Kita kalah dalam pertempuran untuk melindungi privasi kita setiap hari.
Hyderabad (ANTARA) - Saat lockdown diberlakukan di kota Hyderabad, India, aktivis S.Q. Masood dihentikan di jalan oleh polisi yang meminta dia untuk melepas masker, lalu memotretnya tanpa memberi alasan dan mengabaikan protesnya.

Khawatir fotonya disalahgunakan, Masood mengirimkan surat resmi ke kepala polisi kota. Setelah suratnya tak ditanggapi, bulan lalu dia menyampaikan gugatan hukum atas penggunaan sistem pengenalan wajah di negara bagian Telangana. Kasus itu menjadi yang pertama di India.

"Sebagai Muslim dan bekerja dengan kelompok minoritas yang kerap jadi sasaran polisi, saya khawatir foto saya bisa disalahgunakan dan saya bisa dipermalukan," kata Masood, 38 tahun.

"Ini juga tentang hak privasi, dan hak untuk mengetahui kenapa saya dipotret, digunakan untuk apa, siapa yang bisa mengaksesnya, dan bagaimana foto itu dilindungi. Setiap orang berhak mengetahui informasi ini," kata dia.

Petisi Masood itu dipandang sebagai "ujian" bagi sistem pengenalan wajah yang dipasang di seluruh India. Para aktivis hak digital mengatakan sistem itu melanggar privasi dan hak-hak dasar lainnya.

Teknologi pengenalan wajah (facial recognition) menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) untuk mencocokkan gambar seseorang dengan gambar yang ada di pangkalan data.

Teknologi tersebut sudah banyak digunakan untuk beragam keperluan, seperti membuka kunci ponsel dan lapor diri (check in) di bandara.

Penggunaan sistem pengenalan wajah otomatis di India menjadi salah satu yang terbesar di dunia.

Pemerintah India sebelumnya mengatakan India perlu memperkuat keamanan untuk mencegah kejahatan dan menemukan anak hilang.

Namun hanya ada sedikit bukti teknologi itu mengurangi tingkat kejahatan, kata para pengkritik.

Sistem itu juga gagal mengenali orang-orang berkulit lebih gelap dan perempuan secara akurat. Penggunaannya menjadi bermasalah ketika India tidak memiliki hukum perlindungan data, kata aktivis hak digital.

"Teknologi itu diberlakukan sangat cepat di India, dengan alasan pengawasan 24/7 diperlukan dan baik untuk kita," kata Anushka Jain dari Internet Freedom Foundation (IFF), kelompok hak digital di Delhi.

"Penting untuk menentang gagasan ini, dan kasus pengadilan seperti ini akan membantu meningkatkan kesadaran publik - sebagian besar orang bahkan tidak sadar mereka sedang diawasi," kata Jain, rekan penasihat IFF, yang membantu menyiapkan petisi.

Pengawasan Total

Kamera CCTV telah menjadi hal yang biasa ditemukan di seluruh dunia. Sekitar satu miliar CCTV telah dipasang hingga akhir tahun lalu.

Selain kota-kota di China, Hyderabad dan Delhi di India juga memiliki kamera CCTV terbanyak di dunia, menurut situs Comparitech.

Negara bagian Telangana memiliki lebih dari 600.000 kamera, sebagian besar dipasang di ibu kota Hyderabad.

Polisi dapat menggunakan aplikasi di ponsel dan tablet untuk mengambil gambar dan mencocokkannya dengan gambar di pangkalan data.

Negara bagian itu adalah "tempat paling diawasi di dunia", menurut riset tahun lalu yang dilakukan Amnesty International, IFF dan kelompok pembela hak Article 19.

Hyderabad adalah tempat berkantor bagi sejumlah perusahaan teknologi global seperti Microsoft, Amazon dan IBM, dan "sebentar lagi menjadi kota yang diawasi secara total," kata Matt Mahmoudi, peneliti AI dan Big Data di Amnesty.

"Hampir tak mungkin menyusuri jalan tanpa mengambil risiko terkena pengenalan wajah," kata dia.

Hak-hak warga Muslim, kasta rendah Dalit, suku asli Adivasis, kaum transgender dan kelompok terpinggirkan terancam oleh bentuk pengawasan seperti itu, kata para aktivis, yang sistemnya telah digunakan untuk mengawasi aksi protes.

Gugatan Masood, yang didaftarkan untuk sidang dengar pendapat tahun ini, berpendapat bahwa penggunaan pengenalan wajah di Telangana "inkonstitusional dan tidak sah".

Gugatan itu mengatakan sistem itu tidak diperlukan, tidak proporsional, dan kurang melindung hak orang untuk mencegah penyalahgunaan.

Polisi Hyderabad mengatakan teknologi itu digunakan sebagai "pencegah" dan membantu mereka menangkap pelaku kriminal.


Baca juga: Sepeda motor penjelajah listrik Mazout meluncur di India

"Kami tidak melanggar privasi individu mana pun, karena kami tidak menerobos masuk ke rumah siapa pun untuk mengambil gambar," kata C.V. Anand, komisaris polisi Hyderabad.

"Teknologi itu digunakan hanya untuk mengawasi aksi kejahatan atau terduga pelaku kejahatan," kata dia awal bulan ini.

Kalah Bertempur

Di beberapa belahan dunia, muncul penentangan terhadap penggunaan pengenalan wajah.

Perusahaan-perusahaan seperti Microsoft dan Amazon menghentikan penjualan teknologi itu ke kepolisian, dan Uni Eropa mempertimbangkan larangan lima tahun.


Baca juga: India kembangkan vaksin khusus varian Omicron

Di India, resistensi dari mahasiswa, pegawai kota dan kelompok minoritas meningkat ketika banyak usaha berpindah ke pasar digital dan badan-badan pemerintah dan perusahaan meminta data pribadi dan penelusuran lokasi untuk melakukan tugas sehari-hari.

Hukum perlindungan data yang sedang disiapkan memberikan pengecualian kepada badan-badan pemerintah dengan alasan untuk keamanan nasional.

"(Hukum) itu tidak membicarakan pengawasan, yang mengumpulkan data diam-diam dan tanpa sepengetahuan (publik), dan mengecualikan penggunaan oleh pemerintah, jadi (hukum) itu akan gagal memberikan perlindungan kuat yang dibutuhkan," kata Jain.


Baca juga: Filipina akan beli sistem rudal seharga Rp5,4 triliun dari India

Masood, yang kini lebih waspada dengan kamera CCTV dan polisi yang mengambil foto warga di Hyderabad, ingin agar masyarakat memahami bahaya dari pengenalan wajah.

"Negara bagian telah menghabiskan banyak uang untuk (teknologi) itu, tapi orang-orang tidak tahu bagaimana cara kerjanya, bagaimana bisa disalahgunakan, dan bagaimana bisa melanggar privasi mereka," kata dia.

"Kita kalah dalam pertempuran untuk melindungi privasi kita setiap hari."

Sumber: Thomson Reuters Foundation


Baca juga: China terbitkan opini soal pengaturan platform ekonomi

Baca juga: Fokus China: China tunjukkan kinerja yang menonjol di kancah perekonomian global

Penerjemah: Anton Santoso
Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2022