Jakarta (ANTARA) - Laura Octaviani (30 tahun), memang nekad. Tanpa pengalaman mengemudi mobil jarak jauh, apalagi antarpulau, warga Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, itu memutuskan untuk berlibur ke kampung halaman di Sumatera Barat.

Jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari pada pertengahan Januari 2022, ketika Laura, berempat dengan adik perempuannya Alya (18) serta sepupu, yang semua perempuan, Dissa (18) dan Erika (32), berangkat menuju Pelabuhan Merak, untuk kemudian menyeberang ke Bakauheni, Lampung.

Tempat yang mereka tuju adalah Desa atau Nagari Panampuang di Kecamatan Ampek Angkek, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Desa tersebut terletak sekitar 9km dari timur pusat Kota Bukittinggi.

Menurut penelusuran Google, jarak antara Jakarta dan Bukittinggi jika ditempuh melalui Lintas Timur adalah 1.286km. Soal waktu tempuh sangat relatif karena tergantung kepada selera, ingin santai sambil menikmati setiap kota yang dilalui, atau langsung tancap gas dan beristirahat seperlunya.

Laura, jebolan Universitas Webster, Leiden, Belanda, itu memilih jalan lintas timur atau dikenal dengan singkatan jalintim karena tergoda untuk menjajal Tol Trans-Sumatera yang menghubungkan Bakauheni (Lampung) dan Palembang (Sumsel) sepanjang 360km.

Selain jalintim, ada dua alternatif lain menuju Bukittinggi dan sekitarnya, yaitu jalan lintas tengah (jalinteng) dan jalan lintas barat (jalinbar). Lintas Tengah berjarak 1.342km dan selama ini menjadi jalur tradisional dan disukai para pemudik karena lebih ramai, sementara Lintas Barat lebih jauh, yaitu 1.446km karena memutar menyusuri pesisir barat Sumatera.

Perjalanan dari Ciputat sampai Pelabuhan Merak, menyeberangi Selat Sunda ke Bakauheni dan kemudian langsung masuk tol sampai Kota Palembang, dilalui dengan lancar tanpa kendala yang berarti.

Tapi “petualangan” yang sebenarnya dan penuh drama terjadi ketika mereka mulai meninggalkan Kota Palembang dan kemudian memasuki perbatasan Jambi, menembus hutan belantara serta perkebunan kelapa sawit dan karet.

Pada kondisi itulah, Laura yang selama ini hanya mengemudi dari rumah ke kantor atau dari mal ke mal di Jakarta, dituntut untuk ekstra hati-hati, terutama bila mengemudi pada malam hari di tengah hutan belantara.

Suatu kali malam di kawasan hutan di Sumatera Selatan, saat melaju kencang dengan kecepatan sekitar 90km, tiba-tiba mobil menghantam jalan berlubang cukup dalam dan sudah terlambat untuk menghindar atau mengerem. Beruntung ban mobil tidak pecah yang bisa membuat mobil terbalik.

“Tapi saya mendengar bunyi tabrakan di belakang dan dari spion terlihat mobil Toyota Fortuner dihantam sebuah pick up karena mengerem mendadak,” kata Laura yang sehari-hari bekerja di Tokopedia di Jakarta.

Kejadian lebih dramatis yang nyaris membuat celaka terjadi tengah malam di hutan belantara antara Muara Bulian dan Muaro Bungo di Jambi.

Saat berusaha menyalip sebuah truk pembawa kelapa sawit, mobil Avanza yang dikemudian Laura tidak bisa menambah kecepatan meski gas sudah diinjak dalam-dalam, sementara dari depan mobil lawan sudah semakin dekat.

Beruntung Laura tidak panik, dan pada detik-detik terakhir truk tersebut memperlambat kecepatan sehingga Laura pun lolos dari tabrakan.

“Kami semua menahan nafas karena hanya beberapa senti lagi mobil bisa menyenggol truk dan bisa berakibat fatal,” katanya.

Setelah menempuh perjalanan yang penuh drama selama tiga hari tiga malam, Laura dan rombongan pun sampai di kampung halaman. Perjalanan tersebut terhitung lama karena mereka harus banyak istirahat, termasuk menginap di Kecamatan Bayung Lencir, Sumatera Selatan.

“Saya harus mencari penginapan di daerah dengan sinyal kuat karena tetap mengikuti rapat zoom kantor di Jakarta,” katanya.
 

Lintas Barat yang “terlupakan”

Jalan tol Trans-Sumatera yang menghubungkan Bakauheni dan Palembang dan telah beroperasi penuh sejak dua tahun terakhir, memang menjadi pilihan banyak orang karena bisa ditempuh hanya dalam jarak sekitar empat jam. Sebelumnya jarak tersebut harus ditempuh dalam waktu 12 jam.

