Dumai (ANTARA News) - Kabut asap hasil dari kebakaran hutan dan lahan masih terus mengotori ruang udara di sebagian besar wilayah Kota Dumai, Riau, terutama pada dini hari hingga jelang siang.

Kabut asap yang turun menutupi ruang udara di Dumai terpantau mulai muncul pada Kamis dini hari sekitar pukul 05.00 WIB.

Menjelang siang sekitar pukul 08.00 WIB, kabut asap sisa kebakaran hutan dan lahan terus menipis dan hanya terlihat samar membayangi udara.

Kepala Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Dumai, Basri, kepada ANTARA di Dumai mengatakan, secara kasat mata kabut asap kali ini masih terbilang ringan dan belum begitu membahayakan kesehatan masyarakat.

"Tapi tidak ada salahnya kalau masyarakat sudah mulai mewaspadainya dengan menggunakan masker saat beraktivitas diluar rumah," katanya.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Dumai, H Marjoko Santoso, menguraikan, tercemarnya kualitas udara Dumai juga dapat dilihat dari pantauan papan indikator standar pencemaran udara (ISPU) milik PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) yang dilaporkan ke Dinkes.

"Kualitas udara sampai saat ini masih berada pada posisi sedang, yakni 80-100 polutan standar indeks (PSI). Normalnya, kualitas udara berada dibawah angka 50 PSI," kata dia.

Kandungan udara saat ini menurut Marjoko, bercampur dengan sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO), dan partikel debu (PM10 dan PM 2,5) hingga di atas normal.

"Kondisi tersebut yang kemudian membuat kualitas udara kian buruk dan berada pada posisi sedang atau cukup mengkuatirkan," katanya.

Ditanya mengenai antisipasi Dinkes terhadap penyakit Infeksi saluran pernafasan atas (Ispa), Marjoko mengaku akan segera membagi-bagikan masker secara gratis ke masyarakat pejalan kaki dan pengendara sepeda motor.

"Pembagian masker ini tidak sekarang. Jika kualitas udara terus menurun hingga beberapa hari kedepan, baru kita akan bagikan," ujarnya.

Dinkes Dumai saat ini masih memiliki stok masker sekitar 10 ribu buah yang diperkirakan masih mencukupi untuk dibagikan ke masyarakat yang membutuhkan.  (ANT/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011