Padang (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, menilai, lembaga peradilan di tanah air masih perlu penataan termasuk terkait keberadaan para hakim agung di Mahkamah Agung (MA). "Ada hal-hal yang dalam jangka panjang perlu dipikirkan lagi agar lembaga peradilan dan sistem peradilan berjalan efektif dan efisien, tidak lagi hanya sepenggal-sepenggal," katanya di Padang, Jumat. Khusus terkait keberadaan hakim agung yang jumlahnya kini mencapai 60 orang, menurut dia, seharusnya juga menjadi bagian yang harus ditataulang. Jimly menyebutkan, dia bersama Ketua MA Bagir Manan dan Menteri Hukum dan Ham Hamid Awaluddin sudah membicarakan soal penataan lembaga peradilan di Indonesia. "Yang perlu dipikirkan dalam jangka panjang, diantaranya, apa iya hakim agung itu harus sebanyak 60 orang, apa tidak cukup 17 orang saja," katanya. Ia mengakui undang-undang mengatur jumlah hakim agung boleh mencapai 60 orang. Hanya saja terkait struktur kekuasaan kehakiman saat ini bila dihubungkan dengan otonomi daerah, seharusnya peran MA tidak lagi sebesar yang sekarang. "Dengan otonomi seharusnya peran daerah semakin besar. Kenapa tidak pengadilan tinggi-nya saja yang diperkuat sehingga puncak perkara itu sudah harus selesai di pengadilan tinggi, di PT-TUN atau di PT Agama. Pada akhirnya hanya perkara-perkara khusus saja yang sampai ke MA," jelasnya. Jimly menyadari untuk mencapai perubahan ke arah itu membutuhkan pembenahan yang sangat besar disamping banyak persoalan lain yang juga harus terlebih dahulu diselesaikan. Lebih jauh ia juga memandang perlunya penertiban terhadap keberadaan lembaga-lembaga peradilan "Ad Hoc" yang sekarang jumlahnya mencapai delapan macam. "Ini juga harus ditertibkan, juga tidak bisa sepenggal-sepenggal," katanya. Ketua MK juga mengungkapkan tentang adanya pemikiran ekstrim terkait keberadaan peradilan militer yang sampai saat ini masih dikelompokkan ke dalam cabang kekuasaan kehakiman. "Sudah ada yang berpikir begitu dan ini memang agak ekstrim. Ada yang berpikir apakah pengadilan militer masih harus dikelompokkan dalam cabang kekuasaan kehakiman, bukannya sebagai pengadilan bersifat khsusus, misalnya kalau ada perang atau apa-apa yang sifatnya berbeda dengan pengadilan pada umumnya," tambahnya. Hal-hal seperti itu, menurut Jimly Asshiddiqie, perlu dipikirkan kembali, termasuk konsep tentang empat lingkungan peradilan itu sendiri. "Apalagi dengan kehadiran MK di peradilan tata negara, semua itu harus dipikirkan lagi," katanya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006