Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan riset pemanfaatan sel punca atau dikenal dalam dunia kedokteran sebagai stem cell bagi peyembuhan penyakit.

"Saat ini anggaran riset kesehatan di Indonesia baru 0,2 persen dari PDB, padahal di luar negeri rata-rata sudah 2 persen," kata Wakil Ketua Asosiasi Sel Punca Indonesia (ASPI), dr. Boenjamin Setiawan, Ph. D di Jakarta, Mingggu, saat dihubungi terkait penyelenggaraan simposium riset dan aplikasi sel punca di Indonesia.

Menurut Boenjamin yang juga penasehat senior PT Kalbe Farma Tbk., tubuh manusiia terdiri 100 triliun sel yang membentuk jaringan bagi organ tubuh.

Boenjamin mengatakan, saat ini tengah dikembangkan sel punca bagi penderita sakit jantung, tujuannya mengembalikan kondisi jantung agar sehat seperti sediakala.

"Prinsip pengobatan sel punca ini untuk menggantikan sel-sel organ tubuh yang sakit. Biasanya organ yang sakit beberapa selnya mati maka ditempatkan sel baru untuk mengobatinya," ujar dia.

Presentasi pengobatan sakit jantung menggunakan jaringan pengganti yang dibuat dari sel punca akan disampaikan dalam kongres diantaranya oleh Prof. Dr. dr. Teguh Santoso SpPD-KKV, Sp.JP, jelas dia.

Sementara itu dalam jumpa pers terkait simposium tersebut, Ketua ASPI, Prof. Dr. dr. Soebandrio, SP.MK (K) mengatakan, pengembangan sel punca di Indonesia sendiri masih terbentur masalah peraturan (regulasi) terutama mengenai kode etik agar jangan sampai terjadi pelanggaran.

Dia mengatakan, persoalan yang masih menjadi perdebatan mengenai pengambilan sel punca ada yang menyebutnya dari embrio, janin 2 - 3 bulan, atau tali pusat. Namun kalau melihat kode etik Indonesia, kalangan kedokteran memilih tali pusat.

Sejumlah negara yang lebih liberal memilih semua sumber untuk mendapatkan sel punca alasannya sel yang didapat lebih aktif dalam mengobati organ tubuh yang sakit, jelas dia.

Soebandrio mengatakan, aplikasi pengobatan sel punca di Indonesia diperkirakan membutuhkan waktu tidak sebentar sebagai gambaran untuk riset antibiotik baru membutuhkan waktu 10 sampai 15 tahun.

"Penyelenggaraan kongres sendiri untuk mengetahui perkembangan terkini aplikasi sel punca di Indonesia namun bagi masyarakat yang ingin mendapatkan pengobatan ini memang belum ada rumah sakit yang khusus menyediakan fasilitas ini," ujar dia.

Pertemuan secara berkala dokter-dokter yang mendalami sel punca diharapkan akan dapat menemukan inovasi baru sehingga pada akhirnya dapat dilakukan komersialisasi sehingga masyarakat dapat merasakan teknologi ini.

Sementara dr. Yefta Moenandjat, SP.BP (K) mengatakan, pengobatan sel punca sudah ada pada teknologi operasi plastik yang telah diterapkan pada pasien penderita luka bakar.

"Seperti parut akibat luka bakar dapat diambil dari bagian lain dari kuli yang sehat untuk kemudian ditempatkan pada bagian yang luka. Nanti akan tumbuh dengan sendirinya sehingga luka parut akan hilang," ujar dia.

Sejumlah negara menyediakan anggaran cukup besar bagi riset sel punca jauh di atas Indonesia seperti Jepang 150 miliar dolar AS, Jerman 80 miliar dolar AS, Perancis 60 miliar dolar AS, India 40 miliar dolar AS, serta lainnya Singapura dan Korea Selatan, ujar dia.

Sejauh ini sel punca telah dipergunakan selain bedah plastik juga penyakit tulang, saraf, kencing manis, kanker, jantung, anti penuaan, serta masih dikembangkan untuk organ lainnya.

Simposium mengenai sel punca ini rencananya akan diselenggarakan 9 sampai 10 Juli 2011 di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta menghadirkan 40 lebih ahli sel punca Indonesia yang akan menjelaskan perkembangan dan aplikasi di Indonesia. (G001/S016/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011