Jakarta (ANTARA News) - Hari ulang tahun kemerdekaan Amerika Serikat (AS) tanggal 4 Juli 1993 menjadi hari istimewa bagi sebagian masyarakat Muslim Indonesia yang tinggal di New York dan sekitarnya, termasuk penulis yang saat itu baru bertugas di AS selaku Kepala Biro Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA New York.

Istimewa, tidak lain karena masa libur tiga hari berkenaan dengan hari ulang tahun negeri Paman Sam itu dimanfaatkan untuk menyelenggarakan "Pesantren Kilat" berupa pencerahan dan bimbingan keagamaan dalam masa relatif singkat.

Kegiatan seperti itu tidak pernah dilakukan sebelumnya di kalangan Muslim Indonesia di AS.

Pesantren kilat tersebut dilakukan secara intensif tanggal 3 - 5 Juli delapan belas tahun lalu di Kanaan, wilayah perkebunan dan wisata yang bisa ditempuh kira-kira 2,5 jam dengan kendaraan dari New York.

Sungguh, penulis yang baru beberapa hari berada di New York saat itu sama sekali tidak menyangka bahwa masyarakat Muslim Indonesia di sana mempunyai perhatian besar pada kegiatan keagamaan.

Selain tentang ajaran Islam, peserta yang berjumlah kira-kira enam puluh orang itu juga mendapatkan pencerahan mengenai cara menghadapi problema hidup sehari-hari di tengah masyarakat AS, seperti masalah kehidupan remaja, identitas Islam serta Islam dan pengamalan ilmu.

Program yang diikuti pelajar, mahasiswa, diplomat, dan karyawan perwakilan berbagai institusi Indonesia di New York itu juga dihadiri oleh Prof Mitsuo Nakamura, pengamat Islam Indonesia dari Universitas Chiba Jepang yang saat itu menjadi peneliti tamu pada Pusat Studi Timur Tengah Universitas Harvard, Boston, AS.

Instruktur bimbingan keagamaan itu sendiri adalah beberapa dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang sedang mengikuti program master dan doktor di beberapa perguruan tinggi di New York dan Pennsylvania, AS serta Montreal, Kanada.

Penulis berkesempatan mengikuti acara tersebut atas ajakan Bakran Asmawi, pendahulu saya di Biro ANTARA New York yang memang dikenal aktif dalam kegiatan kemasyarakatan di sela-sela tugasnya sebagai wartawan Indonesia di AS.

Termotivasi
Instruktur pada acara itu mengingatkan kembali para peserta pada sabda Nabi Muhammad SAW bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban Muslim sejak dari buaian hingga liang lahat.

Hadist lain, lanjutnya, menyatakan bahwa menuntut ilmu adalah ibadah, mengingatkannya adalah tasbih, mencarinya jihad, dan mengajarkannya kepada orang lain yang tidak tahu merupakan sedekah.

Sementara itu tokoh warga Indonesia di New York, Khalid Basir, menekankan bahwa kegiatan keagamaan seperti pesantren kilat sangat penting, terutama karena generasi muda Indonesia di AS cenderung lebih menekuni ilmu umum serta berada dalam lingkungan serba modern dan sekuler.

Apa yang dikemukakan para instruktur pesantren kilat dan sesepuh masyarakat Indonesia di New York itu menjadikan saya termotivasi untuk selalu mengikuti kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh masyarakat Indonesia di AS.

Sejak saat itu penulis kerap mengikuti pengajian warga Indonesia di New York, sampai pada suatu ketika saya diundang menghadiri pengajian di rumah salah seorang mahasiswa Indonesia yang belajar di New York University (NYU). Pada saat penutupan, Khalid Basir secara tidak terduga meminta saya memimpin pembacaan doa.

"Kami persilakan Kepala Biro ANTARA yang baru untuk memimpin pembacaan doa," katanya dalam pengajian yang dilaksanakan sekitar pertengahan Juli 1993 itu.

Tentu saja saya kaget dan merasa tidak siap. Dengan terpaksa, saya menyatakan belum bersedia memimpin pembacaan doa, meski Khalid Basir dan peserta pengajian minta kesediaan saya berkali-kali.

Penulis merasa tidak siap karena memang tidak terbiasa memimpin pembacaan doa, terlebih saya sudah cukup lama, saat masih berada di Indonesia, tidak mengikuti acara pengajian.

Akhirnya pembacaan doa pada acara yang diikuti kira-kira lima puluh orang warga Indonesia di New York itu dipimpin oleh salah seorang mahasiswa peserta pengajian tersebut.

Ternyata, makna di balik peristiwa itu sangat berharga. Saya menjadi makin termotivasi untuk mempelajari kembali ilmu keislaman.

