Beijing (ANTARA News) - Polisi menembak mati empat "perusuh" di China barat jauh, Minggu, setelah sedikitnya tiga orang, termasuk seorang polisi, tewas dalam serangan terakhir dari serangkaian kekerasan yang terjadi di wilayah itu bulan ini, kata kantor berita resmi Xinhua, lapor Reuters.

Empat tersangka ditangkap dan empat orang lagi diburu dalam kekerasan di Kashgar, di sebuah kawasan yang telah lama dilanda sentimen anti-China dari penduduk asli Uighur.

Beberapa sumber setempat sebelumnya mengatakan, tiga orang tewas Minggu dalam ledakan, namun sejumlah saksi melaporkan bahwa ketiga orang itu dibunuh dengan senjata tajam oleh penyerang, kata Xinhua. Sepuluh orang, termasuk pejalan kaki dan polisi, cedera, katanya.

Kekerasan itu terjadi sekitar 16 jam setelah dua ledakan dilaporkan terjadi di Kashgar dan delapan orang tewas dalam serangan dengan pisau di kota kuno Silk Road, di provinsi bergolak Xinjiang dekat Tajikistan.

Kelompok orang Uighur di pengasingan mengatakan, keadaan darurat diberlakukan di Kashgar dan sedikitnya 100 orang ditangkap.

Belum ada penjelasan terinci lain mengenai hal itu dan para pejabat Xinjiang tidak menjawab panggilan telefon.

Pada 18 Juli, 18 orang yang mencakup 14 "perusuh" tewas dalam bentrokan di sebuah kantor polisi di Xinjiang, kata pemerintah. Korban tewas mencakup dua polisi dan dua sandera, dan pemerintah China menyebut insiden itu sebagai serangan teroris.

Kelompok Uighur di pengasingan mengatakan, 20 orang Uighur tewas -- 14 dipukuli hingga tewas, enam orang ditembak mati -- dan 70 orang ditangkap, ketika polisi melepaskan tembakan ke arah pemrotes, yang mengarah pada bentrokan antara kedua pihak.

Bentrokan itu, yang terburuk dalam waktu setahun di Xinjiang, meletus setelah sekelompok orang Uighur berusaha membawa sejumlah polisi untuk meminta mereka membebaskan anggota-anggota keluarga mereka yang ditahan.

Ibu kota Xinjiang, Urumqi, menjadi pusat kerusuhan terburuk di China dalam beberapa dasawarsa pada 5 Juli 2009.

Kerusuhan itu merenggut hampir 200 jiwa dan mencederai sekitar 1.700 orang.

Kekerasan yang dialami orang Uighur itu telah menimbulkan gelombang pawai protes di berbagai kota dunia seperti Ankara, Berlin, Canberra dan Istanbul.

Orang Uighur berbicara bahasa Turki dan Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan adalah yang paling keras melontarkan kecaman saat itu dan menyebut apa yang terjadi di Xinjiang sebagai "semacam pembantaian".

Orang-orang Uighur di pengasingan mengklaim bahwa pasukan keamanan China bereaksi terlalu berlebihan atas protes damai dan menggunakan kekuatan mematikan.

Delapan juta orang Uighur, yang memiliki lebih banyak hubungan dengan tetangga mereka di Asia tengah ketimbang dengan orang China Han, berjumlah kurang dari separuh dari penduduk Xinjiang.

Bersama-sama Tibet, Xinjiang merupakan salah satu kawasan paling rawan politik dan di kedua wilayah itu, pemerintah China berusaha mengendalikan kehidupan beragama dan kebudayaan sambil menjanjikan petumbuhan ekonomi dan kemakmuran.

Beijing tidak ingin kehilangan kendali atas wilayah itu, yang berbatasan dengan Rusia, Mongolia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan dan India, dan memiliki cadangan minyak besar serta merupakan daerah penghasil gas alam terbesar China.

Namun, penduduk minoritas telah lama mengeluhkan bahwa orang China Han mengeruk sebagian besar keuntungan dari subsidi pemerintah, sambil membuat warga setempat merasa seperti orang luar di negeri mereka sendiri.

Beijing mengatakan bahwa kerusuhan itu, yang paling buruk di kawasan tersebut dalam beberapa tahun ini, merupakan pekerjaan dari kelompok-kelompok separatis di luar negeri, yang ingin menciptakan wilayah merdeka bagi minoritas muslim Uighur.

Kelompok-kelompok itu membantah mengatur kekerasan tersebut dan mengatakan, kerusuhan itu merupakan hasil dari amarah yang menumpuk terhadap kebijakan pemerintah dan dominasi ekonomi China Han. (M014/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011