Kalau memang Pemerintah berniat tidak mau lagi menggunakan istilah Bandara Internasional Soekarno - Hatta, silahkan saja cari nama lain yang sesuai selera rezim ini...
Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah aktivis maupun pakar sejarah memprotes penamaan Bandara "Soetta" oleh pihak tertentu, karena ini bukan saja tidak etis, tetapi merupakan pelecehan atas simbol kebangsaan, terkait dua nama Proklamator Kemerdekaan RI, Bung Karno dan Bung Hatta.

Demikian salah satu benang merah kesimpulan diskusi di Jakarta, Senin, masih terkait peringatan Hari Lahirnya Bung Karno (6 Juni 2011) dan HUT Pak Harto (8 Juni 2011) yang diselenggarakan Institut Studi Nusantara serta Aliansi Soehartois Patriot Pelopor Pembangunan Republik Indonesia (ASPPPRI).

"Presiden Soeharto memberikan nama 'Bandara Soekarno - Hatta' tanpa disingkat seperti itu untuk nama Bandara Internasional Cengkareng yang merupakan gerbang utama internasional Indonesia yang menjadi kebanggaan nasional hingga sekarang," kata Koordinator Nasional (Kornas) ASPPPRI, Jantje Worotitjan.

Pemberian nama itu, menurutnya, merupakan penghargaan yang mulia untuk kedua sosok Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta.

"Saya tentu mengharapkan pihak pengelola Bandara, juga kalangan media massa tidak lagi menggunakan istilah `Bandara Soetta`. Itu kedengaran tidak etis dan kurang elok kan," katanya.

Pencabutan Status Tapol

Sementara itu, peneliti senior ISN, Ade Reza Hariyadi mempertanyakan maksud `pencatutan` nama bandara itu, apakah hanya karena alasan teknis (untuk mempersingkat), atau memang memiliki makna-makna terselubung memberangus simbol-simbol kebangsaan kita.

"Ini kan bisa saja satu paket dengan upaya penghilangan Pendidikan Pancasila dari kurikulum pendidikan nasional, tidak ada upacara bendera dan hormat bendera di sekolah-sekolah, dan masih banyak lagi," urainya.

Ia mendesak Pemerintah melalui institusi berkompeten, agar bisa memberi pencerahan kepada publik, dan mengingatkan cara-cara `pencatutan` nama-nama atau simbol-simbol kebangsaan, bertentangan dengan hati nurani kaum pejuang bangsa.

"Atau, kalau memang Pemerintah berniat tidak mau lagi menggunakan istilah Bandara Internasional Soekarno - Hatta, silahkan saja cari nama lain yang sesuai selera rezim ini," tandasnya.

Pada bagian lain, ia menyorot kritis tentang status tahanan politik (Tapol) yang ditetapkan kepada Bung Karno oleh MPRS sekitar empat dekade silam.

"Bagaimana kita disebut bangsa bermartabat yang menghormati sejarah dan para pahlawan bangsanya, jika Ketetapan (TAP) MPRS terkait status Tapol bagi Bung Karno belum dicabut," sergahnya.

Pemberian Status Pahlawan

Diskusi juga mengangkat kian kencangnya dukungan publik agar Pak Harto dapat ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Apalagi dalam survei terakhir oleh sebuah lembaga studi menyimpulkan, rakyat sebenarnya memahami problematika kebangsaan, sehingga mulai mendudukkan Soeharto pada posisi wajar.

"Adalah tidak etis pula apabila usulan pemberian gelar "Pahlawan Nasional" untuk jasa-jasa yang telah diberikan Bapak Pembangunan Indonesia, Jenderal Besar TNI HM Soeharto itu ditunda-tunda Pemerintah ini," tegas Jantje Worotitjan.

Dikatakannya, perlu keberanian dan sifat ksatria Pemerintah untuk memberikan penghargaan guna menghormati jasa-jasa pejuang pembangunan NKRI, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Artinya, masih kata Jantje Worotitjan, keberanian dan ketegasan untuk menyatakan kebenaran dan kebaikan masa lalu, patut juga menjadi sikap serta jati diri bangsa besar ini.

(M036)

(ANTARA)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011