchez itu mirip dengan yang juga dilakukan Shin Tae-yong yang di negerinya dikenal memiliki pendekatan bapak-anak kepada timnya.

Sewaktu menangani tim U-23, Shin menganut filosofi berlatih "kepemimpinan persaudaraan" di mana dia lebih menempatkan diri sebagai ajusshi (ayah, paman atau yang dituakan) untuk timnya. Pendekatan ini berhasil mengantarkan U-23 Korea Selatan mencapai perempatfinal Ompiade Rio 2016.

Shin juga gemar membawa timnya berlatih tanding di negara-negara yang kultur sepakbolanya kuat, seperti yang dia lakukan kepada timnas U-19 yang menjalani pemusatan latihan di Bosnia Herzegovina tahun lalu.

Oleh karena itu ada banyak alasan bahwa optimisme tinggi Shin bukan sekadar sesumbar, melainkan berdasarkan kalkulasi objektif selain juga karena menjadi rumus umum untuk sukses sepakbola.

Sekalipun demikian tetap mesti mendapatkan dukungan dari pihak lain.

Dan salah satu dukungan itu adalah kesempatan luas yang bisa diberikan pemangku kepentingan sepakbola nasional kepada Shin untuk membentuk tim yang jauh lebih tangguh, termasuk dalam cara dia menyeleksi pemain.

Ketika itu semua terjadi, maka hitung mundur untuk Indonesia juara SEA Games Vietnam sudah bisa segera dimulai.


Baca juga: Dubes: Timnas Indonesia pulang dengan membawa kebanggaan
Baca juga: Indonesia peringkat kedua Piala AFF 2020 setelah imbangi Thailand 2-2

 

Copyright © ANTARA 2022