Kematian Tn S dan pelajar AW adalah koinsiden, tidak terkait dengan vaksinasi (inkonsisten).
Makassar (ANTARA) - Komite Daerah Penanggulangan dan Pengkajian Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (PP KIPI) Sulawesi Selatan menyebutkan penyebab kematian dua warga di Bone, tidak terkait dengan vaksinasi COVID-19.

Komda KIPI Sulsel dr Martira Maddeppungeng SpA (K) di Makassar, Kamis  mengatakan kesimpulan ini diambil melalui kajian dan causality assessment bersama dengan Komite Nasional (Komnas) PP KIPI, BPOM dan Kemkes.

"Kesimpulan penyebab kematian Almarhum Tuan S dan Almarhumah Pelajar (AW) tidak terkait vaksinasi COVID-19," katanya dalam jumpa pers di Kantor Dinas Kesehatan Sulsel.

Ia memaparkan, almarhum Tuan S mendapat vaksinasi COVID-19 pertama pada 23 Desember 2021, memiliki riwayat hipertensi lama dari pemeriksaan tekanan darah yang didapatkan.

Jadi besar kemungkinan pasien tidak rutin minum obat dan tidak rutin kontrol ke dokter karena hasil tensinya cukup tinggi.

Ia melanjutkan, almarhum sebelumnya telah mengalami rawat inap empat kali karena sakit.

Terakhir rawat inap dengan gejala pucat (Hb 4 gr/dl) dan nyeri lambung serta buang air besar warna hitam.

Pada 24 Desember 2021 sekitar pukul 18.00 Wita, mengalami gejala pusing, ada muntah dan almarhum mengalami mimisan dan kesadaran menurun.

"Telah mendapat pertolongan dan dianjurkan rujuk ke RS namun keluarga menolak, dan pada  26 Desember 2021 sekitar pukul 07.00 Wita, bidan melaporkan Tuan S telah meninggal," jelasnya.

Sementara almarhumah Pelajar AW, telah mendapat vaksinasi Sinovac dosis pertama pada 26 Oktober 2021 dan dosis kedua pada 23 November 2021 di Puskesmas Patimpeng Bone.
Baca juga: Survei: masyarakat tak mau vaksin karena takut efek samping
Baca juga: Memahami efek yang terjadi bila vaksin COVID-19 dosis kedua terlambat


Setelah melalui skrining tidak dijumpai adanya kontra indikasi. Pada 9 Desember 2021 (sekitar 16 hari setelah vaksinasi), pasien berkunjung ke Poliklinik Puskesmas Salomekko dengan keluhan bengkak dan nyeri pada punggung belakang kanan dan mendapatkan pengobatan.

Melakukan kontrol  13 Desember 2021 (sekitar 20 hari setelah vaksinasi) dengan keluhan yang sama dan dokter puskesmas melanjutkan pemberian terapi obat Ibuprofen, dexametasone, dan vitamin C.

Anak mulai sesak namun ringan, pada  21 Desember 2021 (28 hari ) sore hari pemeriksaan dokter puskesmas mendapatkan kondisi anak tampak sesak dengan saturasi 55 persen tanpa oksigen.

Dokter menduga anak mengalami efusi pleura. Riwayat anak pernah mengalami diare saat usia 1 bulan, setelah itu orang tua memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak lebih lambat dibanding anak seusianya.

Anak baru bisa berjalan tanpa bantuan saat usia 3 tahun, dan hingga saat ini anak tampak lebih kecil dan lebih pendek dari anak seusianya.

Dengan demikian, diambil kesimpulan, pertama, almarhumah Tn S memiliki tekanan darah tinggi yang diduga disertai komplikasi dengan pendarahan hidung dan darah merembes dari mulut saat kejadi di rumah

Adapun almarhumah Pelajar AW diduga mengalami penyakit jantung bawaan lahir. 
 
Almarhum dan almarhumah sudah mendapatkan penanganan di rumah/puskesmas dan disarankan dirujuk ke RS untuk tatalaksana yang lebih optimal namun keluarga menolak.

Kematian Tn S dan pelajar AW adalah koinsiden, tidak terkait dengan vaksinasi (inkonsisten).
Baca juga: Kemenkes: Vaksin COVID-19 untuk lansia minim efek samping

Pewarta: Abdul Kadir
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2022