Paling susah dideradikalisasi karena sekitar 90 persen menggunakan perasaan dan 10 persen menggunakan logika.
Jakarta (ANTARA) - Kaum perempuan lebih sulit dideradikalisasi, yaitu dinetralkan pemikirannya dari unsur-unsur radikalisme, jika dibandingkan dengan kaum laki-laki, kata Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid.

Perempuan itu, kata Ahmad Nurwakhid, paling mudah dipapar radikalisasi. Akan tetapi, paling susah dideradikalisasi karena sekitar 90 persen menggunakan perasaan dan 10 persen menggunakan logika dalam segala hal sehingga mudah dibohongi dan dimanipulasi.

Hal itu dia kemukakan ketika tampil sebagai narasumber dalam webinar nasional bertajuk Membangun Harmonisasi Nilai-nilai Berbangsa dan Bernegara pada Generasi Milenial yang disiarkan langsung di kanal YouTube Unas TV, dipantau dari Jakarta, Selasa.

Untuk mengatasinya, Ahmad Nurwakhid menyatakan bahwa BNPT menjadikan pemberdayaan perempuan dan anak sebagai salah satu bidang kegiatan yang menjadi prioritas melalui Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di 34 provinsi di Indonesia.

Menurut dia, hal itu didasari pada kesepakatan BNPT dalam memandang kaum perempuan sebagai sokoguru atau tonggak terdepan dalam melindungi anak dan keluarganya dari paparan radikalisme dan terorisme.

Oleh karena itu, pencegahan terhadap terpaparnya perempuan oleh radikalisme dan terorisme harus dioptimalkan.

Dalam webinar yang diselenggarakan Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Ahmad Nurwakhid pun menyampaikan tiga indikator untuk mengetahui terpapar atau tidaknya seseorang dengan radikalisme dan terorisme.

Indikator yang pertama, kata Ahmad Nurwakhid, seperti yang umum diketahui dan selalu digaungkan adalah tindakan mengafirkan orang lain yang dianggap berbeda dari kelompok radikal tersebut. Kedua, mereka bersikap intoleran terhadap keberagaman yang ada. Ketiga, seseorang yang telah terpapar radikalisme ataupun terorisme akan senantiasa bersikap anti terhadap pemerintahan yang sah.

"Arti anti terhadap pemerintahan yang sah di sini bukan berarti pihak oposisi dan bersifat kritis. Oposisi diperbolehkan di negara demokrasi asalkan konstruktif, yaitu menjadi pengawas dan penyeimbang. Perilaku kritis yang membangun pun wajib. Saat melihat sesuatu yang tidak benar, kita wajib mengkritisi," kata Ahmad Nurwakhid.

Sebaliknya, lanjut dia, arti anti terhadap pemerintahan yang sah sebagai indikator terpaparnya seseorang oleh radikalisme dan terorisme merupakan perasaan membenci dengan membangun ketidakpercayaan pada masyarakat terhadap negara, pemerintah, atau pemimpin yang sah.

Baca juga: Kepala BNPT sebut 600 akun berpotensi radikal di dunia maya

Baca juga: Kepala BNPT: Penyebaran radikalisme mengalami peningkatan pesat
 

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022