Jangan diam dan takut jika mengetahui kasus-kasus semacam ini
Surabaya (ANTARA) - Munculnya kasus eksploitasi seksual pada anak di bawah umur melalui prostitusi daring di Kota Surabaya, Jatim, yang berpredikat sebagai Kota Layak Anak (KLA) menuai sorotan dari berbagai kalangan.

Ketua Komisi D Bidang Kesra DPRD Surabaya Khusnul Khotimah di Surabaya, Kamis, mengatakan, pihaknya menyayangkan Surabaya sebagai kota yang menyandang predikat KLA Kategori Utama dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), masih terjadinya kasus eksploitasi seksual pada anak di bawah umur.

"Kasus itu tidak akan terjadi jika semua pihak berkomitmen dalam pemenuhan hak-hak serta perlindungan terhadap anak. Mulai dari Pemkot Surabaya, tokoh agama, tokoh masyarakat dan pihak-pihak terkait lainnya," katanya.

Diketahui, polisi sebelumnya telah menggrebek praktik prositusi daring di komplek Rusun Romokalisari, Surabaya. Pelaku menawarkan anak di bawah umur untuk melayani pria hidung belang. Dalam aksinya, pelaku berinisial ST menjual korban dengan tarif Rp250 ribu, kemudian pelaku mengambil untung Rp50 ribu.

"Saya sangat geram dengan munculnya kasus eksploitasi seksual melalui prostitusi daring ini. Apalagi korbannya masih anak-anak di bawah umur. Saya tidak tahu, apakah Pemkot Surabaya terlena dengan predikat Kota Layak Anak yang sudah diberikan, atau memang tidak perhatian," ujar Khusnul.

Baca juga: LPA Jatim sayangkan aksi kekerasan pada siswa di Kota Layak Anak

Baca juga: Pimpinan DPRD: Perhatikan nasib anak yatim Surabaya terdampak pandemi


Atas hal itu, kata dia, anggota Komisi D berkunjung langsung ke lokasi dan meminta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3A-PPKB) Surabaya untuk menjemput anak tersebut dan mengamankan di shelter milik Pemkot Surabaya.

"Ini agar korban yang masih berusia 15 tahun ini merasa aman dan nyaman hingga proses pemeriksaan selesai," ujar Khusnul.

Saat berkunjung itu, kata Khusnul, korban yang putus sekolah saat menginjak bangku SMP ini mengalami depresi berat. Ia tidak mau makan dan merasa lingkungannya telah mencibir dan mengucilkannya.

Sehingga, menurut Khusunul, jika dia tetap tinggal di Rusun Romokalisari akan berdampak buruk bagi psikologinya dan bisa berbuat hal-hal yang nekat.

Sembari menunggu disahkannya Rancangan Undang-Undang Tidak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), Khusnul meminta wali kota Surabaya, DP3A-PPKB, dinas pendidikan, dinas kesehatan, dinas sosial, camat hingga lurah untuk berkolaborasi dengan para NGO (Non-Governmental Organization) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Tujuannya, lanjutnya, agar kasus-kasus seperti ini bisa dicegah dan ditangani secara cepat dan memberikan perlindungan, rasa aman dan nyaman terhadap anak-anak di Surabaya. Bisa jadi masih banyak kasus serupa yang luput dari pantauan.

"Saya kira perlu pula kepada masing-masing dinas, lurah, camat untuk berkolaborasi dengan NGO atau kelompok masyarakat, akademisi yang memang memahami persoalan untuk duduk bersama menterjemahkan konsep Surabaya layak anak ke dalam tupoksi kerjanya masing-masing," katanya.

Ning Kaka, sapaan lekat Khusnul Khotimah, juga meminta kepada masyarakat, jika mengetahui kasus serupa di sekitarnya untuk berani melapor ke call center DP3A-PPKB, atau hotline yang dimiliki Pemkot Surabaya.

"Masyarakat jangan diam dan takut jika mengetahui kasus-kasus semacam ini. Mereka harus berani lapor. Pak Wali kota juga perlu melakukan evaluasi kerja kepala dinas pendidikan, dinas kesehatan, dinas sosial dan DP3A-PPKB, agar mereka kerjanya lebih baik dalam memberikan hak-hak dan perlindungan pada anak,” katanya.

Sebelumnya, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur Anwar Sholihin juga menyayangkan masih adanya kasus kekerasan guru terhadap siswa di Kota Surabaya yang menyandang status sebagai Kota Layak Anak (KLA).

Pernyataan Anwar mengomentari beredarnya sebuah video berdurasi tiga detik melalui WhatsApp yakni seorang guru di SMPN 49 Kota Surabaya memukul siswanya di depan kelas saat pembelajaran tatap muka (PTM) 100 persen sedang berlangsung.

Anwar mengatakan, aksi kekerasan dan eksploitasi tidak bisa dibiarkan di sekolah sebab, sekolah merupakan salah satu tempat bagi anak untuk tumbuh dan berkembang selain di keluarga dan di tempat mereka bermain.

Menurut dia, program sekolah ramah anak (SRA) telah lama digulirkan oleh pemerintah mulai level pusat sampai kab/kota. Ada 24 indikator KLA yang harus dipenuhi, salah satunya sekolah yang ada di wilayah kota/Kabupaten tersebut harus ramah terhadap anak. 

Baca juga: Anggaran pengentasan prostitusi di Surabaya capai rp6,5 miliar


Baca juga: Keluarga jadi pelaku kekerasan karena tidak diajarkan nilai kemanusiaan


 

Pewarta: Abdul Hakim
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022