Meski belum mantap dalam menekuni kembali ilmu agama secara otodidak, saya pada akhirnya selalu siap jika sesekali diminta memimpin pembacaan doa, membaca Al Quran pada pembukaan acara pengajian, atau bahkan menjadi pembicara dalam pengajian yang diselenggarakan bergantian dari rumah ke rumah warga Indonesia atau di gedung Konsulat Indonesia di New York.

Menjadi khatib
Pada Agustus 1995 masyarakat Muslim Indonesia di New York membeli sebuah gudang besar di daerah Astoria, Queens, New York, dari pengusaha Yahudi untuk dijadikan masjid.

Dana pembangunan masjid itu dikumpulkan sejak beberapa tahun sebelumnya dari warga Indonesia yang berada di sana serta dari sejumlah donatur di Tanah Air.

Pengubahan peruntukan gudang menjadi masjid itu rampung pada November 1995, dan pada bulan itu juga Duta Besar RI untuk AS, Dr Arifin M. Siregar meresmikannya sebagai Masjid Indonesia.

Belakangan kemudian masjid itu diberi nama "Al-Hikmah". Sejak saat itu kegiatan keagamaan Muslim Indonesia di New York selalu diselenggarakan di masjid tersebut.

Masjid berlantai dua yang juga dimanfaatkan sebagai tempat pengajian dan pendidikan keagamaan, khususnya bagi anak-anak dan remaja itu merupakan Masjid pertama yang murni dibangun oleh warga Indonesia di luar negeri.

Setiap salat Jumat, masjid tersebut selalu dipenuhi jamaah, termasuk Muslim setempat serta orang Islam dari berbagai negara yang berada di New York seperti dari Pakistan, Malaysia, Brunei Darussalam, Bangladesh, Mesir, Palestina, dan Panama.

Meski dikunjungi Muslim dari berbagai negara, khatib pada salat Jumat di masjid tersebut dengan berbagai pertimbangan tetap diutamakan warga Indonesia.

Pada khutbah pertama, khatib memberikan penjelasan dalam bahasa Indonesia, sedangkan pada khutbah kedua dalam bahasa Inggris.

Seperti kata pepatah "tiada rotan akarpun berguna", saya juga dimasukkan dalam daftar delapan orang warga Indonesia di New York yang menjadi khatib di Masjid tersebut.

Meski menolak karena merasa belum saatnya berdiri di mimbar masjid, penulis ternyata selalu kebagian giliran untuk menjadi khatib.

Pengalaman menjadi khatib ternyata punya sisi menarik yang tidak akan pernah terlupakan, karena anak saya yang pertama, Azmi Armiawan, juga berkesempatan duduk di mimbar saat khutbah tengah berlangsung.

Ketika itu, November 1996, saya mendapatkan giliran menjadi khatib dan anak saya yang saat itu baru menginjak usia empat tahun saya titipkan kepada rekan yang duduk di shaf kedua.

Tapi maklum anak-anak, saat khutbah dimulai, dia menangis, sehingga rekan saya berinisiatif mendudukkan putra saya itu pada kursi di belakang mimbar. Alhamdulillah ia tidak lagi menangis, sementara saya terus menyampaikan khutbah Jumat.

Usai salat Jumat, seorang rekan saya mengatakan dengan bergurau bahwa anak saya merupakan "khatib termuda" di dunia.

Dalam hati, saya mendoakan, semoga putra saya menjadi anak saleh yang bisa menyampaikan pesan dakwah, apa pun profesinya nanti.

Pada momentum penting tertentu di luar acara pengajian, saya juga kerap diminta memimpin pembacaan doa.

Penulis sempat diminta memimpin pembacaan doa oleh Duta Besar RI untuk PBB New York, Nugroho Wisnumurti saat ia memimpin misi kesenian Indonesia di Nikaragua, Amerika Tengah.

Saya kemudian menarik kesimpulan bahwa bertugas di Amerika ternyata justru memberi saya tambahan pengalaman spiritual yang sangat berharga bagi perjalanan hidup saya selanjutnya.

Penulis bersyukur semasa kecil dan remaja berkesempatan belajar keislaman, termasuk seni membaca Al Quran dari sejumlah ustadz/kiai, di samping menuntut ilmu di madrasah di tempat kelahiran saya, Kampung Cihideung Kabupaten Pandeglang, Banten.

Salah satu guru saya ialah K.H. Datep Muhdi yang kini menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Pandeglang.
(***)

*) Kepala Biro ANTARA di New York tahun 1993-1998. Saat ini GM Pengembangan Bisnis Perum LKBN ANTARA

Oleh Aat Surya Safaat *)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011