Jakarta (ANTARA) - Ahli Virologi sekaligus Direktur Laboratorium KalGen Innolab, Andi Utama, Ph.D, menjelaskan bahwa virus merupakan makhluk hidup, karena dapat berkembang biak dan memiliki naluri bertahan hidup termasuk COVID-19.

Selagi ada tempat untuk berkembang biak, virus yang sangat bergantung pada inangnya selalu berevolusi melalui mutasi.

“Selama virus itu memiliki kesempatan berkembang biak, maka proses mutasi itu akan terus terjadi. Apalagi, material genetik dari virus ini adalah RNA, di mana mutasi RNA jauh lebih cepat daripada DNA,” ujar Andi dalam keterangannya pada Minggu.

Baca juga: Persentase kesembuhan COVID-19 di DKI capai 92,8 persen

Ia mengatakan, ada bermacam mutasi, yakni yang menguntungkan si virus maupun yang merugikannya. Apabila mutasi tersebut tidak menguntungkan, maka virus akan hilang. Sedangkan omicron adalah hasil mutasi yang berhasil bertahan untuk kepentingan dari virus itu sendiri.

Proses pelacakkannya pun tidak sederhana. Konsep dasar dari pengembangan mendeteksi virus karena objeknya adalah material genetik, maka ada dua cara yang bisa dilakukan.

Pertama, mencari bagian virus yang unik spesifik yang mendekati SARS-CoV-2. Kedua, memilih daerah yang tidak mudah berubah (lestari).

Kecanggihan teknologi, termasuk bioinformatics, sangat berperan dalam membantu mendeteksi varian omicron. Terdapat software yang mampu menjejerkan ratusan ribu data genom virus dan mencari bagian genom yang lestari.

“PCR mendeteksi bagian-bagian kecil yang spesifik. Kalau WGC (Whole Genome Sequencing), mengidentifikasi semua genom virus yang konsekuensinya perlu waktu lama dan biaya besar. Tapi untuk menentukan itu varian apa, hasilnya oke. Kalau PCR, hanya mencari bagian lestari dengan bagian tertentu yang dipilih,” kata Andi.

Lulusan Jepang yang pernah melakukan penelitian di Department of Virology 2, National Institute of Infectious Disease itu lantas menekankan, ada dua metode untuk mendeteksi varian omicron. Keduanya berdasarkan surat edaran Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) tahun 2021.

“Pertama, STGF (S-Gene Target Failure), konsepnya mencari Gen S yang tidak bisa dideteksi karena dari awal dibuatkan desain untuk virus original. Dalam hal ini, akan ada kemungkinan varian selain omicron,” kata dia.

Pendekatan lainnya ialah SNP (Single Nucleotide Polymorphism), yang langsung menjadikan titik mutasi sebagai target, maka sangat mendekati varian omicron. Metode ini dilakukan di KalGen Innolab, salah satu anak usaha Kalbe Farma yang bergerak di bidang pemeriksaan diagnostik, bekerja sama dengan Toyota Tsusho Corpotation dan Health Scientific Intitute di Jepang.

“Metode kedua itu (SNP) kami sebut dengan PCR O+. Sudah menyasar atau lebih spesifik karena sudah kami targetkan. Sebagai tambahannya, kami menggunakan tiga gen original, maka memperkecil kemungkinan kekeliruan. Tetapi saya tekankan, kami sepakat bahwa gold standard untuk memastikan semua itu adalah WGS,” jelas Andi.

“Sebelum memutuskan memakai kit mana saja, kami mempelajari dulu, melihat datanya, konsistensi datanya. Kebetulan, kit yang kita pilih itu memiliki data yang sudah dibandingkan dengan WGS. Jadi, memperlihatkan data 100 persen dan cukup konsisten dalam menduga suspek omicron,” tambahnya.

Baca juga: Luhut minta lansia tak keluar rumah sebulan ke depan

Baca juga: Epidemiolog: Indonesia bisa keluar dari pandemi lewat tegakkan prokes

Baca juga: Pakar sebut varian Omicron menyebar cepat tapi gejala ringan

Pewarta: Ida Nurcahyani
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2022