Militer telah menghukum masyarakat lokal karena dianggap mendukung elemen-elemen bersenjata
Jenewa (ANTARA) - Komisioner Tinggi HAM PBB Michelle Bachelet meminta masyarakat internasional meningkatkan tekanan terhadap junta militer Myanmar untuk menghentikan kekerasan terhadap publik dan segera memulihkan pemerintahan sipil.

“Satu tahun setelah militer merebut kekuasaan, rakyat Myanmar–yang telah membayar mahal baik nyawa maupun kebebasan yang hilang–terus berjuang tanpa henti untuk demokrasi mereka,” kata Bachelet dalam sebuah pernyataan pers, Jumat (28/1).

Dia mengatakan tindakan yang diambil oleh Dewan Keamanan PBB dan oleh ASEAN tidak cukup untuk meyakinkan militer Myanmar untuk menghentikan kekerasan dan memfasilitasi akses pengiriman bantuan kemanusiaan.

“Sudah waktunya dilakukan upaya segera untuk memulihkan hak asasi manusia dan demokrasi di Myanmar, dan memastikan bahwa para pelaku kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sistemik harus bertanggung jawab,” kata Bachelet.

Baca juga: AICHR: ASEAN harus pastikan implementasi Konsensus Lima Poin Myanmar

Ia mendesak pemerintah negara-negara dan kalangan bisnis untuk mendengarkan permohonannya.

Bachelet menyambut baik keputusan beberapa perusahaan swasta untuk menarik diri dari Myanmar dengan alasan HAM. Menurut dia, itu adalah “alat yang ampuh untuk memberikan tekanan pada pembiayaan operasi militer terhadap warga sipil.”

Dia bertemu dengan para pembela hak asasi manusia minggu ini, yang memohon kepada masyarakat internasional untuk tidak meninggalkan mereka dan sebagai gantinya mengambil tindakan tegas untuk memastikan hak-hak mereka dilindungi dan militer dimintai pertanggungjawaban.

Bachelet mengatakan dia telah mendengar laporan mengerikan tentang jurnalis yang disiksa, pekerja pabrik diintimidasi, dibungkam, dan dieksploitasi, serta minoritas etnis dan agama dianiaya dengan lebih agresif.

Etnis minoritas yang dimaksud termasuk Muslim Rohingya, yang telah lama menjadi sasaran penindasan dan kekerasan negara, merujuk pada penangkapan sewenang-wenang, penahanan, dan pengadilan palsu terhadap lawan politik.

Baca juga: PM Kamboja desak junta Myanmar izinkan penyaluran bantuan

“Namun, pembela hak asasi manusia yang berani dan anggota serikat pekerja terus memprotes, mengadvokasi, mendokumentasikan, dan mengumpulkan bukti pelanggaran yang semakin meningkat,” kata Bachelet.

Tindakan keras yang dilakukan pasukan keamanan Myanmar untuk menghadapi protes anti kudeta telah menyebabkan sedikitnya 1.500 orang tewas sejak kudeta 1 Februari 2021.

Bachelet menyebut jumlah tersebut belum termasuk ribuan kematian akibat konflik bersenjata dan kekerasan yang terus meningkat di seluruh Myanmar.

Kantor Hak Asasi Manusia PBB telah mendokumentasikan pelanggaran HAM berat setiap hari di Myanmar, yang sebagian besar dilakukan oleh pasukan keamanan.

Sedikitnya 11.787 orang telah ditahan secara sewenang-wenang karena menyuarakan perlawanan mereka terhadap militer dalam protes damai atau melalui aktivitas daring. Saat ini, sebanyak 8.792 orang masih berada dalam tahanan.

Baca juga: PM Kamboja: Junta Myanmar diundang jika ada kemajuan konsensus ASEAN

Sedikitnya 290 orang tewas dalam tahanan, banyak dari mereka kemungkinan besar disiksa.

Bachelet mengatakan bentrokan bersenjata telah meningkat, dengan setiap bagian negara mengalami beberapa tingkat kekerasan.

“Militer telah menghukum masyarakat lokal karena dianggap mendukung elemen-elemen bersenjata,” ujar Bachelet.

Kantor HAM PBB juga mendokumentasikan pembakaran desa, termasuk tempat ibadah dan klinik medis, penangkapan massal, eksekusi singkat, dan penyiksaan.

Krisis politik di Myanmar semakin diperburuk dengan pandemi COVID-19 dan kegagalan sektor perbankan, transportasi, pendidikan, dan lainnya---membuat perekonomian negara itu di ambang kehancuran.

"Ada proyeksi bahwa hampir setengah dari 54 juta populasi (Myanmar) mungkin terdorong ke dalam kemiskinan tahun ini," kata Bachelet.

Sumber: Anadolu

Baca juga: Setahun kudeta Myanmar, orang-orang masih mencari kerabat yang hilang

Penerjemah: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2022