Namun, jalan berbayar tersebut tidak seperti yang diharapkan karena penuh lubang dan membahayakan pengemudi yang melaju kencang dan bahkan merenggut korban jiwa Febi Khairunisa (21), seorang mahasiswi sebuah universitas swasta di Palembang pada 8 Januari 2022.

Kecelakaan terjadi setelah Febi berusaha menghindari jalan berlubang, tapi jenis Honda Brio yang dikendarainya hilang kendali dan kemudian oleng sehingga terpental.

Kondisi jalan tol Trans-Sumatera yang berbahaya membuat Rinaldo Akbar (41), seorang warga Jakarta, yang juga menempuh lintas timur saat menuju Sumatera Barat, memutuskan untuk kembali ke Jakarta melalui lintas barat.

“Sebelum berangkat kembali ke Jakarta, beberapa orang di kampung sempat melarang saya untuk mengambil lintas barat karena jalan yang sepi dan rawan kejahatan. Tapi bagaimana saya bisa percaya kalau mereka sendiri mengaku belum pernah menempuh jalan itu,” kata Rinaldo, sambil tertawa.

Rinaldo, jebolan Universitas Teknologi Nanyang Singapura itu merasa yakin kalau lintas barat adalah pilihan yang tepat untuk kembali ke Pulau Jawa, setelah mempelajari situasi dari berbagai unggahan di media sosial.

“Tidak satu pun dari media sosial, seperti Youtube, yang menyuguhkan berita buruk tentang lintas barat, seperti pembegalan. Semua malah menyajikan pesona dan keindahan jalan-jalan yang dilewati,” kata Rinaldo, yang didampingi istrinya Yeri Meriza.

Rinaldo dan Yeri mengawali “petualangan” lintas barat dari Padang melewati daerah pesisir selatan dan kemudian menikmati keindahan Pantai Madeh, kawasan yang disebut-sebut sebagai “Raja Ampat"-nya Sumatera Barat.

Selepas Sumatera Barat dan memasuki Propinsi Bengkulu, keindahan berikutnya pun sudah menunggu, yaitu Pantai Pandan Wangi di Kabupaten Mukomuko.

Hanya membayar dengan tarif Rp10.000 untuk satu mobil, Rinaldo yang menunggangi Mazda 2 itu pun sudah bisa menikmati suasana pantai yang rindang oleh ratusan pohon kelapa, atau sekadar untuk melepas penat setelah berkendara sekitar delapan jam dari Kota Padang.

Tapi ujian paling berat harus dihadapi Rinaldo saat perjalanan antara Mukomuko dan Kota Bengkulu, tepatnya di Kecamatan Ketahun. Kendaraan jenis city car yang dikendarainya memang tidak cocok untuk perjalanan off-road, sehingga sempat kandas saat melintasi gundukan batu, meski kemudian berhasil lolos dan tancap gas sampai ke Bengkulu.

Perhentian berikutnya adalah Krui, Ibu Kota Kabupaten Pesisir Barat, Propinsi Lampung, dan inilah tempat wisata terbaik di sepanjang pesisir barat Sumatera.

“Saya dan istri memang sudah berencana untuk menginap sambil menikmati sunset di Pantai Krui ini setelah melihat-lihat berbagai testimoni di media sosial,” katanya.

Saat memasuki kawasan Pantai Tanjung Setia di Krui, suasana terasa seperti di Bali karena terdapat banyak kedai-kedai kopi dan penginapan yang langsung menghadap ke Samudera Hindia.

Pantai ini sudah tidak asing lagi para penghobi olahraga selancar karena pernah menjadi lokasi kejuaraan surfing internasional bertajuk "Krui Pro 2018" yang diikuti 107 peselancar dari 17 negara.

Namun pandemi yang tidak kunjung usai membuat kehidupan pariwisata di kawasan Krui terkena imbas, sebagaimana yang dialami tempat lain. Kedai-kedai kopi tampak sepi pengunjung, tidak tampak turis asing yang berselancar, sementara pantai terlihat tidak terawat dan penuh sampah.

Berbeda dengan lintas timur dan lintas tengah, perjalanan melalui Lintas Barat Sumatera memang memberikan sensasi tersendiri dan meningkatkan adrenalin para penggemar perjalanan darat karena jalan yang sempit, penuh tikungan tajam, keluar masuk hutan.

Suguhan pemandangan yang indah saat matahari terbenam atau debur ombak di sepanjang pantai jalan yang dilewati, seakan meluruhkan segala kepenatan setelah berjam-jam berkendara.

Keberadaan Jalan Tol Trans-Sumatera membuat perhatian lebih banyak tertuju ke lintas timur, membuat sorga tersembunyi di pesisir barat seakan terabaikan.

Pemandangan di Pantai Mandeh, Pesisir Selatan, Sumatera Barat (Laura Octaviani)
Suasana di Pantai Tanjung Setia, Krui, Lampung (Rinaldo Akbar)

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022