UMKM sudah lebih dapat beradaptasi dalam situasi pandemi COVID-19 pada akhir 2021
Jakarta (ANTARA) - Hasil survei Mandiri Institute menunjukkan bahwa sebanyak 56,8 persen pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) telah berjalan normal dan pulih dari dampak pandemi COVID-19.

"UMKM sudah lebih dapat beradaptasi dalam situasi pandemi COVID-19 pada akhir 2021. Menjelang akhir 2021, sekitar 56,8 persen UMKM telah berjalan normal, lebih tinggi dibandingkan dengan periode PPKM darurat di mana hanya 33,6 persen UMKM yang berjalan normal," kata Head of Mandiri Institute Teguh Yudo Wicaksono dalam keterangan di Jakarta, Selasa.

Sebagai dampak PPKM darurat, hampir seperlima usaha (19,3 persen) terpaksa berhenti beroperasi. Dari yang terpaksa berhenti, sebagian besar usaha (46,3 persen) mengalami vakum selama kurang dari dua bulan, sementara ada lebih dari sepertiga usaha (35,5 persen) yang terpaksa menutup operasi selama dua hingga empat bulan.

Kinerja penjualan UMKM, yang diukur dari kenaikan omzet, pada awal kuartal IV-2021 sudah lebih baik. Sepanjang periode awal PPKM darurat pada Juli-Agustus 2021, 72 persen UMKM mengalami penurunan omzet. Namun, pada November-Desember 2021, UMKM yang omzetnya menurun hanya sebesar 11,7 persen. Sebaliknya, mayoritas UMKM (53,9 persen) justru mengalami kenaikan omzet.

"Digitalisasi dalam penjualan dan transaksi, serta kemampuan adaptasi dalam produk dan usaha yang dilakukan membantu UMKM tetap bertahan dan meningkatkan omzet usaha," ujar Teguh.

Dalam upaya melakukan adaptasi, sekitar 85,6 persen UMKM melakukan perubahan jenis produk dan cara berusaha, sementara sebesar 58,9 persen melakukan penghematan biaya operasional. Selain itu, ada banyak UMKM yang juga terpaksa memberi diskon dan bonus untuk mempertahankan pangsa pasar.

Meningkatnya kemampuan adaptasi tersebut terlihat dari semakin banyak UMKM yang dapat mempertahankan omzet atau pendapatan usaha.

Sebanyak 49,3 persen dari responden memiliki akses penjualan digital. Pandemi COVID-19 mendorong kenaikan adopsi digital sebesar 9 persen angka terhadap UMKM yang baru berdiri sejak 2020. UMKM yang dimiliki perempuan ternyata lebih banyak yang mengadopsi penjualan secara digital.

Meskipun demikian, masih cukup banyak UMKM yang mengalami kendala dalam penjualan secara daring. Masalah jaringan merupakan kendala terbesar dalam melakukan penjualan secara daring.

Lebih dari setengah responden (55,1 persen) mengalami jaringan telekomunikasi yang lemah menyulitkan mereka dalam menjual. Penjualan melalui aplikasi pesan instan dan sosial media adalah metode terbanyak yang digunakan. Ketidaktahuan cara menjual produk secara online menjadi kendala terbesar UMKM yang tidak menggunakan akses digital.

Sebanyak 4 dari 5 UMKM sudah menyediakan metode pembayaran nontunai. Dari survei ditemukan sekitar 80,8 persen menyediakan transaksi nontunai, yang mana mayoritas (93,2 persen) menggunakan metode transfer antarbank. UMKM pengguna EDC ada sebesar 49,6 persen, sementara transaksi menggunakan e-wallet digunakan oleh 37,1 persen UMKM.

"Kami melihat penggunaan EDC dalam transaksi penjualan dan pembelian UMKM mulai tergantikan oleh metode nontunai lainnya," kata Teguh.

Terkait dengan sumber pembiayaan, pinjaman dari perbankan masih menjadi yang paling banyak diketahui dan dimiliki. Proporsi responden yang tertarik atau tidak tertarik untuk meminjam terbagi rata antara responden.

Lebih dari 60 persen responden sudah mengetahui pinjaman digital (fintech), tetapi baru 36 persen yang meminjam dari layanan tersebut. Sebagian besar UMKM yaitu 53 persen tidak tahu apakah fintech tempat mereka meminjam sudah memiliki izin. Hanya sekitar 24,2 persen UMKM yang mengetahui pinjaman mereka berasal dari fintech yang berizin, sementara sekitar 3,4 persen responden mengaku meminjam dari fintech yang tidak berizin.

Hanya 53 persen responden yang menerima program bantuan pada 2021, sebagian besar adalah restrukturisasi kredit. Bantuan restrukturisasi kredit dan BLT diterima oleh hampir 30 persen responden. Sedangkan untuk pelatihan dan pemasaran serta dana hibah merupakan bantuan yang paling sedikit diterima, yaitu kurang dari 2 persen responden.


Usulan kebijakan

Dalam rangka mendorong digitalisasi UMKM, pelaku UMKM masih membutuhkan dukungan pelatihan dan asistensi yang memberikan pengetahuan mengenai cara penggunaan platform digital.

Selain itu, dukungan mengenai literasi keuangan dan penyebaran informasi terkait pinjaman melalui fintech sangat diharapkan mengingat sebagian besar UMKM tidak mengetahui legalitas dari fintech.

Bantuan pemerintah perlu dilanjutkan untuk mendukung pemulihan UMKM dalam masa pandemi. Efektivitas sasaran target usaha serta komunikasi kebijakan tersebut perlu ditingkatkan. Survei ini mencatat sebesar 52 persen responden menerima bantuan UMKM.

Terkait dengan adaptasi digital, maka saluran pembayaran digital, utilisasi penggunaan channel pembayaran non-tunai, terutama melalui e-wallet, perlu didorong.

"Dengan semakin meningkatnya transaksi digital oleh konsumen, adanya opsi pembayaran tersebut akan memudahkan konsumen dan meningkatkan penjualan usaha UMKM," ujar Teguh.

Mandiri Institute melakukan survei terhadap kondisi UMKM pada akhir 2021. Survei itu dilakukan pada Desember 2021 terhadap 2.944 UMKM yang tersebar di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan beberapa provinsi di Indonesia bagian timur.

Baca juga: Kemenkop harapkan para pelaku UMKM tembus pasar global
Baca juga: Erick: Pengembangan UMKM nantinya lewat pembiayaan dan investasi
Baca juga: BRIN usul 7 opsi pemberdayaan perempuan pelaku UMKM di Presidensi G20

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2022