Jakarta (ANTARA) - Jerman mengancam akan menutup Telegram jika layanan perpesanan itu terus melanggar hukum yang berlaku di negara tersebut.

Menteri Dalam Negeri Nancy Faeser mengatakan, Telegram akan dilarang jika terus terbukti banyak digunakan oleh kelompok sayap kanan dan orang-orang yang menentang pembatasan terkait pandemi, sebagaimana dikutip dari Independent pada Kamis.

"Kami tidak bisa mengesampingkan ini. Pelarangan akan menjadi serius dan jelas menjadi pilihan terakhir," ujar Faeser kepada Die Zeit.

Baca juga: Telegram sambut 70 juta pengguna baru saat layanan Facebook "down"

Dia menambahkan, saat ini Jerman sedang berdiskusi dengan mitra di Uni Eropa tentang cara mengatur Telegram.

Telegram merupakan aplikasi perpesanan yang telah berkembang dan menjadi salah satu cara termudah untuk menggunakan layanan obrolan terenkripsi, dengan pesan yang dilindungi dari pengintaian saat dikirim antar pengguna. Aplikasi juga menawarkan sistem kelompok yang memungkinkan pesan dapat disebarkan dengan cepat.

Namun, fitur-fitur yang sama mengundang kontroversi karena memungkinkan para kriminal dan kelompok lainnya mengatur strategi untuk menghindari tindakan hukum.

Di Jerman, Telegram dipandang sebagai sumber teori konspirasi dan ujaran-ujaran kebencian, terutama saat negara tersebut berusaha memerangi COVID-19.

Baca juga: Tentara Swiss berhenti pakai WhatsApp dan Telegram

Baca juga: Telegram akan sediakan langganan berbayar

Baca juga: WhatsApp longgarkan tenggat waktu menerima kebijakan privasi baru

Penerjemah: Suci Nurhaliza
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2022