Palembang (ANTARA) - Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengatakan perkebunan karet harus dijaga keberlanjutannya terkait dengan impor bahan olahan karet (bokar) oleh pabrik pengolahan.

Sejak pertengahan tahun 2021, sejumlah pabrik karet di Sumsel terpaksa mengimpor bahan olahan karet (bokar) dari Vietnam dan Myanmar hingga negara di Afrika karena kekurangan bahan baku dari petani.

“Itulah ada Perda Alih Fungsi Lahan, jangan sampai komoditas andalan kita itu terganggu,” kata Herman Deru di Palembang, Rabu.

Kondisi ini diduga karena menurunnya gairah petani untuk memanen getah karena harga yang diterima terbilang rendah dan menurunkan produktivitas kebun karena sudah berusia tua.

Menurut Herman Deru kondisi ini harus disikapi dengan bijak karena jika tidak maka semakin banyak petani karet yang beralih menjadi petani sawit.

“Sebenarnya jika beralih dari kebun ke kebun itu tidak masalah, asal jangan dari kebun ke perumahan. Tapi kita juga tidak ingin komoditas andalan (karet) ini terganggu,” kata Herman Deru.

Sejauh ini karet merupakan komoditas andalan Sumsel untuk ekspor, selain minyak sawit (CPO) dan batu bara.

Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Selatan Alex K Eddy mengatakan rata-rata pabrik karet di Sumsel saat ini hanya mampu memanfaatkan 50-60 kapasitas terpasang.

“Pabrik dengan kapasitas sedang yakni 10.000 ton per bulan, bisa dikatakan sudah bagus jika mereka bisa mengolah 6.000 ton per bulan. Yang sulit ini pabrik dengan kapasitas 15.000 ton per bulan, terkadang hanya bisa 9.000 ton per bulan,” kata dia.

Kondisi ini membuat tak banyak pabrik yang mampu bertahan, bahkan Gapkindo Sumsel mencatat terdapat dua pabrik berkapasitas 6.000 ton per bulan sudah gulung tikar. Padahal dua pabrik itu masing-masing memiliki tenaga kerja sekitar 200 orang.

Sebagian perusahaan terpaksa memutar otak, mulai dari mengimpor pasokan bahan baku dari luar negeri, efisiensi pabrik, hingga mengurangi ship kerja karyawan.

Untuk impor bokar ini, negara tidak melarang asalkan ketika diekspor sudah dalam bentuk karet spesifikasi teknis (TSR). “Dengan begini saja masih sulit untuk bertahan. Bisa dikatakan untung sangat tipis sekali,” ujar dia.

Fungsional Analis Prasarana dan Sarana Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan Rudi Arpian mengatakan produksi karet Sumsel mengalami penurunan dari 1,1 juta ton pada 2020 menjadi hanya 900.000 ton pada 2021. Berdasarkan data terbaru, di Sumsel terdapat 1,3 juta Hektare lahan dengan 588.586 Kepala Keluarga.

Penurunan ini diperkirakan disebabkan tiga faktor yakni menurunnya produktivitas kebun karena sudah berusia tua (belum diremajakan), menurunnya gairah petani untuk memanen karena harga yang rendah, hingga pengalihfungsian lahan karet menjadi lahan sawit.

Saat ini harga karet di tingkat petani yang dijual melalui Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar Rp12.000 per Kilogram (Kg) untuk masa pengeringan satu minggu atau KKK 60 persen.

Sementara jika menjual ke tengkulak, petani hanya mendapatkan harga sekitar Rp10.000 per Kg hingga Rp8.000 per Kg.

Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2022