Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Keahlian (BK) DPR RI Inosentius Samsul menjelaskan materi Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) mengatur metode omnibus dan peningkatan kualitas partisipasi publik.

"Jangkauan dan arah pengaturan, yaitu terkait mengakomodasi metode omnibus dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dan memperjelas partisipasi masyarakat yang lebih bermakna atau 'meaning ful participation' dalam tahap perencanaan, penyusunan, dan pembahasan peraturan perundang-undangan," kata Inosentius dalam Rapat Pleno Badan Legislasi (Baleg) DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu.

Dia menjelaskan beberapa pasal dalam UU tentang PPP belum menjadi landasan hukum pembentukan peraturan perundang-undangan dengan metode omnibus, yaitu Pasal 1, Pasal 42, dan Pasal 64.

Baca juga: Ketua DPR RI minta evaluasi PTM prioritaskan kesehatan anak

Selain itu, menurut dia, Pasal 96 UU tentang PPP belum merumuskan dengan tepat terkait konsep partisipasi masyarakat yang lebih bermakna.

"Manfaat metode omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah mempersingkat proses legislasi, mencegah kebuntuan dalam proses pembahasan RUU, dan efisiensi biaya proses legislasi," ujarnya.

Dia menilai perlu ada mekanisme yang standar dan baku yang diatur dalam undang-undang untuk memastikan hak warga negara dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Hak-hak tersebut, menurut dia, antara lain, hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.

Baca juga: 9 anggota DPR terkonfirmasi positif COVID-19
Baca juga: DPR uji kelayakan calon anggota KPU-Bawaslu pada 14-17 Februari


"Perlu segera dilakukan perubahan terhadap UU PPP untuk memberikan jaminan kepastian hukum mengenai penggunaan metode omnibus dan kejelasan mengenai partisipasi masyarakat," katanya.

Dalam kesempatan tersebut, BK DPR menyampaikan rumusan materi muatan RUU tentang Perubahan Kedua UU Nomor 12 tahun 2011, antara lain:

Pasal 1 angka 2a:
Metode Omnibus adalah metode penyusunan Peraturan Perundang-undangan dengan menambah materi muatan baru, mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan, dan/atau mencabut Peraturan Perundang-undangan yang jenis dan hirarkinya sama, dengan menggabungkannya ke dalam satu Peraturan Perundang-undangan untuk mencapai tujuan tertentu.

Pasal 42a:
Penggunaan Metode Omnibus dalam penyusunan suatu Rancangan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1) harus ditetapkan dalam dokumen perencanaan.

Pasal 64:
(1) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan Metode Omnibus.
(3) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 97A:
Materi muatan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan Metode Omnibus hanya dapat diubah dan/atau dicabut dengan mengubah dan/atau mencabut Peraturan Perundang-undangan tersebut.

Pasal 96:
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Pemberian masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara daring dan/atau luring.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi muatan Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Penjelasan: Yang dimaksud dengan “kelompok orang” adalah kelompok/organisasi masyarakat, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat yang terdaftar di kementerian yang berwenang, dan masyarakat hukum adat.
(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
(5) Dalam melaksanakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembentuk Peraturan Perundang-undangan menginformasikan kepada masyarakat tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Penjelasan: Yang dimaksud dengan “menginformasikan” termasuk dalam Prolegnas, program pembentukan peraturan pemerintah, program pembentukan peraturan presiden, program pembentukan peraturan daerah provinsi, serta program pembentukan peraturan daerah kabupaten/kota.
(6) Untuk memenuhi hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembentuk Peraturan Perundang-undangan dapat melakukan kegiatan konsultasi publik melalui:
a.rapat dengar pendapat umum;

b.kunjungan kerja;

c.seminar, lokakarya, diskusi; dan/atau

d.kegiatan konsultasi publik lainnya.
(7) Hasil kegiatan konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan, penyusunan, dan pembahasan Peraturan Perundang-undangan.
(8) Pembentuk peraturan perundang-undangan dapat menjelaskan kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Penjelasan: Yang dimaksud dengan “hasil pembahasan” antara lain laporan rapat.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dalam Peraturan Presiden, Peraturan DPR, dan Peraturan DPD.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022