Depok (ANTARA) - Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Moh. Novrizal, LL.M. menyarankan Ibu Kota Nusantara (IKN) tetap berstatus provinsi dan kepala daerah berstatus gubernur.

"Selain itu, perlu adanya pemisahan antara UU pemindahan IKN dan UU tata kelola pemerintahan, karena UU tata kelola pemerintahan akan sering mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi," ujar Novrizal dalam keterangan tertulisnya diterima di Depok, Jumat.

Novrizal menjelaskan bahwa pada Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 disebutkan Republik Indonesia terdiri atas provinsi, kabupaten, kota, serta memiliki dewan perwakilan rakyat daerah.

Khusus di daerah Ibu Kota Nusantara, terdapat perbedaan karena bentuk pemerintahan otorita berstatus sama seperti provinsi, tetapi kepala pemerintahan berstatus setingkat menteri.

Baca juga: Ketua DPR ingatkan regulasi turunan UU IKN perlu libatkan publik

Ia mempertanyakan alur koordinasi roda pemerintahan daerah karena pada umumnya pemerintahan provinsi melakukan koordinasi di bawah Kementerian Dalam Negeri.

Novrizal mencontohkan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah berstatus provinsi dengan kepala daerah disebut gubernur meskipun merupakan daerah istimewa yang dipimpin oleh sultan.

Sementara itu Dosen Hukum Administrasi Negara FHUI Dr. Dian P Simatupang mengatakan dalam proyek pemindahan IKN harus dilakukan penghitungan budget yang detail agar tidak terjadi salah kira (dwaling) yang menyebabkan pembengkakan dan tidak menjadi masalah pada pemerintahan berikutnya.

"Selain sumber daya pendanaan, pemindahan IKN juga membutuhkan sumber daya manusia yang cakap," kata dalam webinar "Membedah Konstitusionalitas Undang-undang Ibu Kota Negara".

Pihaknya menyarankan sumber daya pendanaan dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu persiapan, pembangunan, dan pemindahan agar APBN lebih efisien. Misalnya, dengan pemanfaatan dana hasil sewa gedung pemerintahan yang tidak memiliki nilai strategis dan historis di Jakarta, hibah, serta kerja sama penyediaan infrastruktur.

"Secara ideal, dalam pemindahan ibu kota, dana APBN hanya digunakan pada tahap persiapan agar ruang fiskal APBN tetap aman bagi kepentingan umum dan pemerintahan," katanya.

Hal ini dilakukan agar tidak mengurangi alokasi APBN sesuai kewajiban konstitusi, seperti pendidikan (20 persen), kesehatan (5 persen), mandatori subsidi iuran BPJS, dan dana transfer daerah, karena bertentangan dengan UU No. 17 Tahun 2003 Pasal 34 Ayat 1 sebagai bentuk penyimpangan kebijakan yang dapat dipidanakan.

Direktur Sinkronisasi Pemerintah Daerah, Kementerian Dalam Negeri Iwan Kurniawan memaparkan urgensi pemindahan ibu kota negara (IKN) yang disebabkan beberapa faktor, antara lain konsentrasi kepadatan penduduk di Pulau Jawa yang mencapai 57 persen, kurangnya ketersediaan air bersih di wilayah Jakarta Raya, alih fungsi lahan secara masif di Pulau Jawa, serta berbagai permasalahan yang muncul akibat kepadatan penduduk.

"Saat ini, kami telah melakukan berbagai koordinasi dan kolaborasi dengan daerah-daerah yang terlibat, khususnya dalam penyusunan regulasi IKN. Kami mendorong tindak lanjut dan memberikan dukungan terhadap kebijakan IKN melalui sinkronisasi pembangunan, sinkronisasi kebijakan daerah, serta fasilitas kebijakan nasional," ujar Kurniawan.

Baca juga: Menteri PPN: Pembangunan Istana Negara di IKN baru bukan di titik nol
Baca juga: Senator DKI minta aset di Jakarta tidak dijual ketika IKN pindah
Baca juga: Pemprov dapat tugas susun naskah akademik RUU Kekhususan Jakarta

 

Pewarta: Feru Lantara
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2022