Bangkok (ANTARA News) - Seorang analis politik terkenal mengatakan mantan perdana menteri terguling Thaksin Shinawatra harus berkorban dengan meninggalkan tanah airnya demi kebaikan sehingga rakyat Thailand akan melihat rekonsiliasi di negaranya.

"Jika Khun (Mr) Thaksin ingin berkompromi, mungkin dia akan bersedia membayar harga untuk tanah kelahirannya dengan tidak kembali ke Thailand. Dia memiliki warisan yang mendalam di sini, itu adalah warisan campuran," kata Dr Thitinan Pongsudhirak, seorang dosen terkenal di Fakultas Ilmu Politik, Universitas Chulalongkorn kepada Xinhua dalam sebuah wawancara baru-baru ini.

Taipan milioner telekomunikasi dan mantan Perdana Menteri ke-23 Thaksin Shinawatra yang berkuasa pada 2001-2006, sebelum ia digulingkan oleh kudeta militer tak berdarah pada September 2006 karena diduga menyalahgunakan kekuasaan, kini tinggal di pengasingan.

Ia kemudian didakwa melakukan tindak korupsi besar-besaran pada 2008 dan terorisme pada 2010 untuk menghasut para aktivis Baju Merah, pendukungnya, menggelar protes jalanan.

Meski tinggal jauh di Dubai, Uni Emirat Arab, namun ia tetap menjadi tokoh yang sangat memecah belah kehidupan politik Thailand, karena orang-orang pedesaan dan kelas pekerja paling diuntungkan oleh platform populisnya yang terus-menerus mereka menganggap dia sebagai pahlawan.

Sementara itu sebagian besar kalangan elit pro-kemapanan dan kelas menengah perkotaan sudah muak dengan dengan dugaan korupsi besar-besaran, pelanggaran hak asasi manusia dan penyalahgunaan kekuasaan.

Ia mengisyaratkan sebelumnya, bahwa ia ingin berada di Bangkok untuk pelaksanaan upacara pernikahan putrinya pada Desember, tetapi juga mengatakan ia bisa menunggu jika kepulangannya akan memicu konflik lebih lanjut.

Pada hari-hari pertama, Partai Pheu Thai termasuk membawa kembali mantan perdana menteri yang digulingkan itu dalam kebijakan kampanye pemilu mereka, tetapi kemudian setelah mendapat kritik luas, partai tersebut menyamarkannya pada saat amnesti umum diberikan bagi semua warna politik.
(*)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2011