Sydney (ANTARA) - Warga Tonga melarang anak-anak mereka bermain di luar ketika negara itu berjuang mengatasi abu dan trauma yang disebabkan oleh erupsi gunung berapi dan tsunami.

Komunikasi dengan dunia luar masih sulit pada Minggu karena layanan internet masih sangat terbatas dan jaringan telepon di pulau-pulau terluar masih terputus.

Palang Merah mengatakan mereka tak hanya menyediakan tenda, makanan, air dan toilet kepada 173 keluarga di pulau utama Tonga, tapi juga kenyamanan.

"Setiap orang masih menghadapi kesulitan saat ini," kata Drew Havea, wakil presiden Palang Merah Tonga.

Karena abu, "para kepala keluarga memastikan anak-anak mereka tidak bermain di luar, semua di dalam ruangan," kata dia.

Meskipun beberapa penduduk dari pulau-pulau terluar yang paling terdampak di Ha'apai telah dievakuasi ke pulau utama Tongatapu, penduduk lainnya menolak pergi, kata Havea.

Dampak psikologis gelombang tsunami yang menghancurkan desa-desa akan mempengaruhi kehidupan mereka selama beberapa waktu, kata dia.

Ada kekhawatiran lain yang muncul di kalangan warga Tonga, kata dia.

"...dalam pelajaran geografi Anda diajarkan bahwa tempat yang kita tinggali ini adalah Cincin Api. Sekarang saya rasa kita agak khawatir dan mulai berpikir, 'Seberapa aktif tempat-tempat ini?'" kata dia.

Letusan gunung berapi Hunga-Tonga-Hunga-Ha'apai, yang berada di Cincin Api Pasifik yang aktif secara seismik, memicu gelombang tsunami di Samudra Pasifik dan gemuruhnya terdengar hingga sejauh 2.300 km di Selandia Baru.

Letusan begitu kuat sehingga satelit-satelit di ruang angkasa tidak hanya menangkap gambar awan abu tapi juga gelombang kejut atmosfer yang memancar dari gunung itu dengan laju yang mendekati kecepatan suara.

"Menggetarkan, Menakutkan"

"Saya sempat berpikir dunia akan kiamat," kenang John Tukuafu, pemilik resor pantai Vakaloa, yang berjuang menyelamatkan istrinya dari tsunami.

Resornya berada di Kanokupolu, salah satu daerah paling terdampak di Tongatapu. Pohon-pohon yang tercerabut dari akarnya dan puing-puing kini berserakan di tempat resor itu berdiri.

"Saya pikir di seluruh pulau, semua orang syok," kata Mary Lyn Fonua, redaktur pelaksana situs berita Matangi Tonga Online pada Minggu.

Perlu waktu sepekan bagi banyak orang untuk pulih dari suara erupsi yang "menggetarkan, menakutkan", kata dia lewat telepon pada Minggu.

"Terlalu keras untuk didengar tapi saya bisa merasakannya. Rumah kami bergetar, jendela-jendela bergetar dan makin lama makin kuat sampai dentuman besar itu," katanya.

Penduduk berharap hujan tropis turun untuk menyapu bersih abu vulkanik yang membuat "perih dan gatal", kata Fonua.

Daun-daun pepohonan menjadi cokelat dan berguguran.

Fonua mengatakan saat itu dia berada di kantornya yang menghadap laut dan sedang menelpon puteranya yang tinggal di Selandia Baru ketika tsunami menerjang.

Ketika sambungan terputus, puteranya takut ibunya telah terseret oleh tsunami.

Kecemasan banyak keluarga Tonga di luar negeri berlangsung berhari-hari sebelum sambungan internasional dipulihkan secara terbatas.

Terputus dari dunia luar, penduduk Tonga berupaya melakukan penyelamatan darurat.

Orang-orang tua di Tonga yang terbiasa hidup mandiri memperhatikan bahwa anak-anak muda terpaksa berhenti melihat ponsel cerdas mereka dan mulai bertindak, kata dia.

Setelah listrik pulih setelah mati sepekan, situs Matangi Tonga pada Sabtu mengunggah berita pertamanya sejak erupsi dan tsunami.

Berita itu menggambarkan "hujan batu apung" sebagai runtuhan vulkanis yang jatuh dari langit, dan gelombang laut yang menelan mobil-mobil.

Tetapi, kantornya masih belum bisa mengirim surat elektronik dan Tonga memerlukan kapasitas satelit yang lebih banyak, kata Fonua.

Kapal dan pesawat angkatan laut yang datang ke Tonga membawa banyak bantuan dan peralatan komunikasi yang sangat dibutuhkan, kata dia.

Sumber: Reuters

Penerjemah: Anton Santoso
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2022